KELUARGA Lay Huat -- isterinya A Pu, serta ketiga anak mereka
--salah satu keluarga Cina asing (WNA) di Selatpanjang,
Kabupaten Bengkalis, Riau. Oleh suatu kehidupan yang tak begitu
nyaman, Suatu hari Lay Huat melibatkan keluarganya dalam suatu
kerja yang tak beres dan diatur oleh sekelompok orang.
A Pu (isterinya) oleh kelompok orang yang mengaturnya mula-mula
'dikawinkan' secara resmi -- di Kantor Catatan Sipil (1970)
--dengan Kie Hong, seorang warganegara Indonesia (WNI). Tak ada
persoalan. Sebab perkawinannya dengan Lay Huat dulu, yang
dilakukan hanya secara adat Cina saja, tidak tercatat, tidak
bersurat. Perkawinan yang baru ini otomatis membuat A Pu menjadi
WNI. Begitu pula ketiga anaknya dari Lay Huat yang lahir 1953,
1957 dan 1960.
Tapi tak hanya A Pu dan ketiga anaknya saja yang mendadak jadi
warganegara -- karena memang bukan itu tujuan orang yang
mengaturnya. Lalu apa? Inilah dia. Di samping ketiga anak Lay
Huat ternyata masih ada 6 nama orang lain yang ikut masuk dalam
akte perkawinan sebagai anak A Pu. Caranya hanya dengan
menyelipkannya sebagai anak-anak yang lahir di tahun-tahun yang
lowong di antara anak A Pu sendiri. Bahkan ada yang disebut
sebagai anak kembar segala. Dengan begitu, berhasillah ke-6
orang asing mendapat surat kewarganegaraan.
Seorang janda di Bagansiapiapi juga dimanfaatkan. Janda WNI ini
resminya tercatat melahirkan 7 orang anak warganegara Indonesia.
Padahal masyarakat sekitarnya tahu betul: si janda itu hanya
pernah melahirkan seorang anak saja. Selebihnya jelas adalah
karya sekeiompok orang yang memang bekerja me-WNI-kan orang
asing dengan cara liar begitu.
Sudah tentu tak hanya A Pu atau si janda di Bagansiapiapi yang
diperalat. "Ada ribuan SKRI (Surat Kewarganegaraan RI yang
diragukan kebenarannya," menurut pejabat di Kantor Imigrasi
Tanjungpinang. Itu bisa dilihat dari kesibukan Imigrasi menolak
SKRISKRI yang diajukan pemiliknya ketika mengurus paspor. Coba
saja, "Menurut catatan mereka masih bangsa asing, KIM (Kartu
Izin Masuk) belum dicabut, kok tiba-tiba sudah jadi WNI," kata
pejabat Imigrasi tersebut.
Rp 100 ribu
Siapa yang bersalah? Tak ada yang mengaku, tentu. Yang jelas itu
berhubungan dengan akte kawin, akte kelahiran, surat bidan
sampai surat keterangan dari pengadilan yang dapat diperoleh
dengan cara-cara tak beres.
Seorang WNI, biasanya melarat, terbujuk oleh calo untuk menjual
akte kelahirannya. Pasarannya sekitar Rp 100 ribu. Jurnlah ini
rupanya menarik untuk melepaskan surat keterangan penting itu.
Perhitungannya sederhana: setelah punya SKRI, buat apa akte
kelahiran? Oleh yang membeli, akte tersebut dipergunakan untuk
memperoleh SKRI dari pengadilan. Dengan sedikit permainan, dari
akte tersebut tak begitu sulit untuk mendapatkan surat
keterangan pengadilan. Salah satu kasus demikian kini tengah
ditangani kepolisian Kepulauan Riau.
Kantor Catatan Sipil di Tanjungpinang bukannya tak mengetahui
ada ketidakberesan dalam pengurusan akte kelahiran. Tapi,
seperti kata pejabatnya, Sutarman SH, "hal itu paling slit
dikontrol." Misalnya untuk kasus semacam ini: Katakanlah ada
bayi WNA (ayah dan ibunya asing) lahir di rumah sakit. Untuk
memperoleh surat keterangan bidan dari rumah sakit, keluarga
asing itu menyatakan dirinya WNI. Rumah sakit yang bersangkutan
tentu saja tak merasa perlu untuk mengusut kewarganegaraan
pasiennya. Sehingga selanjutnya akte lahir si bayi dapat diurus
sebagai WNI.
Menurut kalangan keimigrasian Tanjungpinang, yang paling
dipersoalkan instansi tersebut ialah munculnya banyak SKRI yang
pengesahannya oleh pengadilan sudah lewat dari waktu yang
diperkenankan. Pengadilan Negeri, menurut sumber TEMPO di
Imigrasi, sebenarnya sudah tak boleh menerbitkan SKRI sesudah 28
April 1978. Urusan sudah diambil alih oleh Departemen Kehakiman.
Tapi sampai Juni 1978 pengadilan masih saja menerbitkan ratusan
surat kewarganegaraan itu.
SKRI-SKRI seperti itulah yang banyak ditolak Kantor Imigrasi
bila diajukan pemiliknya untuk mengurus paspor. Sebab meski
bagaimana pun si pemegang SKRI mengaku WNI, tapi catatan di
Kantor Imigrasi tetap saja menunjukkan mereka itu asing.
Pengadilan Negeri bisa mengelak. Memang ada ketentuan bagi
pengadilan untuk tidak melayani permintaan SKRI sesudah 28 April
1978. Tapi menuntut pejabat di sana, ketentuan pelaksanaan dari
Departemen Kehakiman belum ada. "Jadi tak jelas bagaimana
memperlakukan permohonan yang sudah terlanjur masuk," kata
pejabat pengadilan.
Tapi bagaimana jika ternyata cara memperoleh SKRI itu dengan
surat-surat yang tak beres -- seperti yang disinyalir Imigrasi?
"Tanpa dokumen asli kami tak melayani," ujar pejabat tadi.
Jadi di mana tidak beresnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini