Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sembilan yang Diragukan

Sebanyak sembilan calon hakim kasus korupsi yang lulus seleksi diragukan kualitasnya. Integritasnya pun disorot.

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA batang rokok putih telah diisap M.S. Lumme hanya dalam waktu 15 menit. Diselimuti kepulan asap rokok, wajahnya tak menampakkan kesan bahagia kendati ia telah dinyatakan lulus menjadi salah satu hakim ad hoc kasus korupsi. "Saya belum mendapat pengumuman resminya dari Mahkamah Agung," ujarnya.

Ditemui TEMPO di rumahnya di ka-wasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Kamis pekan lalu, orang Makassar itu juga tampak hati-hati memberikan jawaban. Ini mungkin karena pensiunan hakim itu termasuk yang disorot oleh kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Gara-garanya, ia bekerja di sebuah firma hukum yang memiliki klien Ketua DPR Akbar Tandjung.

Lumme, 67 tahun, bersama delapan calon hakim lainnya telah dinyatakan lulus oleh panitia seleksi yang dibentuk Mahkamah Agung beberapa hari sebelumnya. Selain unsur pemerintah, kalangan LSM dilibatkan sebagai panitia. Sembilan calon hakim yang lulus itu akan ditempatkan di tiga tingkat pengadilan ad hoc kasus korupsi, yakni tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan pengadilan kasasi di Mahkamah Agung. Jadi, tiap-tiap pengadilan mendapat jatah tiga hakim kasus korupsi.

Tiga kandidat yang menjadi hakim ad hoc tingkat kasasi adalah Lumme, Hamrat Hamid (bekas staf ahli Kejaksaan Agung), dan Krisna Harahap (pengusaha). Di tingkat pengadilan tingkat banding telah ditentukan juga tiga nama, yakni M. As'adi al-Ma'ruf (mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman), Sudiro (pengajar di Departemen Kehakiman), dan Abdurrahman Hasan (dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah, Banjarmasin).

Lantas, untuk tingkat pengadilan pertama, panitia telah meloloskan Dudu Duswara Machmudin (kandidat doktor ilmu hukum Universitas Padjadjaran), I Made Hendra Kusuma (notaris), dan Achmad Linoh (dosen dan pengacara).

Mereka disaring dari 25 orang calon yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan selama tiga hari berturut-turut sejak Jumat dua pekan lalu. Ke-25 calon ini pun telah diperas dari 88 calon yang lolos persyaratan administratif.

Semula panitia hendak menjaring 16 hakim ad hoc kasus korupsi dari proses seleksi tersebut. Ternyata hanya sembilan nama yang layak. Padahal nilai kelulusan calon yang dituntut panitia tidak tinggi, rata-rata hanya 6,0. Yang dinilai bukan hanya integritas para calon, tapi juga visi dan misi mereka dalam urusan pemberantasan korupsi.

Kelemahan umum para calon, mereka tidak dikenal sebagai orang yang berdiri di barisan depan pemberantasan korupsi. Pengalaman semacam itu penting karena tugas mereka sungguh berat. Kelak para hakim ad hoc kasus korupsi mesti mengadili koruptor kakap yang diperiksa melalui jalur Komisi Pemberantasan Ko-rupsi.

Lumme termasuk yang diamati dengan tajam oleh kalangan LSM. Menurut Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan, Asep Rahmat Fajar, pensiunan hakim tersebut selama ini bekerja di firma hukum Lawrence T.P. Siburian. Dalam situs resminya, salah satu klien firma ini adalah Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. "Bagaimana ia mau memberantas korupsi kalau ikut menangani orang yang pernah didakwa korupsi?" ujar Asep.

Keterlibatannya dalam firma hukum tersebut tak dibantah oleh Lumme. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya hanya sebagai konsultan di sana. Lumme mengaku hanya dua kali seminggu datang ke kantor itu. "Saya tak terlibat langsung dengan penanganan perkara," ujar Lumme.

Sebagai bekas hakim, ia mengaku telah cukup berpengalaman menangani kasus korupsi. "Perkara korupsi yang melibatkan teman Ketua MA (saat itu Moedjono) saja saya hukum," katanya. Lumme juga tercatat sebagai hakim yang ikut mengabulkan verzet (perlawanan) jaksa atas dikabulkannya eksepsi Joko S. Tjandra dalam kasus Bank Bali oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu ia menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta.

Aktivis LSM lainnya, Rifqie Assegaf, yang menjadi anggota panitia seleksi, berpendapat berbeda. Dia mengungkapkan bahwa Lumme justru mendapat poin tertinggi. Dari jawaban-jawabannya kepada penguji, kata Rifqie, terlihat Lumme memiliki integritas yang cukup.

Nama lain yang menjadi catatan kalangan LSM adalah Krisna Harahap, 63 tahun. Hasil investigasinya, menurut Asep Rahmat, rekam jejak (track record) Krisna tidak begitu bagus. Dia selama ini dikenal sebagai pengusaha dan anggota Komisi Konstitusi MPR. Kiprahnya di dunia usaha dikenal lewat PT Grafitri Budi Utami, perusahaan percetakan yang cukup besar di Bandung. Nah, berdasarkan temuan tim Koalisi, Asep mengatakan ada hal yang perlu diklarifikasi atas usaha yang dijalankan Krisna.

Selama ini, PT Grafitri banyak mendapat proyek dari Dinas Pendidikan Jawa Barat. Malah, menurut investigasi Asep dan kawan-kawan, perusahaan milik Krisna ini pernah bermasalah saat menerbitkan rapor siswa SLTA di Jawa Barat pada 2002. Dalam buku rapor yang diserahkan ke siswa itu tercantum opsi "anak haram" dalam status siswa. "Tapi kami tak menyoroti kasus itu sebagai yang utama. Yang penting, bukan rahasia lagi, untuk mendapat proyek dari pemerintah butuh uang pelicin," ujar Asep.

Rifqie Assegaf, yang ikut menguji Krisna, juga kurang sreg terhadap Krisna. Dia mengaku memberikan skor yang minim buat pengusaha ini dalam hal kualitas, visi, dan misinya. Hanya, dari semua penguji, Rifqie mengaku hanya dirinya yang memberikan nilai rendah buat Krisna.

Saat uji kelayakan, ihwal uang pelicin tersebut juga termasuk yang ditanyakan. Jawaban Krisna? Dia mengaku tidak pernah memberikan uang pelicin dalam proyek-proyek yang didapat dari pemerintah. "Memang belum tentu orang yang memberi uang pelicin itu negatif, tapi tidak mengakui hal itu membuat saya ragu," kata Rifqie.

Ditemui TEMPO di rumahnya di Bandung pada Jumat pekan lalu, Krisna berusaha mengikis keraguan tersebut. Dia mengakui perusahaan yang dipimpinnya sering mendapat proyek dari dinas pendidikan. Tapi ia menegaskan bahwa dirinya tak pernah melakukan praktek korupsi-kolusi-nepotisme sedikit pun. Hal ini, katanya, sudah ia sebutkan di depan panitia seleksi saat uji kelayakan dan kepatutan. Krisna menyebutkan, pada saat mengikuti tender, saingannya tak kurang dari 20 perusahaan. "Jadi, saya mau main di mana? Tidak mungkin itu saya lakukan," katanya.

Meski begitu, Krisna tak menampik bahwa ia sering memberikan tip kepada petugas dari kepolisian atau dinas pendidikan. Itu karena mereka ikut mengawasi percetakan. "Masa, (mereka) tidak kita perhatikan?" katanya.

Sedangkan soal proyek rapor, Krisna mengelak jika disebutkan bahwa kesalahan itu dilakukan pihaknya. Ia menyebut perusahaan subkontraktor lain yang melakukan kesalahan. "Tapi kami tetap menggantinya," ujar Krisna. Doktor ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran ini mengaku siap melepaskan jabatannya di perusahaan jika ia menjadi hakim kasus korupsi nanti.

Di mata Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch, kesembilan orang yang terpilih itu mirip benteng reyot penegakan hukum korupsi. Bukan hanya integritasnya yang diragukan, tapi juga kualitasnya. Dari pengamatan Emerson, sejumlah hakim yang terpilih, kendati latar belakangnya dosen, tak paham hukum acara. "Dikhawatirkan kasus korupsi tak bisa diselesaikan hanya karena masalah teknis," ujarnya.

Itu sebabnya, baik Emerson maupun Asep menginginkan agar nama-nama yang sudah terpilih itu dapat dipertimbangkan lagi oleh Ketua Mahkamah Agung. "Akan sangat percuma jika nanti perkara hasil pengusutan Komisi Pemberantasan Korupsi malah diadili oleh hakim yang tak berkualitas," kata Emerson.

Kalangan LSM juga menuntut tanggung jawab anggota panitia seleksi yang banyak tak datang dalam seleksi akhir. Tapi, menurut Rifqie Assegaf, ketidakhadiran beberapa penguji yang sudah ditetapkan tak mempengaruhi penilaian. Soalnya, bilangan pembagi penilaian selalu sesuai dengan jumlah anggota yang datang pada setiap sesi.

Buat menjawab semua kritikan dan keraguan, tiada pilihan lagi bagi hakim-hakim ad hoc yang terpilih. Mereka mesti membuktikan kemampuan dan keberaniannya mengadili koruptor.

Juli Hantoro, Rana Akbari (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus