KEJADIAN pencurian mayat itu memang betul. Sudah agak lama juga,
awal Pebruari lalu, di Kampung Lassa-Lassa, lebih 200 km dari
Ujungpandang. Plisi berhasil menangkap pencurinya. Tapi hingga
kini belum dapat diperoleh kejelasan: untuk apa mayat seorang
kakek, berumur 80 tahun, dibangunkan dari kuburnya? Pencurinya
sulit ditanyai. Sebab selarna dalam tahanan polisi ia selalu
merasa ketakutan, katanya, seperti dikejar-kejar bayangan anjing
hitam yang ganas.
Senin malam itu, 5 Pebruari, Desa Malakaji, Ibukota Kecamatan
Tompobulu di Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan), sepi dan dingin
oleh hujan yang turun di sekitar pegunungan Lompobatang. Tapi
Kopral I Pol. Borahima bersama 3 orang anggota kamra (keamanan
rakyat) tetap berjaga di pos.
Ketika itulah, jam 23.00, di jalanan tampak seseorang memanggul
sesuatu lewat di muka pos polisi. Kopral Borahima menegurnya.
Pejalan malam itu menjawab, ia sedang memanggul kulit hewan.
Ditanya selanjutnya, orang asing yang kemudian diketahui bernama
Sako Raja itu, tak dapat menunjukkan surat keterangan
semestinya.
Rp 25 Juta
Sako Raja, 37 tahun, lalu dipersilakan masuk ke pos. "Kami sudah
curiga," kata Barohima belakangan. "Sebab gulungan kulit yang
masih basah itu-tak dilipat seperti kebiasaan -- seperti berisi
sesuatu." Apa isinya? Sako Raja menjawab: "Barang galian."
Seorang anggota kamra, Hama, memeriksa. Dibongkarnya gulungan
kulit tersebut. Yang tampak pertama onggokan karung pupuk.
Setelah itu sarung. Dari balik sarung itulah apa yang dipanggul
Sako Raja jelas benar: sesosok mayat tua, belum rusak dimakan
tanah tanpa lengan kanan.
Benar juga pengakuan yang memanggulnya: mayat itu memang 'barang
galian'. Hama, yang memeriksanya, tak dapat menahan diri. Saking
kagetnya ia sampai terlompat, mencoba hendak lari tapi kakinya
tak bertenaga lagi. Dia jatuh mendeprok di lantai.
Kopral Borahima kemudian yang mengurusnya. Dia mulai mengusut
Sako Raja dengan berbagai pertanyaan -- soal surat kulit
dikesampingkan. Sako mengaku, mayat yang dipanggulnya
malam-malam itu, yang kemudian diketahui sebagai jenazah Bonto
Daeng Lebang yang wafat 10 September tahun lalu, dicurinya dua
malam sebelum dia tertangkap dari pekuburan Mata Allo. Mula-mula
jenazah itu disembunyikan di antara semak-semak Berikutnya
diangkut dengan mobil ke Malakaji, 30 km dari kuburan di Kampung
Lassa-Lassa dan terus dipanggul lewat pos polisi.
Untuk pekerjaan tersebut Sako Raja, orang Jeneponto, mengaku
hanya sebagai orang upahan saja. Yang menyuruhnya, katanya
dengan upah Rp 1 juta (bukan main!), adalah seorang bernama
Mustari. Orang ini sempat kabur ketika Sako Raja ditegur polisi.
Sako minta agar polisi dan kamra tak usah ribut-ribut. Ia
menyanggupi membayar uang tutup mulut Rp 50 ribu. Polisi tak
peduli. Pemeriksaan tetap dilanjutkan. Dari penggeledahan di
kopiah Sako hanya terdapat uang kontan Rp 200.
Bonto Daeng Lebang terkenal alim. Di desanya, Bontolempangang
orang baik ini disebut dato atau akkulau. Sebelum meninggal dia
sudah bersiap-siap. Dikumpulkannya isteri, 11 orang anak dan 42
cucunya dalam sebuah kenduri. Beras ketan yang dimasak dalam
bambu, setelah dipotong-potong, dibagikan rata kepada anak
cucunya. Setelah mengambil air wudhu barulah Daeng Lebang
menghembuskan nafas terakhir.
Menurut kepercayaan tertentu, mayat seorang dato tak bakal rusak
dimakan tanah. Dan mayat yang demikian itu dicari orang tertentu
pula -- kabarnya oleh sinshe, ahli obat cina -- karena dapat
diramu sebagai obat kuat atau kebal. Pasaran mayat dato menurut
desas-desus di sekitar peristiwa pencurian mayat Daeng Lebang,
sampai Rp 25 juta. Itulah sebabnya -- sambil menunggu hasil
pengusutan polisi - orang-orang percaya pencurian mayat Daeng
Lebang untuk tujuan-tujuan tersebut.
Keluarga Daeng Lebang dan penduduk Lassa-Lassa baru mengetahui
ada pencurian mayat setelah mendengar cerita dari seorang
pedagang emas dari Malakaji. Setelah dua puluh hari, mayat Daeng
Lebang 'disemayamkan' di kantor polisi, keluarganya boleh
memakamkannya kembali di kampungnya Bontoloe - tidak di Mata
Allo lagi.
Sejak kejadian atas kubur Daeng Lebang, beberapa orang penduduk
berjaga-jaga di kuburan. Terutama yang merasa ahli waris dato
atau akkulau. Tapi Naba, anak Dato Sallang Daeng Nakku,
kecolongan juga. Makam ayahnya (meninggal dua tahun lalu dalam
usia 100 tahun), di belakang masjid di Kampung Bontoloe juga,
ternyata sudah dibongkar orang. Terjadinya kira-kira seminggu
setelah kuburan Daeng Lebang jadi sasaran. Polisi jadi pening
juga karena sampai sekarang belum berhasil membongkar seluruh
peristiwa ini. Terutama siapa yang menjadi dalang penampung
mayat-mayat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini