Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR seabad lebih hal itu ditunggu. Dan, Selasa pekan lalu, penantian panjang itu mencapai titik akhirnya. ”Selamat jalan, juga selamat tinggal,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. Tepuk tangan mendadak bergema dari para pengunjung yang memadati ruang sidang Mahkamah Konstitusi seusai Jimly membacakan putusannya. Hari itu, setelah 95 tahun ”berkibar” di tatanan hukum Indonesia, pasal 154 dan pasal 155 yang bertengger di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini dicabut Mahkamah.
Mahkamah mencabut kedua pasal itu karena dinilai bertentangan dengan UUD 45. ’’Sudah tidak sesuai lagi. Keduanya peninggalan Belanda untuk melindungi kepentingan pemerintah kolonial,’’ ujar Jimly. Majelis yang beranggotakan sembilan hakim konstitusi menyatakan, selain tidak menjamin kepastian hukum, kedua pasal tersebut juga menghalangi kebebasan berpendapat.
Selama ini pasal 154 dan pasal 155 kerap dipakai penguasa untuk menangkap musuh politiknya. Pada zaman Belanda, bersama lima pasal lainnya dalam Bab V KUHP yang mengatur ”Kejahatan Mengenai Ketertiban Umum”, pasal-pasal itu dijuluki pasal penabur kebencian (hatzaai artikelen).
Sejumlah aktivis pergerakan Indonesia pernah jadi korban pasal ini. Pada 1930, misalnya, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskun, dan Supriadinata dengan tuduhan menyebarkan kebencian. Setelah Indonesia merdeka, pada 1946, pasal 153 bis, yang digunakan menjerat Soekarno dan rekan-rekannya, dicabut pemerintah. Tapi pasal-pasal ”penabur kebencian” yang lain tetap hidup.
Lantaran sifatnya yang lentur dan multitafsir itu pula, kedua pasal ini juga dijuluki pasal karet. Pasal 154, misalnya, mengatur ihwal ancaman pidana bagi setiap orang yang dianggap menyebarkan permusuhan, kebencian, atau merendahkan terhadap pemerintah. Ancaman pelanggar pasal ini tujuh tahun penjara.
Adapun pasal 155 memberikan ancaman pidana pada setiap orang yang dianggap menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengungkapkan permusuhan, kebencian, atau merendahkan terhadap pemerintah. Ancaman pelanggar pasal ini bisa dibui hingga empat tahun penjara.
Putusan Mahkamah yang membuang kedua pasal ini dari KUHP merupakan ”buah” dari permohonan uji materi (judicial review) Raden Panji Utomo, Direktur Forum Komunikasi antar-Barak (Forak). Panji yang juga dokter itu, pada 18 Desember 2006, dihukum tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh karena melakukan demo di Kantor Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias.
Pada saat itu, 19 September 2006, Panji menggerakkan sekitar 5.000 pengungsi, menuntut kejelasan penanganan korban tsunami Aceh. Selain memprotes BRR, yang dituding berlimpah fasilitas dan bergaji tinggi tapi lambat membangun perumahan korban tsunami, dia juga mengecam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. ”Mana janji pemerintah membantu janda dan korban tsunami? Dana luar negeri dihambur-hamburkan. Berikan saja Rp 5 triliun dana pengungsi langsung ke korban tsunami,” teriak Panji. Forak menuntut dana pengungsi ditransfer langsung ke rekening mereka. Demo berakhir rusuh, dan Panji ditangkap polisi. Ia dijerat dengan pasal 154 dan 155.
Ketika vonis dijatuhkan, Panji memilih tidak melakukan banding. ”Saat itu situasi Aceh mencekam,” katanya. ”Saya juga tak mau ditahan lebih lama. Setelah bebas dari penjara, pada Februari lalu, Panji pun membawa pasal ini ke Mahkamah Konstitusi.
Sebetulnya, tidak hanya pasal 154 dan pasal 155 yang ia minta untuk diuji Mahkamah. Panji juga meminta Mahkamah melakukan uji materi terhadap pasal makar (pasal 107 KUHP), penghasutan menentang penguasa (pasal 160 dan pasal 161), dan penghinaan terhadap penguasa (pasal 207 dan pasal 208). Tetapi permohonannya ditolak. Hakim konstitusi berpendapat, Panji tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal tersebut. ”Kami protes. Meski Panji bukan korban langsung, pasal itu masih senapas dengan pasal 154 dan 156,” kata A.H. Wakil Kamal dari Masyarakat Hukum Indonesia, yang juga pengacara Panji.
Dalam sidang, sejumlah saksi yang dihadirkan menyatakan tak setuju jika dua pasal karet itu dihapus. ”Pasal-pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 45 dan masih dibutuhkan,” kata Akil Mochtar, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR. Menurut Akil, jika pasal itu dicabut, tidak ada lagi yang melindungi pemerintah. ”Pemerintah masih membutuhkan pasal tersebut,” katanya. DPR, dalam jawaban tertulisnya, juga menyangkal hak konstitusi Panji dirugikan. ”Karena pemohon tidak menggunakan upaya hukumnya, dengan kata lain pemohon mengaku bersalah dan hak konstitusinya tidak dirugikan,” demikian pendapat parlemen.
Wakil pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo, yang juga Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, juga keberatan dua pasal itu disetip. ”Kami minta permohonan tersebut ditolak,” katanya. Kendati demikian, guru besar pidana Universitas Indonesia ini mengakui kedua pasal itu sebenarnya termasuk yang bakal dihapus dalam Rancangan KUHP baru yang kini tengah disusun pemerintah. ”Sifat formal dalam pasal itu akan diganti dengan delik material, yakni timbulnya keonaran dalam masyarakat,” kata Harkristuti.
Pakar pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakir, punya pendapat lain. Menurut dia, pasal 154 dan 155 itu bak pisau bermata dua. ”Karena pasal-pasal tersebut memuat delik genus yang mendasari dilarangnya perbuatan delik spesies,” katanya. Jika diterapkan obyektif, ujar Mudzakir, pasal itu bisa mengatasi situasi yang membahayakan negara. Tapi, di lain sisi, berpotensi merugikan warga negara jika diterapkan secara subyektif dan demi kepentingan penguasa. Pasal 154 dan 155, kata doktor hukum pidana tersebut, menyalahi lex certa, asas kepastian hukum. ”Karena melarang hak yang sudah diberikan konstitusi, yakni kebebasan berpendapat.”
Mahkamah Konstitusi sendiri berpendapat bahwa pasal karet ini diciptakan untuk kepentingan penjajah. ”Pasal itu tidak rasional,” kata Jimly. Mahkamah juga mengutip kesaksian Prof. Mr. J.M.J. Schepper, Menteri Kehakiman Belanda di era Wilhelmina, yang memprotes penerapan aturan itu di Hindia Belanda. ”Peraturan ini dengan sendirinya menyatakan hanya berlaku bagi masyarakat kolonial, jelas tidak untuk negara-negara di Eropa,” kata Jimly. Menurut majelis hakim konstitusi, menjelang akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mengadopsi pasal 124a British Indian Penal Code tahun 1915. Padahal, di India, pasal-pasal tersebut sudah dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi India.
Kini dua pasal karet yang selama ini juga jadi momok para aktivis mahasiswa itu sudah masuk ”tong sampah”. Satu per satu Mahkamah merontokkan pasal yang mengekang kebebasan berpendapat. ”Ini kemenangan rekan-rekan yang berjuang untuk kepentingan masyarakat,” kata Panji. ”Semoga bisa lebih aman, dan mereka yang ingin bersuara tak lagi takut.…”
Arif A. Kuswardono, M. Nurochmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo