PERAMPOKAN nekat yang menewaskan pedagang emas Nyonya Lamria, 46, ternyata diatur di sebuah rumah di bilangan Guntur, Jakarta Selatan. Selesai operasi, kawanan rampok itu juga membagi hasil jarahannya, satu tas besar emas permata yang dikabarkan bernilal Rp 1 milyar, di sana. Meski tak ikut merampok, Sugiyanto, pemilik rumah, sudah tentu ikut kecipratan. Ia, akhirnya, ditangkap dan dituduh sebagai penadah. Pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ia dituntut hukuman 2 tahun penjara. Seorang penadah lain, Nyonya Tuti, 21, kini tengah diadili di pengadilan yang sama. Wanita cantik yang sedang hamil itu dituduh menerima 26 potong emas permata dari suaminya, Bambang, yang baru setahun menikahinya. Menjelang Malam Takbiran, Juni lalu, Bambang bertugas memboncengkan Soepriyanto dengan sepeda motor. Soepriyanto itulah, menurut tuduhan Jaksa, yang menembak korban - yang meski hanya pedagang emas pinggir jalan, omsetnya bisa sampai puluhan juta sehari, sehingga dijuluki big boss. Pelaku lain adalah Ujang (masih buron) yang memboncengkan Hendro. Hendro inilah yang turun menghampiri korban dan merebut tas dari Nyonya Lamria. Ia dilindungi Soepriyanto dengan pistol, dan karena korban mencoba melawan, ia "terpaksa" menembak. Korban tewas. Menurut polisi, kawanan perampok itulah yang pada tahun 1984 sering merajalela di berbagai tempat. Pada bulan Juli-Agustus saja, kata Mayor Arifin, kepala Dinas Serse Jakarta Pusat, mereka merampok di lima tempat. Kawanan itu, katanya lagi, bisa digulung karena tak bisa menahan diri. Mereka berfoya-foya: mengontrak sebuah rumah di Cempaka Putih, membeli mobil, mabuk-mabukan, dan membawa wanita panggilan ke situ. Polisi yakin, merekalah pelaku perampokan dan penembakan di Jalan Kwini, setelah salah seorang wanita panggilan mengaku mendapat hadiah perhiasan. Sewaktu dicocokkan, ternyata memang merupakan bagian dari emas milik korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini