Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN pengadilan di negeri ini kembali mengundang protes investor asing. Dua pekan lalu Arisaig Partners Asia, perusahaan investasi yang berkedudukan di Singapura, Hong Kong, Korea, India, dan Inggris, mengirim surat protes kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Isinya, mempertanyakan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 14 April lalu, yang membekukan sahamnya. "Sebagai pemegang saham yang beritikad baik, seharusnya kami dilindungi," kata Lindsay Cooper, salah seorang direktur Arisaig.
Surat protes Arisaig juga ditembuskan ke Kejaksaan Agung, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Bursa Efek Jakarta, Indonesian Corruption Watch, sampai Duta Besar Inggris dan Amerika Serikat di Jakarta. Bahkan Menteri Dorodjatun juga disentil mengenai hal itu saat menghadiri konferensi euromoney di London. Surat protes yang sama juga dilayangkan Caterpillar, pertengahan Mei lalu, ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Perkara ini berawal dari krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada 1997-1998. PT Bunas Finance Indonesia (BFI), perusahaan yang bergerak dalam pembiayaan sewa beli (leasing) kendaraan roda empat dan alat-alat berat, juga kena angin krisis itu. Saham perusahaan ini dimiliki Bermuda Trust, Indosuez Singapore, PT Bank Umum Nasional, PT Aryaputra Teguharta, dan PT Ongko Multicorpora. Dalam tiga perusahaan yang terakhir terdapat saham milik Kaharudin Ongko.
Nah, pada 1998, BFI punya utang pada kreditor asing US$ 300 juta. Perusahaan ini tak bisa mengembalikan pinjaman itu karena krisis moneter yang menimpa Indonesia menjelang kejatuhan rezim Soeharto. Sebaliknya BFI juga punya piutang ke 29 perusahaan di bawah bendera Ongko Grup milik keluarga Kaharudin Ongko. Grup Ongko tak mampu membayar utangnya pada BFI, US$ 100 juta. "Kami lalu menghadap kreditor untuk minta direstrukturisasi dan mengakui ketidaksanggupan membayar utang," kata Direktur BFI, Cornellius Henry Kho.
Kreditor meminta saham milik keluarga Ongko dikeluarkan dari pemegang saham di BFI. Presiden Direktur BFI, Francis Lay Sioe Ho, bertemu dengan Ongko dan terjadi kesepakatan secara lisan, asalkan utang Grup Ongko dihapuskan. Direksi BFI akhirnya mempertemukan Ongko dengan para kreditor.
Dari pertemuan Ongko dengan kreditor yang diwakili The Royal Bank of Scotland, lahirlah perjanjian gadai saham. PT Aryaputra Teguharta sebagai pemegang 111 juta lebih lembar saham dan PT Ongko Multicorpora pemilik 98 juta lebih lembar saham di BFI pada 1 Juni 1999 menjaminkan sahamnya dengan perjanjian gadai saham ke BFI. Jatuh tempo perjanjian itu 12 bulan.
Pada 22 Februari 2000, perjanjian gadai saham itu diperpanjang enam bulan, dan jatuh tempo pada 1 Desember. Sebelum jatuh tempo, Aryaputra memberikan persetujuan pengalihan saham kepada BFI. "Itu membuktikan PT Aryaputra sudah setuju," kata Cornellius. Perjanjian perpanjangan gadai saham, menurut Cornellius, kembali dilakukan tiga hari sebelum jatuh tempo untuk jangka waktu satu tahun. Saat waktu perpanjangan itulah terjadinya pengalihan hak pembelian 41 juta lebih lembar saham.
Pengalihan hak itu yang kemudian berbuah gugatan. Menurut penggugat, PT Aryaputra yang diwakili kantor pengacara Wira & Partners, pada 7 Desember, sudah tidak ada lagi ikatan jaminan utang dengan BFI. Karena itu pengalihan hak pembelian saham oleh Francis dan Cornellius ke BFI, menurut Aryaputra, tidak sah dan melawan hukum.
Gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat yang dilayangkan pada akhir Maret 2003 itu baru diputus pada 14 April 2004. Majelis hakim yang dipimpin Silvester Djuma menyatakan BFI melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengalihkan saham milik PT Aryaputra Teguharta (Grup Ongko) di perusahaan tersebut kepada pihak lain. Pengadilan memutuskan BFI mengembalikan semua saham yang dijaminkan Aryaputra sejumlah 111.804.732 saham. Selain itu, BFI diwajibkan membayar ganti rugi atas dividen yang seharusnya diperoleh Aryaputra selama tahun buku 2001 dan 2002 senilai Rp 149,9 miliar sampai ada keputusan tetap.
Dalam pertimbangan hukumnya Hakim Silvester menilai penjualan saham berdasarkan akta gadai saham yang ditandatangani kedua belah pihak tidak dapat dijadikan dasar bagi pengalihan saham milik Aryaputra. "Persetujuan untuk mengalihkan atau menjual saham yang pernah diberikan penggugat kepada tergugat satu ketika menjadi berakhir pada 1 Desember 2000, walaupun utang-utang yang dijamin belum lunas, tak boleh dialihkan tanpa persetujuan pemilik saham," kata Silvester Djuma saat membacakan putusan di PN Jakarta Pusat.
Keputusan majelis hakim ditindaklanjuti dengan penyitaan dan pembekuan saham milik Aryaputra yang berada di tangan tempat penyimpanan (custodian). Padahal saham tersebut sudah milik kreditor asing. Karena tak bisa berbuat apa-apa itulah para pemegang saham yang digadaikan itu protes. "Pemegang saham BFI yang 90 persen asing kecewa dengan putusan hakim itu. Mereka tak tahu apa-apa, tapi sahamnya disita, tak bisa dialihkan dan tak bisa diperdagangkan. Itu yang membuat mereka marah," kata Cornellius.
Atas putusan hakim itu BFI dan para tergugat lainnya mengajukan banding. Sampai kini kasusnya masih menggantung di Pengadilan Tinggi Jakarta. Tapi PT Aryaputra sudah menyita 400 juta lembar saham BFI. "Aneh, sengketanya 111 juta saham, yang disita 400 juta. Kami tak habis mengerti," kata Cornellius.
Belum lagi tuntas masalah pertama, datang lagi gugatan. Kali ini penggugatnya PT Ongko Multicorpora. Seperti Aryaputra, PT Ongko juga menggugat soal pengalihan saham miliknya. Majelis hakim yang diketuai Mulyani, dalam putusan selanya pada 2 Juni lalu, menerima permohonan penggugat. BFI tak boleh mengadakan rapat umum pemegang saham. Hakim juga meminta Bapepam membekukan pencatatan saham milik BFI di bursa. "Ini kami lakukan agar tak terjadi pengalihan saham. Karena, kan urusan pengalihan saham bisa cepat dalam hitungan menit bahkan detik. Makanya perlu diambil tindakan status quo," kata Hakim Mulyani.
Namun putusan provisi itu baru bisa dilaksanakan jika sudah ada izin dari Ketua Pengadilan Tinggi PT Jakarta. "Sampai sekarang putusan itu belum bisa dilakukan karena belum ada izin," kata Mulyani. Walaupun belum bisa dilaksanakan, menurut Cornellius, putusan itu mengganggu kinerja perusahaannya. "Putusan itu berlebihan. Masa, cuma 98 juta saham yang disengketakan, kami tak boleh mengadakan kegiatan dan dibekukan," katanya. Saham BFI tercatat kini ada 700 juta lembar. "Kami ini perusahaan publik, kami tak mau ambil risiko, kami harus transparan. Kalau begini, kan kreditor kami yang dirugikan?" kata Cornellius.
Pengacara perusahaan Grup Ongko, Lucas, menyayangkan pihak asing yang membeli saham tanpa memeriksa statusnya. "Hukum harus ditegakkan, klien saya juga mau keadilan. Dia dirugikan dengan pengalihan saham miliknya secara diam-diam ke pihak asing," kata Lucas saat dihubungi TEMPO lewat hand phone.
Menurut Lucas, pihak asing juga seharusnya mengikuti proses hukum yang berlaku di Indonesia. "Jangan karena pihak asing lalu minta diistimewakan. Itu intervensi namanya," tuturnya.
Di mata Deputi Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Lucky Djani, protes pihak investor asing terhadap putusan yang mengganggu bisnis mereka merupakan hal wajar. "Mereka perlu kepastian hukum untuk investasi yang mereka tanam di sini," ujar Lucky. Tak lupa, dia juga menyerukan agar pemerintah segera memberantas gejala yang tak beres di pengadilan kita.
Ahmad Taufik
Kronologi Perkara BFI
1997-1998
Saat krisis ekonomi, PT BFI Finance berutang ke kreditor asing US$ 300 juta dan Kaharudin Ongko berutang ke BFI US$ 100 juta.
1 Juni 1999
Terjadi perjanjian gadai saham.
27 Januari 2000
RUPS luar biasa BFI menyetujui restrukturisasi dan pengalihan saham Aryaputra (milik Ongko) ke kreditor.
26 Maret 2003
Gugatan PT Aryaputra Teguharta masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mempersoalkan pengalihan 111 juta lembar saham miliknya ke kreditor.
14 April 2004
Ketua majelis hakim Silvester Djuma menyatakan BFI melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengalihkan saham milik PT Aryaputra Teguharta (Grup Ongko) di perusahaan tersebut kepada pihak lain. Pengadilan memutuskan agar BFI mengembalikan semua saham yang dijaminkan Aryaputra sejumlah 111.804.732 saham.
28 April 2004
BFI banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
14 Mei 2004
Caterpillar mengirimkan surat protes ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2 Juni 2004
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permohonan penggugat, PT Ongko Multicorpora (perusahaan Kaharudin Ongko lainnya), dalam perkara yang sana. BFI tak boleh mengadakan rapat umum pemegang saham. Hakim juga meminta Bapepam membekukan pencatatan saham milik BFI di bursa.
7 Juni 2004
Arisaig Partners Asia mengirim surat protes resmi ke pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Sumber BFI, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo