Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bobolnya museum nasional

Museum nasional jakarta kecurian 20 benda antik. pengamanan museum rapuh. tak layak sebagai museum er taraf internasional. sejarah museum nasional. koleksi keramik yang dicuri. pengelolaan museum.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Bobolnya museum nasional
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
GEDUNG tua itu diam, tapi masih kukuh. Di halamannya, seekor gajah batu bagai tepekur bak menahan amarah. Apalagi di hari-hari ini pusat perhatian orang memang sedang tertuju ke sana. Itulah Museum Nasional -- yang juga akrab disebut namanya dengan "Gedung Gajah". Sebagian koleksi yang mengandung nilai sejarah, keilmuan, dan berupa harta budaya bangsa yang dipajang di dalam gedung tersebut akhir September lalu, baru ketahuan lenyap dijarah. Dua puluh benda purbakala yang dilindungi undang-undang ini berasal dari abad ke-11 sampai ke-16. Kerugiannya jauh lebih besar dibanding nilai milyaran rupiahnya -- terdiri dari kendi, vas, buli-buli, piring, mangkuk. Sampai akhir pekan ini, para garongnya belum tertangkap. Sementara, Kadispen Polda Metro Jaya, Letkol A. Latief Rabar, cuma mengatakan "masih dalam penyidikan" -- enam karyawan museum sudah diperiksa polisi. Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio dalam jumpa pers di aula Museum Nasional, Jumat barusan, juga tak banyak mengungkapkan soal. Bahkan ia sendiri tak tahu bahwa penjarahan itu sudah dua kali terjadi. Senin, 7 September 1987, pagi, museum tertutup untuk umum seperti biasanya. Para karyawan masuk kantor, antara lain membersihkan koleksi museum. Tiba-tiba ada yang kaget. Sebelas keramik Cina jenis Celadon, terdiri dari vas, piring, dan buli-buli buatan abad ke-11 sampai ke-15, hilang dari lemari nomor 34 dan 35. Pimpinan museum segera bertindak, dan bekas-bekas garongan itu dibersihkan. Pada pintu dua lemari itu ditempel kertas bertuliskan: Benda sedang dikonservasi. Sebagian karyawan tak menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi. Seperti pada pencurian mata uang kuno pada 1971, kali ini penjarahnya diduga juga menginap di museum -- setelah museum tutup pukul 14.00 -- hingga gampang beraksi, dan kabur sebelum museum dibuka. Pada penggarongan 16 tahun lalu itu, ditemukan makanan khas orang Barat yang tertinggal. Ketika penggarongan awal bulan lalu itu, si penjarah sempat "menitip" bekas bungkus nasi dan botol limun. Ia, atau mereka, tampaknya profesional? Malingnya memang pintar," kata Haryati. Pintu kedua lemari itu dicongkel denan mulus, hina seperti tak ada kerusakan yang berarti. Sebuah sumber menduga: malingnya kabur melalui jendela Ruang Prasejarah (lihat Peta). Senin, 28 September, pagi. Museum ditutup untuk umum. Para karyawan masuk kantor. Pukul 08.25, juru kunci Sudarto, 24 tahun, terpana melihat jendela paling ujung di Ruang Peta Etnografi. Terali bagian bawah, yang biasa disorong ke atas, terbuka. Terali itu tergantung di jendela, terikat tali dadung. Baut dan sekrupnya setelah dilepas, ditumpuk rapi di lantai. Sudarto menemukan lemari nomor 40B kosong dari koleksi kendi dan mangkuk. Lemari nomor 43-A juga melompong. Piring-piring sudah diskat. Yang lain yang ikut menguap: 9 keramik Cina purba, warna biru-putih, eks dinasti Ming abad ke-15 dan ke-16 -- jauh lebih berharga dari keramik yang dirampok tiga minggu sebelumnya. Dua puluh keramik yang raib itu, sebagian adalah warisan De Flines. Juri kunci itu lalu melapor pada Kanusi, satpam yang bertugas hari itu. Kanusi lalu menghadap ke Nuriah Djumena di Seksi Koleksi Relik Sejarah. Setelah itu, para petugas museum jadi gugup dan panik. Sedangkan Direktur Museum Nasional, Teguh Asmar, yang belum datang, dilapori lewat telepon. Setelah ketahuan ada musibah lagi, kali ini, pimpinan museum baru melaporkannya ke Polsek Gambir. Perampok, yang diduga lebih dari seorang, memang lari melalui jendela yang dipergoki Sudarto itu. Anjing pelacak, yang dibawa polisi pada jam 11.00, tanpa ragu- ragu mengendus tempat itu. Jendela itu tembus ke halaman belakang museum. Di sana ada rumah kosong, bekas tempat tinggal Egbert Willem van Orsoy de Flines. Orang Belanda yang kolektor keramik Cina purba ini pada 1932 menghibahkan 4.800 koleksinya, 2.000 biji di antaranya berupa pecahan (lihat "Barang Hijau" buat Saladin). Kini rumah itu kosong, setelah dua tahun lalu ditinggalkan Soelaiman Joesoef -- karena adik bekas Menteri P dan K Daoed Joesoef itu pindah ke tempat lain. Meski berpagar tembok yang dilengkapi besi setinggi 3,5 meter, halaman belakang museum itu memang rawan. Dengan gampang orang melompatinya, tanpa terhalang pagar kawat berduri. Di luarnya ada jalan setapak. Di ujung jalan ini ada asrama Pom ABRI, yang dempet dengan Mabes ABRI -- juga ada barisan rumah petak yang sebagian besar dihuni anggota ABRI. Penjual rokok maupun pemilik warung nasi "Sudi Mampir" di mulut jalan tadi tak tahu ada perampok lewat. Jalan setapak itu bermuara di depan kantor Kelurahan Gambir di Jalan Tanah Abang mur. Membatasi pagar tembok museum ada pintu berterali besi. Digembok. Dari pintu inilah diperkirakan penggarong memanjat, sebelum melompati pagar. "Di situ ada tergantung tali," kata sebuah sumber. Bung Garong tampaknya tahu betul situasi pengamanan di museum. Penjagaan malam hari di sana, seperti pada malam-malam yang lain, memang longgar. Minggu malam 27 September itu, hanya dua satpam yang berdinas, masing-masing Sumiarno dan Kanusi. Yang bergiliran piket seharusnya tiga satpam dan seorang polisi. Tapi malam itu seorang satpam, Istihar, sakit. Sedang pak polisi tak pula nongol. Dan seperti malam-malam lainnya, para petugas jaga tak pernah mengontrol ke ruangan-ruangan museum yang luas dan berliku itu. Mereka hanya berjaga-jaga di depan museum, tetapi tak berani masuk museum bila malam turun. Katanya, "Takut pada hantu." Lain dengan Kusni Kasdut. Karena ia tak takut pada hantu, bersama tiga kerabatnya, penjahat berkaliber itu menjarah Museum Nasional. Itu di pagi Jumat 31 Mei 1963. Mengenakan seragam jenderal polisi, Kusni turun dari sebuah jip. Dua di luar. Setelah masuk, lalu ia bersama seorang kawannya naik ke ruang penyimpan emas dan permata, di lantai dua. Kasdut menodongkan pistolnya ke arah dua karyawan yang sedang mengepel lantai. Seorang ditendang. Kepalanya diinjak, lalu didorong masuk ke lorong lemari. Seorang lagi, Naiman, sempat menangkis pisau di tangan perampok itu, hingga jarinya nyaris putus. Kusni segera memecah kaca penyimpan perhiasan dan membawa kabur 11 buah, di antaranya sebuah giwang bermata intan dari Lombok yang lebih besar dan jempol orang gemuk. Sepuluh tahun kemudian Kusni menggadaikan giwang yang sudah dipecah-pecah -- agar sulit dikenali di Kantor Pegadaian Negara, Semarang. Petugas pegadaian curiga. Sebab, baru pertama kali itulah ia melihat giwang sebesar itu -- sekalipun sudah dipecah-pecah. Karena itu pula ia melapor ke polisi. Belakangan setelah Kasdut tertangkap, perhiasan itU dikembalikan ke museum. Itu tak berarti para penjarah kapok. Pada 1971, Gedung Gajah digerayang lagi. Lima mata uang Cina kuno diraup. Diperkirakan pelakunya menginap di museum sebelum beraksi, bersembunyi di balik tripleks. "Di situ kedapatan sisa-sisa makanan mahal, khas makanan orang Barat. Ada kemungkinan pencurinya orang bule," kata Teguh Asmar, Direktur Museum Nasional. Dan kasus ini lenyap sampai sekarang. Koleksi purbakala yang menguap digondol maling itu hanya sebagian kecil dari seluruh koleksi yang dimiliki Museum Nasional. Yang masih tinggal, malah, ada benda bernilai budaya dan tinggi kandungan ilmiahnya. "Karena itu, segera diperlukan pengamanan yang sangat ketat. Kalau perlu, yang dipajang hanya fotonya saja," ujar Abu Ridho, 60 tahun. "Sayang. Bahkan pemerintah seperti kurang menyadari betapa pentingnya pengamanan harta budaya ini," tambah pensiunan kurator Museum Nasional itu. Tak heran bila seorang ahli permuseuman di Jakarta, dengan nada kesal, berucap, "Sementara di Jakarta bertebar gedung yang harganya milyaran rupiah, kok isi Museum Nasional malah tak diasuransikan pengamanannya rapuh, dan wajahnya seperti kakus yang tak terurus." Laporan Yopie Hidayat, Sri Indrayati, Syafiq Basri, Priyono B. Sumbogo, Bunga Surawijaya (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus