Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Saya siap digantung

Museum nasional tidak dilengkapi alat pengaman yang canggih karena kekurangan dana dan tenaga, jauh ketinggalan dibanding museum di inggris dan belanda. museum nasional beberapa kali kecolongan.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Saya siap digantung
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TIAP Senin Museum Nasional memang ditutup untuk umum. Tapi di Senin ini, Gedung Gajah itu justru didatangi pengunjung istimewa. Tamu itu Fuad Hassan. Ia, Menteri P dan K. Ia hanya bilang pada Syafiq Basri dari TEMPO, "Keterangan pers cukup Dirjen saja, supaya tak merugikan pelacakan." Hari kemarin itu Fuad dua jam di dalam ruangan museum. Dan itu kunjungan pertama setelah museum itu kemalingan. Soal meningkatkan keamanan museum yang baru kebobolan? Kenapa garong, tak hanya sekali, bisa enak masuk? Pertanyaan itu memang. merupakan pertanyaan pokok, yang tidak mudah dijawab selama ini. Pengalaman pencurian besar itu bukan hal baru. Juga ada contoh di mana-mana. Bahwa sasaran utama para maling, barang antik nan langka, kini memang tertuju ke gudangnya: museum. "Tanda-tanda bahaya telah berbunyi di seluruh dunia. Kita sedang menghadapi kekalahan," begitu kata Donald Mason, detektif FBI yang trampil mengusut pencurian benda seni. Masih ingat pencurian lukisan (asli) Monalisa karya Leonardo da Vinci -- dibuat pada 1503 -- yang sensasional itu? Setelah "diselamatkan" atau dikembalikan (?), lukisan "senyum" terkenal itu sekarang disimpan di Museum Louvre, Paris. Dalam pada itu, perburuan barang antik tetap terus semarak. Majalah Time, misalnya, 26 Februari 1979 menyiarkan sebuah kepala patung pualam eks Yunani yang berusia 2.500 tahun dan bernilai 150 ribu dolar AS dicuri dari New York Metropolitan Meseum. Di siang bolong pula. Sebelumnya, tiga karya Cezanne seharga 3 juta dolar AS digondol dari Art Institute of Chicago. Kemudian, M.H. De Young Memorial Museum di San Francisco digangsir. Orang itu berhasil menggarong beberapa lukisan Belanda eks abad ke-17, harganya US$ 1,2 juta. Di antara yang digetap, Portrait of a Rabbi, karya Rembrandt. Di Negeri Belanda, karya pelukis ini -- yang sudah di museum -- pernah pula dirobek-robek seorang pengunjung. Tetapi di Jakarta, setelah 1963 diawali perampokan oleh Kusni Kasdut itu (lihat: Siapa Menginap di Gedung Gajah), ada lagi barang lain yang "hilang begitu saja" alias tak tercatat -- seperti sepasang keris bertatahkan emas buatan zaman Majapahit. Sepuluh tahun lalu, keris ini, plus sebuah keris Bali yang juga bertatahkan emas, masih ada. Kini pusaka yang pernah disimpan di museum itu, setelah raib, kian tak diingat orang. Di luar soal keamanan, dan asuransi, yang belum untuk Museum Nasional termasuk pendokumentasian dengan teknologi fotografi. Padahal sangat penting. Ini bukan saja untuk memberi informasi kepada pengunjung, tetapi bisa dipakai sebagai alat pembuktian jika harus mengejar, misalnya untuk keramik yang hilang itu. "Tanpa ada foto komplet dari berbagai sudut, mana mungkin kita bisa menemukannya?" kata seorang ahli museum dari mancanegara yang tak mau disebut namanya. "Jangan lupa. Ketika dulu keramik-keramik itu dibuat, tak hanya satu, tapi dalam jumlah banyak. Jadi, ada kemungkinan kembarnya masih ada. Tanpa gambar lengkap, bagaimana membedakannya?" katanya pada Mohamad Cholid dari TEMPO. Satu lembaga di Eropa pernah menawarkan jasa pendokumentasian, berbentuk bantuan gratis. Ganjilnya, malah pihak Museum Nasional menolak bantuan ini -- tanpa alasan yang jelas. Menurut amatan si ahli tadi, di samping koordinasi kurator dengan petugas keamanan tak berjalan mulus, di museum ini tak ada pula sistem pengamanan alarem. Memang. Tetapi Direktur Museum Nasional, Teguh Asmar, pernah mengusulkan supaya anggaran keamanan museum itu dinaikkan 30% dari biaya keseluruhan (yang hanya Rp 76 juta) per tahun. Sayang, usul itu tak sukses. Malah anggaran keamanan cuma mendapat 15-20%. Dengan dana yang tak mencukupi, sebuah museum dipasang alat canggih yang harganya jutaan? Dari anggaran rutin tadi, dan ditambah anggaran pembangunan Rp 50 juta per tahun, "Mana mungkin kami bisa membangun sistem keamanan yang baik," kata Teguh, setengah mengeluh. Seandainya sudah dibuatkan sistem pengamanan canggih dan mahal, tetapi terjadi juga pencurian, katanya menjamin, "Saya siap digantung." Kendati begitu, upaya bukan tak ada. Setelah Ruang Emas disatroni si Kasdut (sudah dihukum mati), kini tempat itu dilengkapi jaringan pengaman elektronik mutakhir bantuan Bank Sumitomo. Pembangunannya (1985-1986) menghabiskan 48 juta yen, dan ditangani langsung oleh teknikus Jepang. Di seputar dinding ruangan (12 x 12 meter) tempat menyimpan keris, tombak, pedang, arca, dan berbagai perhiasan yany semua terbuat dari logam murni itu dilapis baja. Setiap pengunjung harus melalui pintu putar. Di malam hari, pintu ini diamankan dengan terali baja. Selain itu masih ada kamera-kamera tersembunyi, alarem, dan beberapa perangkat otomatis lainnya. Bila ada yang coba-coba memecahkan kaca etalase, tanda bahaya kontan berdering. Di samping itu tingkah laku pengunjung akan terdeteksi lewat layar monitor. Peralatan ini menurut Teguh, yang juga kakak novelis N.H. Dini itu, bila dirawat dengan baik bisa bertahan seabad. Tapi untuk itu perlu penyejuk udara alias AC. Hanya baru di bagian tersebut saja sarana pengaman dipasang. Padahal, ruang lain tak kalah pentingnya. Di ruangan keramik yang dibobol itu, suasananya malah mirip etalase roko kelontong. Keramik-keramik diletakkan dalam kerangkeng kaca. Sebagian lagi tetonggok di sudut-sudut ruangan. Tak ada sensor alarem, apalagi kamera. Dan keramik itu, sebelum lenyap, siangnya hanya dijaga seorang petugas. Sedangkan dari 16 satpam (satuan pengamanan), hanya tiga yang berdinas, tiap malam. Kekurangan tenaga ini juga dirasakan di beberapa museum lain. Misalnya Museum Mpu Tantular, Surabaya. Pada jam-jam kunjungan tamu, museum dijaga oleh dua petugas, dan di malam hari ada tiga penjaga. Ironisnya: mereka tanpa dibekali alat pengaman apa pun. "Jadi, kalau ada apa-apa, ya, berteriak saja," kata Soetjipto, Kepala Museum Mpu Tantular. Lazimnya, menurut Soetjipto, ada satpam khusus yang punya keahlian menangani keamanan. "Soal itu sedang kami pikirkan," katanya. Selama ini, satu-satunya tindakan preventif, ya, melarang pengunjung bawa tas ke dalam gedung. Cukup? "Tentu tidak. Idealnya memang harus dilengkapi dengan kamera deteksi." "Kalau mau, sebenarnya tak mahal," kata seorang petugas bagian penjualan sebuah perusahaan di Jakarta. Perusahaan yang mengageni peralatan antiperampokan itu menjanjikan paket pengamanan yang lengkap, seharga Rp 20 juta. Meliputi deteksi pintu gerbang, pagar, tembok bangunan, pmtu masuk, jendela, atap, almari -- hingga benda-benda dalam ruangan yang perlu dilindungi. Perlengkapan bisa terdiri dari fire protection system, building automation system, dan sebagainya. Museum Kontemporer di TMII -- termasuk sejumlah bank -- telah memanfaatkan jasa perusahaan tersebut. "Rata-rata Rp 16 juta," kata petugas sales tadi. Ia yakin, pemasangan sistem pengamanan museum-museum biayanya tak lebih dari itu. Pengamanan terhadap museum sebenarnya tak kendur. Cuma, yang namanya pencuri -- apalagi sekarang -- selalu panjang akal. Tak heran bila museum di berbagai daerah beberapa kali dilaporkan didatangi penjahat. Museum Istana Mangkunegoro di Solo, misalnya, dua tahun lalu kecolongan "badhong". Benda antik berbentuk segitiga dan terbuat dari emas peninggalan Majapahit itu raib. Padahal, tak ada bekas perusakan pada pintu dan jendela ruang penyimpanan alat yang konon digunakan sebagai penutup vagina putri keraton zaman baheula itu. "Malingnya memang maling misterius," kata G.P.H. Jiwokusumo. Nasib Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, tak berbeda. Dengan anggaran sekitar Rp 100 juta per tahun, tak mungkin Sonobudoyo membeli peralatan modern. Benda-benda koleksi hanya disimpan di almari kaca. Sementara itu, yang terbuat dari emas diletakkan dalam almari besi di ruang khusus. Museum yang didirikan pada 1935 ini punya 10 satpam. Sejak nahas menimpa Museum Nasional Jakarta, penjagaan di Sonobudoyo ditingkatkan. Para karyawan kini dikenai wajib piket secara bergilir, baik siang maupun malam. Penjagaan ekstra ketat juga tampak di Museum Keraton, Yogya. Dibanding museum negeri lain, di Indonesia memang jauh dalam segala hal, baik dari segi dana, pengamanan, maupun jenis koleksi. Lihat saja Museum Victoria dan Albert di London. Dengan biaya operasi 12 juta setahun, museum itu mampu menggaji 700 karyawan -- separuhnya adalah satpam. Museum yang didirikan tahun 1852 ini tentu saja dilengkapi dengan sistem keamanan elektronik, seperti halnya di British Museum, yang setiap tahun dikunjungi empat juta wisatawan itu. Rijk Museum Amsterdam, Belanda, juga dilengkapi sarana mutakhir antimaling. Pamor museum di Indonesia sebenarnya tetap akan berkibar bila dikelola dengan baik. Masalahnya, lagi-lagi terbentur biaya yang tak mencukupi. "Alasan minimnya dana untuk pengamanan benda-benda purbakala harus kita akui," kata Mundardjito. Arkeolog yang juga dosen UI ini berpendapat, ada baiknya pihak swasta ikut dilibat dalam pengelolaan museum. "Kalau perlu kita minta dukungan negara lain," tambahnya. Dan Mundardjito menuding lagi. "Tak hanya museum saja yang perlu ditangani. Ratusan situs arkeologi yang selama ini terbuka juga perlu diselamatkan," katanya. Yusroni Henridewanto, Bachtiar Abdullah (Jakarta), Henrix Mandagi (Amsterdam), Yudhi Soerjoatmodjo (London)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus