Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ke Betawi Seusai di Haarlem

Museum nasional tampaknya tak layak sebagai museum bertaraf nasional. Berdiri pada tahun 1778 atas prakarsa bataviasche genootschap. Th 1867 gedung museum dipindah ke Jl. Merdeka Barat hingga kini.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Ke Betawi Seusai di Haarlem
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
USIA Museum Nasional Jakarta sudah 209 tahun. Di kalangan orang tua, museum ini sangat dikenal sebagai Gedung Gajah Bangunannya kelihatan tak ringkih, hanya "antik" seperti kurang terurus. Dan bagian dalamnya mirip belantara benda-benda kuno. Itu karena pengaturan memang kurang canggih -- ditambah informasi yang kurang memadai dan pencahayaan di dalam juga tak sedap. Demikianlah penglihatan seorang kurator senior. Tampangnya seperti tak layak sebagai sebuah museum bertaraf nasional -- jika dibanding dengan apa yang ada di negeri-negeri lain. Padahal, kekayaan yang tersimpan bisa membuat pengunjung, bahkan peneliti asing, terkesima. Ini karena disadari betul bahwa di dalam ada peninggalan historis dan kultural yang sangat mahal nilainya. Selain keramik yang berkait dengan Cina Kuno yang dikagumi para pecandunya di seluruh dunia itu, dari khazanah budaya nusantara sendiri, koleksi museum merentang zaman -- sejak dari kapak eks zaman perunggu sampai ke angka tekstil berbagai suku bangsa. Kini benda koleksinya lebih dari 60 ribu, dan diambah dengan 4 ribu judul naskah dan 50 ribu buku, plus koleks numismatik dan etnografi. Secara resmi, museum ini lahir atas prakarsa Bataviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia, yang berdiri pada 24 April 1778. Di kawasan Asia, Bataviasche Genootschap (BG) merupakan lembaga sejenis dari Barat yang lanjut usianya. BG tak lahir begitu saja di Betawi. Benihnya berasal dari Hollandsche Maatschappij der Wetenshappen alias Lembaga llmu Pengetahuan Belanda -- yang ketika jarig-nya ke-25 sedang dirayakan ketika itu, direncanakan pula untuk membuka cabang lembaga semacam itu di daerah koloni. Betawi, sebagai ibu kota VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Asia, lalu dipilih sebagai lokasi yang tepat. BG, yang kemudian dilepaskan lembaga induknya di Haarlem -- untuk berdiri sendiri -- memang seperti lebih mungkin didirikan di Jakarta. Tak lain karena di sini ada J.C.M. Rademacher, sebagai anggota Raad van Indie, badan penasihat tertinggi Gubernur Jenderal. Demikian menurut sejarawan dan kolomnis TEMPO, Onghokham. Rademacher, seorang priayi yang terbakar oleh semangat zamannya -- masa pencerahan (verlichting atau enlightment) di Eropa -- tak segan menyibukkan diri pada kegiatan-kegiatan keilmuan. Tanpa dia, mustahil BG berdiri. Izin untuk mendirikan BG rasanya bisa tak terkabul kalau Rademacher sendiri bukan menantu penguasa tertinggi di wilayah jajahan ini, Gubernur Jenderal G.G.R. de Klerck -- yang rumahnya di belakang hari dijadikan Arsip Nasional, di Jalan Gajah Mada. Rupanya, begitulah sudah adatnya bahwa kegiatan keilmuan dan penelitian selalu harus dikaitkan dengan kebijaksanaan politik penguasa. Pada awal berdirinya, museum ini menempati sebuah rumah pemberian ketua pertama BG, Rademacher, di Jalan Kali Besar. Pada masa Sir Stamford Raffle menjadi Letnan Gubernur Jenderal di sini atas nama pemerintah Inggris Raya, ia sekaligus mengetuai pula BG. Kemudian Raffles memindahkan museum itu ke sebuah bangunan di belakang Harmoni. Baru pada 1867 -- bangunan yang sekarang -- gedung di Jalan Merdeka Barat selesai, yang memang, disediakan untuk museum. Di gedung ini, masyarakat umum mula boleh berkunjung pada 1868. Sebuah patung gajah terbuat dari perunggu adalah pemberian Raja Siam Chulalangkorn. Ia berkunjung ke Betawi pada 1871. Patung gajah ini kemudian melengkapi halaman museum yang semula memang kosong. Karena ada gajah tak bernyawa itulah akhirnya namanya lengket jadi Gedung Gajah. Pada 1962 museum ini menjadi milik negara sepenuhnya. Dan pengelolaannya langsung di bawah Departemen P dan K. Mohamad Cholid & Priyono B. Sumbogo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus