Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bagaimana Jadi WNI Palsu?

Cara yang ditempuh orang Cina di Kalimantan Barat & Tanjungpinang untuk menjadi WNI tidak mudah, bila perlu palsu. Maka mereka menjadi obyek empuk bagi oknum yang mengurusnya.(krim)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA Lay Huat -- isterinya A Pu, serta ketiga anak mereka --salah satu keluarga Cina asing (WNA) di Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, Riau. Oleh suatu kehidupan yang tak begitu nyaman, Suatu hari Lay Huat melibatkan keluarganya dalam suatu kerja yang tak beres dan diatur oleh sekelompok orang. A Pu (isterinya) oleh kelompok orang yang mengaturnya mula-mula 'dikawinkan' secara resmi -- di Kantor Catatan Sipil (1970) --dengan Kie Hong, seorang warganegara Indonesia (WNI). Tak ada persoalan. Sebab perkawinannya dengan Lay Huat dulu, yang dilakukan hanya secara adat Cina saja, tidak tercatat, tidak bersurat. Perkawinan yang baru ini otomatis membuat A Pu menjadi WNI. Begitu pula ketiga anaknya dari Lay Huat yang lahir 1953, 1957 dan 1960. Tapi tak hanya A Pu dan ketiga anaknya saja yang mendadak jadi warganegara -- karena memang bukan itu tujuan orang yang mengaturnya. Lalu apa? Inilah dia. Di samping ketiga anak Lay Huat ternyata masih ada 6 nama orang lain yang ikut masuk dalam akte perkawinan sebagai anak A Pu. Caranya hanya dengan menyelipkannya sebagai anak-anak yang lahir di tahun-tahun yang lowong di antara anak A Pu sendiri. Bahkan ada yang disebut sebagai anak kembar segala. Dengan begitu, berhasillah ke-6 orang asing mendapat surat kewarganegaraan. Seorang janda di Bagansiapiapi juga dimanfaatkan. Janda WNI ini resminya tercatat melahirkan 7 orang anak warganegara Indonesia. Padahal masyarakat sekitarnya tahu betul: si janda itu hanya pernah melahirkan seorang anak saja. Selebihnya jelas adalah karya sekeiompok orang yang memang bekerja me-WNI-kan orang asing dengan cara liar begitu. Sudah tentu tak hanya A Pu atau si janda di Bagansiapiapi yang diperalat. "Ada ribuan SKRI (Surat Kewarganegaraan RI yang diragukan kebenarannya," menurut pejabat di Kantor Imigrasi Tanjungpinang. Itu bisa dilihat dari kesibukan Imigrasi menolak SKRISKRI yang diajukan pemiliknya ketika mengurus paspor. Coba saja, "Menurut catatan mereka masih bangsa asing, KIM (Kartu Izin Masuk) belum dicabut, kok tiba-tiba sudah jadi WNI," kata pejabat Imigrasi tersebut. Rp 100 ribu Siapa yang bersalah? Tak ada yang mengaku, tentu. Yang jelas itu berhubungan dengan akte kawin, akte kelahiran, surat bidan sampai surat keterangan dari pengadilan yang dapat diperoleh dengan cara-cara tak beres. Seorang WNI, biasanya melarat, terbujuk oleh calo untuk menjual akte kelahirannya. Pasarannya sekitar Rp 100 ribu. Jurnlah ini rupanya menarik untuk melepaskan surat keterangan penting itu. Perhitungannya sederhana: setelah punya SKRI, buat apa akte kelahiran? Oleh yang membeli, akte tersebut dipergunakan untuk memperoleh SKRI dari pengadilan. Dengan sedikit permainan, dari akte tersebut tak begitu sulit untuk mendapatkan surat keterangan pengadilan. Salah satu kasus demikian kini tengah ditangani kepolisian Kepulauan Riau. Kantor Catatan Sipil di Tanjungpinang bukannya tak mengetahui ada ketidakberesan dalam pengurusan akte kelahiran. Tapi, seperti kata pejabatnya, Sutarman SH, "hal itu paling slit dikontrol." Misalnya untuk kasus semacam ini: Katakanlah ada bayi WNA (ayah dan ibunya asing) lahir di rumah sakit. Untuk memperoleh surat keterangan bidan dari rumah sakit, keluarga asing itu menyatakan dirinya WNI. Rumah sakit yang bersangkutan tentu saja tak merasa perlu untuk mengusut kewarganegaraan pasiennya. Sehingga selanjutnya akte lahir si bayi dapat diurus sebagai WNI. Menurut kalangan keimigrasian Tanjungpinang, yang paling dipersoalkan instansi tersebut ialah munculnya banyak SKRI yang pengesahannya oleh pengadilan sudah lewat dari waktu yang diperkenankan. Pengadilan Negeri, menurut sumber TEMPO di Imigrasi, sebenarnya sudah tak boleh menerbitkan SKRI sesudah 28 April 1978. Urusan sudah diambil alih oleh Departemen Kehakiman. Tapi sampai Juni 1978 pengadilan masih saja menerbitkan ratusan surat kewarganegaraan itu. SKRI-SKRI seperti itulah yang banyak ditolak Kantor Imigrasi bila diajukan pemiliknya untuk mengurus paspor. Sebab meski bagaimana pun si pemegang SKRI mengaku WNI, tapi catatan di Kantor Imigrasi tetap saja menunjukkan mereka itu asing. Pengadilan Negeri bisa mengelak. Memang ada ketentuan bagi pengadilan untuk tidak melayani permintaan SKRI sesudah 28 April 1978. Tapi menuntut pejabat di sana, ketentuan pelaksanaan dari Departemen Kehakiman belum ada. "Jadi tak jelas bagaimana memperlakukan permohonan yang sudah terlanjur masuk," kata pejabat pengadilan. Tapi bagaimana jika ternyata cara memperoleh SKRI itu dengan surat-surat yang tak beres -- seperti yang disinyalir Imigrasi? "Tanpa dokumen asli kami tak melayani," ujar pejabat tadi. Jadi di mana tidak beresnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus