Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadwal harian hakim agung Imron Anwari dua pekan terakhir ini kian padat saja. Selain menelaah berkas perkara yang terus menumpuk di mejanya, kini ia punya kesibukan baru: menangkis tudingan miring yang mengarah ke dirinya.
Puncaknya Selasa dan Rabu pekan lalu. Selama dua hari itu, dia ”disidang” koleganya sendiri. Imron mesti menjawab pertanyaan tim pemeriksa yang dibentuk Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. ”Pemeriksaan itu atas permintaan Pak Imron, yang merasa disudutkan,” kata Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana Khusus, yang menjadi anggota tim pemeriksa itu, kepada Tempo.
Tim yang sama memeriksa Achmad Yamanie dan Hakim Nyak Pha. Ketiganya adalah trio hakim yang membebaskan pemilik pabrik ekstasi, Hanky Gunawan, dari hukuman mati. Di tim ini Imron, yang sehari-hari menjabat Ketua Muda Peradilan Militer, bertindak sebagai ketua majelis. Dia memang berlatar belakang tentara. Imron mengawali kariernya sebagai panitera pada Mahkamah Militer Sulawesi Selatan. Pangkat terakhirnya brigadir jenderal.
Mahkamah membentuk tim pemeriksa setelah Kaukus Masyarakat Peduli Anak dari Kejahatan Narkoba melaporkan Imron dan dua sejawatnya itu ke Komisi Yudisial. Bergabung dengan Kaukus, antara lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Badan Narkotika Nasional, Gerakan Anti Narkoba, dan Majelis Ulama Indonesia.
Menurut Ketua Bidang Pengawasan dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Imron tak hanya dilaporkan Kaukus. Hakim di daerah pun melaporkan beberapa putusan kasus narkotik yang ia buat. ”Dia sudah lama masuk radar kami,” ujar Suparman. Untuk kasus ini, Komisi sudah membentuk dua tim. Satu tim mengkaji putusan kasus narkotik yang dibuat Imron, satu lagi turun ke lapangan. ”Kami menginvestigasi kemungkinan adanya suap,” kata Suparman.
Rumah besar di pojok perempatan Jalan Kombes M. Duriyat-Jalan Pregolan itu terlihat lengang. Pagar besi hitam setinggi tiga meter menutupi depan rumah tersebut. Ketika Tempo mengetuk pagar, tak ada yang menyahut. Padahal, pagi itu, slang air masih terulur, menandakan baru dipakai. Rumput dan kembang terlihat memang basah
Pada salinan vonis, rumah itu tercatat milik Hanky Gunawan, yang kini mendekam di penjara Porong, Sidoarjo. Hanky, 42 tahun, ditangkap polisi pada 23 Mei 2006. Dia dituduh memproduksi ekstasi di rumah sewaan di kompleks Graha Famili, Surabaya. Hanky meracik pil ekstasi bersama dua temannya: Brian Lingso Direjo dan Suwarno. Dia diduga mengedarkan ekstasi melalui Cristian Salim alias Awe dan kawan-kawan di Jakarta.
Di Pengadilan Negeri Surabaya, pada 4 April 2007, jaksa mendakwa Hanky melakukan kejahatan terorganisasi, memproduksi dan mengedarkan ekstasi, serta melakukan pencucian uang hasil kejahatannya senilai Rp 500 juta. Pasal berlapis dipakai jaksa: Undang-Undang Psikotropika, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Pencucian Uang. Jaksa menuntut Hanky hukuman mati.
Namun, pada 17 April 2007, Pengadilan Negeri Surabaya hanya menghukum dia 15 tahun penjara plus denda Rp 500 juta. Menurut hakim, Hanky tak terbukti melakukan kejahatan terorganisasi seperti dakwaan pertama jaksa. Dia hanya terbukti memproduksi dan mengedarkan ekstasi serta melakukan pencucian uang.
Pada 11 Juli 2007, majelis hakim Pengadilan Tinggi Surabaya memperberat hukuman Hanky menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Masih tak puas, jaksa mengajukan kasasi. Nah, di sini Hanky mendapat hukuman maksimal. Pada 20 November 2007, majelis kasasi, yang terdiri atas hakim Iskandar Kamil, Komariah Emong Sapardjaja, dan Kaimuddin Salle, menjatuhkan hukuman mati. Hakim menyebut Hanky melakukan kejahatan terorganisasi.
Tak terima, lewat kuasa hukumnya, Hanky mengajukan permohonan peninjauan kembali. Mereka, antara lain, melampirkan putusan hakim atas Cristian Salim alias Awe sebagai bukti baru. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Awe sebagai pemakai sabu-sabu. Dia hanya dihukum 8 bulan penjara. Padahal, dalam berkas perkara Hanky, Awe disebut menerima 50 ribu butir ekstasi dari Suwarno, lalu mengedarkannya di Jakarta.
Pengacara Hanky juga berdalih hukuman mati bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Di luar dugaan, pada 16 Agustus 2011, hakim peninjauan kembali membatalkan putusan kasasi Hanky. Majelis hakimnya, ya, Imron Anwari, Achmad Yamanie, dan Hakim Nyak Pha.
Hakim setuju pada argumen pengacara Hanky. Mereka, misalnya, menyebut penentuan berat-ringannya hukuman menjadi wewenang hakim pengadilan tingkat pertama, bukan hakim kasasi. Majelis hakim mengutip utuh dalil pemohon hukuman mati bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, UUD 1945, dan UU HAM. Imron dan kawan-kawan menyatakan Hanky tak terbukti melakukan kejahatan terorganisasi. Hukuman bagi pria itu dipangkas jadi sama dengan vonis pengadilan negeri: 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Menurut Djoko Sarwoko, sewaktu diperiksa, Imron menjelaskan bahwa hak asasi manusia bukan satu-satunya pertimbangan. Dia mengurangi hukuman Hanky karena dakwaan primer jaksa—kejahatan terorganisasi—tak terbukti. Kepada pemeriksanya, kata Djoko, Imron menegaskan dia bukan penentang hukuman mati. ”Dia sudah enam kali menghukum mati,” ujar Djoko.
Apa pun dalih Imron, putusan kasus Hanky memperpanjang jejaknya dalam meringankan hukuman kasus narkotik. Pada 6 Oktober 2010, misalnya, lewat peninjauan kembali, Imron menganulir hukuman mati warga Nigeria, Hillary K. Chimezie, yang dituduh mengedarkan heroin seberat 5,8 kilogram. Dalam kasus ini, Imron satu majelis dengan hakim agung Timur P. Manurung dan Suwardi.
Bersama hakim Achmad Yamanie dan Timur P. Manurung, pada 27 Mei 2011, lewat putusan kasasinya, Imron membebaskan Naga Sariawan Cipto Rimba alias Liong-Liong dari hukuman. Sebelumnya, pemilik bengkel sepeda motor itu dihukum 17 tahun oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin karena menerima paket sabu-sabu lebih dari 1 kilogram.
Memang ada juga ”bolong” yang menganga dalam kedua kasus itu. Dalam kasus Hillary, misalnya, saksi kunci Marlena dan Izuchukwu Okoloaja tak diajukan ke persidangan karena keburu mati di tahanan polisi. Pada kasus Liong, kecuali paket sabu-sabu, tak ada bukti lain yang memperkuat dia sebagai anggota sindikat narkotik.
Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Arsil mengatakan tak konsistennya putusan memang menjadi masalah tersendiri di Mahkamah Agung. Yang kerap bertabrakan, ujar dia, bukan hanya putusan hakim yang berbeda, hakim yang sama pun kerap membuat putusan dengan pertimbangan saling bertentangan. Padahal, menurut Asril, peradilan kasasi berfungsi memastikan kesatuan penerapan hukum untuk menjadi pedoman peradilan di bawahnya. Menurut dia, ketimbang bersusah payah membatalkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu, ada hal lebih penting, yakni menyingkap apa yang terjadi di balik putusan aneh tersebut. ”Untuk kasus narkoba, yang rentan suap, jaksa dan hakim harus terus diawasi,” katanya.
Peringatan Arsil tak berlebihan. Kepada Tempo, seorang mantan hakim yang kerap mengadili kasus narkotik menuturkan, selama pengusutan dan proses pengadilan, kaki tangan sindikat narkotik tak tinggal diam. Mereka siap membayar mahal asalkan penegak hukum mematuhi permintaan mereka.
Menurut bekas hakim ini, dia juga pernah mendapat tawaran semacam itu. Saat itu, lantaran penasaran, ia mengutus orang kepercayaannya menemui utusan sindikat. Ternyata mereka ingin kurirnya tak dihukum mati. ”Sekali ada kurir yang divonis mati, sindikat ternyata kesulitan mencari pengganti,” ujarnya. Ia ditawari Rp 2 miliar. ”Kalau di tingkat lebih atas, hakim kasasi, misalnya, pasti lebih besar,” kata si hakim yang menolak tawaran itu dan tetap menjatuhkan hukuman mati.
Jaksa penuntut kasus Hanky, Mulyono, menuturkan cerita yang mirip. Sewaktu dia akan menuntut Hanky dihukum mati, tawaran uang pun datang kepadanya dan anggota hakim lain. ”Kami tak tergoda dan tetap kompak,” ujarnya.
Mahkamah Agung menyatakan membuka diri terhadap siapa pun yang memberi informasi adanya suap di balik para hakim yang mengkorting hukuman para terpidana narkoba itu. Sejauh ini, kata Djoko, Mahkamah belum memiliki bukti. ”Kalau ada bukti, silakan dilaporkan. Akan kami tindak lanjuti,” ujar Djoko.
Jajang Jamaludin, Anton Aprianto, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo