Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sekitar tujuh bulan kasus pembobolan bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun ditangani polisi, tapi tak kunjung tuntas juga. Itu sebabnya, pekan lalu komisi keuangan di parlemen menggelar rapat tertutup dengan Kepala Kepolisian RI. Sebagian tersangka memang sudah diseret ke pengadilan, tapi yang lain masih diberkas oleh polisi. "Kesan kami, proses hukum kasus ini lamban," ujar Anthony Z. Abidin, anggota Komisi Keuangan DPR.
Keluhan politisi di parlemen tak berlebihan karena justru orang-orang yang diduga sebagai pelaku penting dalam skandal ini belum diadili. Mereka antara lain Maria Pauline Lumowa alias Erry, Adrian Waworuntu, Jeffrey Baso, dan Judi Baso.
Pembobolan tersebut terjadi setelah Erry dan Adrian, keduanya dari PT Gramarindo, mendapat kucuran kredit sekitar Rp 1,7 pada Oktober 2002, dari BNI Cabang Kebayoran Baru. Resminya, kredit tersebut untuk memperlancar ekspor dengan jaminan letter of credit (L/C) terbitan empat bank di luar negeri. Perusahaan itu bergerak di bidang ekspor hasil perkebunan, pupuk cair, dan marmer.
Rupanya dana tidak dipakai buat ekspor. Bank-bank di luar negeri yang menerbitkan L/C pun tak mau membayar karena Erry dan kawan-kawan tidak pernah mengirimkan barang ke luar negeri. Pinjaman tersebut rupanya dibagi-bagi lagi ke sejumlah perusahaan dan proyek, diduga juga untuk membayar utang Gramarindo ke BPPN. Celakanya, sebagian dari proyek itu macet.
Gara-gara kasus ini, sejumlah pejabat BNI juga dijerat. Mereka adalah Kusadiyuwono (bekas Kepala BNI Cabang Kebayoran Baru), Edi Santoso (bekas Manajer Pelayanan Luar Negeri), dan Nirwana Ali (bekas Manajer Operasional). Ketiganya bersama sejumlah tersangka lain kini sedang diadili di Jakarta Selatan (lihat Pengakuan Orang Dalam).
Tak hanya ke PT Gramarindo duit mengalir, tapi juga ke perusahaan lain: PT Bhinnekatama Pacific, PT Magnetique Usaha Esa Indonesia, PT Metrantara, dan PT Basomasindo. Itu sebabnya perkara ini juga menyeret tersangka lain seperti Jeffrey Baso dan Judi Baso, keduanya dari PT Basomasindo. Seperti juga Erry dan Adrian, mereka juga belum dibawa ke pengadilan.
Kendala untuk menahan Erry sudah jelas. Saat pembobolan ini terungkap pada November tahun lalu, wanita ini keburu kabur ke Singapura. Di sana dia sempat diwawancarai sejumlah media dari Indonesia, tapi polisi tak kuasa menangkapnya. Rencananya, Erry akan diadili secara in absentia. Kendati begitu, berkasnya sekarang juga belum kelar ditangani polisi.
Nasib Adrian? Sama saja. Dia sempat ditahan polisi, tapi belakangan penahanannya ditangguhkan. Semua gara-gara berkasnya tak segera selesai. Berita acara pemeriksaan (BAP) Adrian sebetulnya sudah pernah dilimpahkan ke kejaksaan, namun akhirnya dikembalikan karena dinilai tidak lengkap. "Tidak ada kemajuan berarti meski sudah berkali-kali dikembalikan," kata Syaiful Thahir, ketua tim jaksa penuntut perkara BNI di Kejaksaan Tinggi DKI. Padahal, kata Desy Meutia, salah seorang anggota tim jaksa, pihaknya sudah memberikan petunjuk berikut daftar pertanyaan untuk para saksi maupun tersangka.
Sumber TEMPO di Kejaksaan Tinggi mengatakan, penyidik kepolisian sepertinya tak serius menangani perkara ini. Di BAP Adrian yang pertama diserahkan ke Kejaksaan Tinggi, tak satu saksi pun menyatakan keterlibatan Adrian. Nama Adrian juga tak ada dalam struktur perusahaan milik Erry. Hanya seorang saksi yang menyebut nama Adrian di berkas. Itu pun dikatakan pengajuan L/C tidak diketahui Adrian karena tak berkaitan dengan Gramarindo. Adrian hanya konsultan pengembangan usaha Erry.
Ini aneh karena sebagian dana yang dibobol, sebesar Rp 6,6 miliar, diduga masuk ke rekening Adrian. Menurut BAP, uang yang diduga hasil pencairan L/C itu dipakai Erry untuk membayar penjualan tanah milik Adrian di Cilincing, Jakarta Utara. Karena tak jelas, BAP dikembalikan jaksa. "Petunjuk jaksa hanya dijalankan sebatas memberikan jawaban atas pertanyaan yang dititipkan. Nggak dikembangkan," kata sumber itu.
Direktur II Ekonomi Khusus Mabes Polri, Brigjen Samuel Ismoko, membantah tuduhan tersebut. "Tak ada niat menghentikan kasus ini," katanya. Jumat pekan lalu, berkas Adrian diajukan lagi ke Kejaksaan Tinggi untuk kelima kalinya. "Petunjuk jaksa sudah dilengkapi," kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Suyitno Landung.
Lain lagi berkas Jeffrey Baso, yang diduga kecipratan duit Rp 5,8 miliar dan 500 ribu euro. Berkas itu sebenarnya sudah akan dinyatakan lengkap. Tapi beberapa bulan lalu, kata sumber TEMPO di kejaksaan, petinggi Kejaksaan Tinggi dihubungi petinggi Polri, yang menyatakan bahwa tanda tangan spesimen Jeffrey dalam L/C dari Basomasindo tidak identik dengan tanda tangan asli. Tapi belum ada hasil penelitian laboratorium "Akhirnya lembar yang menyatakan lengkap itu dirobek," kata sumber tersebut. Dengan kata lain, berkas itu dikembalikan lagi.
Sampai sekarang bukti hasil penelitian laboratorium tentang tanda tangan yang tidak identik dan berkas Jeffrey tak kunjung sampai ke kejaksaan. Dalam soal ini, Ismoko hanya berkomentar singkat. "Tunggu dulu," ujarnya.
Yang pasti, jika kasus BNI tidak ditangani dengan tuntas, tak hanya parlemen dan publik yang mempertanyakan. Citra Indonesia di mata dunia pun kian runyam. Soalnya, Organisasi Internasional Gugus Tugas Pemberantasan Pencucian Uang (FATF), yang berpusat di Paris, kini sedang menyorotinya.
Sebaliknya, menurut Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, akan bagus dampaknya jika perkara tersebut bisa dituntaskan. "Keberhasilan penegakan hukum kasus BNI bisa jadi credit point bagi Indonesia," katanya.
Endri Kurniawati, Bagja Hidayat, Martha Warta (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo