Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukti Baru dalam PK Kedua Dugaan Pembunuhan Eky dan Vina Cirebon

Tim kuasa hukum mendesak polisi menuntaskan laporan dugaan kesaksian palsu dalam kematian Vina Cirebon.

9 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Vina Cirebon di Cirebon, Jawa Barat, 24 Juli 2024. ANTARA/Dedhez Anggara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tim kuasa hukum terpidana pembunuhan Eky dan Vina bersiap mengajukan peninjauan kembali kedua ke Mahkamah Agung..

  • Laporan tentang keterangan palsu saksi kunci hingga sekarang belum ada jelas.

  • Peninjauan kembali yang kedua hanya bisa diajukan apabila terpidana memiliki bukti baru yang tidak ada dalam persidangan.

TUJUH terpidana serta satu eks terpidana dugaan pembunuhan Muhammad Rizky dan Vina Dewi Arsita bersiap mengajukan peninjauan kembali (PK) yang kedua. Karena itu, ketua tim kuasa hukum para terpidana, Jutek Bongso, mendesak agar polisi segera menuntaskan laporan mereka tentang dugaan kesaksian palsu Aep dan Dede Riswanto, dua saksi pembunuhan Vina Cirebon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aep dan Dede adalah salah satu saksi kunci dalam perkara pembunuhan ini. Dugaan kesaksian palsu itu muncul setelah Dede mengaku didesak oleh Aep dan Rudiana—ayah Muhammad Rizky alias Eky—untuk memberikan keterangan bahwa Eky dan Vina dibunuh. Padahal Dede sama sekali tidak tahu tentang perkara itu dan tak mengenal orang-orang yang dituduh sebagai pembunuh.

Tim kuasa hukum terpidana melaporkan Aep dan Dede ke polisi pada Juli 2024. “Kami akan bersurat kepada Kapolri (agar laporan segera diproses),” kata Jutek ketika dihubungi pada Rabu, 8 Januari 2025. “Kami mohon support-nya, mohon doanya supaya kebenaran dapat diraih dan kebenaran itu masih hadir di Indonesia.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Jutek, putusan pengadilan atas dugaan kesaksian palsu ini sangat penting bagi para terpidana. Sebab, mereka divonis bersalah atas keterangan Aep dan Dede dalam persidangan pada 2016. Jika pengadilan menyatakan para saksi terbukti memberikan keterangan palsu, putusan itu bisa digunakan sebagai novum (bukti baru) untuk mengajukan PK kedua. 

Tim kuasa hukum, kata Jutek, akan mempersiapkan pengajuan PK kedua ini secara matang. Untuk itu, dalam waktu dekat, mereka akan beraudiensi dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat. “Kami perlu melakukan audiensi agar Komisi III dapat mengawal kasus ini,” ucap Jutek.

Dugaan pembunuhan Eky dan Vina terjadi pada 27 Agustus 2016. Jenazah keduanya ditemukan terkapar di flyover Talun, Kota Cirebon, Jawa Barat, menjelang tengah malam. Polisi kemudian menetapkan kedua remaja itu tewas akibat kecelakaan tunggal.

Mahkamah Agung memberikan keterangan pers perihal putusan peninjauan kembali (PK) delapan terpidana kasus pembunuhan berencana Vina, di gedung MA, Jakarta, 16 Desember 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti.

Empat hari kemudian, Kepala Unit Satuan Narkoba Kepolisian Resor Cirebon Inspektur Satu Rudiana melaporkan kematian keduanya ke Kepolisian Resor Cirebon Kota atas dugaan pembunuhan. Rupanya, sebelum melaporkan dugaan pembunuhan itu, Rudiana menangkap dan memeriksa delapan orang yang diduga sebagai pelakunya.

Delapan orang itu adalah Rifaldy Aditya Wardhana, 21 tahun, Eko Ramadhani (27), Hadi Saputra (23), Eka Sandy (24), Jaya (23), Supriyanto (20), Sudirman (21), dan Saka Tatal (15). Mereka kemudian diseret ke pengadilan dan dinyatakan bersalah atas dakwaan pembunuhan berencana. Semuanya divonis hukuman seumur hidup, kecuali Saka Tatal yang hanya divonis 8 tahun penjara.

Kisah "pembunuhan" ini kembali menjadi sorotan setelah diangkat ke layar lebar yang tayang pada Mei 2024. Saka Tatal, yang bebas bersyarat pada 2020 dan bebas murni pada Juli 2024, angkat bicara. Ia membantah bahwa dirinya terlibat pembunuhan Vina dan Eky, meski pengadilan sudah menyatakan dirinya bersalah. Bantahan Saka Tatal ini yang belakangan mendorong para terpidana berani mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Terbentur Bukti Baru

Tujuh terpidana serta seorang eks terpidana kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky secara terpisah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan pengadilan pada 2016. Namun mereka harus menelan kekecewaan karena majelis hakim PK menolak bukti baru yang disampaikan dalam persidangan pada Desember 2024. Tujuh terpidana tetap menjalani hukuman penjara seumur hidup dan satu eks terpidana menyandang status residivis.

Rifaldy Aditya Wardhana alias Ucil dan Eko Ramadhani alias Koplak
- Divonis penjara seumur hidup
- Perkara Nomor 198 PK/Pid/2024  
- Hakim agung: Burhan Dahlan, Yohanes Priyana, dan Sigid Triyono

Hadi Saputra alias Bolang, Eka Sandy alias Tiwul, Jaya alias Kliwon, Supriyanto alias Kasdul, dan Sudirman
- Divonis penjara seumur hidup
- Perkara Nomor 199 PK/Pid/2024 
- Hakim agung: Burhan Dahlan, Jupriyadi, dan Sigid Triyono

Saka Tatal
- Divonis penjara 8 tahun (ketika sidang digelar, usianya masih 15 tahun) 
- Perkara Nomor 1688 PK/Pid.Sus/2024  
- Hakim agung: Prim Haryadi

Dasar Permohonan PK 

Pasal 263 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni adanya novum (bukti baru) yang menentukan, apabila diajukan pada saat persidangan, dapat membuat terang duduk perkara sehingga judex juris dan judex facti dapat memutus sebaliknya. Dan terdapat kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam memutus perkara para terpidana.

Putusan Sidang PK pada 16 Desember 2024

Permohonan PK oleh para terpidana ditolak. Pertimbangannya, majelis hakim meyakini tidak terdapat kekhilafan judex facti dan judex juris dalam mengadili para terpidana, serta novum yang diajukan oleh para terpidana bukan bukti baru sebagaimana ditemukan dalam Pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP.


Namun, harapan mereka bisa bebas kandas setelah majelis hakim agung menyatakan putusan pengadilan kepada para terpidana sudah benar. Novum yang diajukan dalam peninjauan kembali juga tidak bisa digunakan sebagai bukti baru sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP.

Hingga semalam, salinan putusan tersebut belum bisa diakses di laman Direktori Putusan Mahkamah Agung. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi belum bisa menjelaskan tentang persoalan teknis itu. “Nanti saya akan cek,” ujar Sobandi.

Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan sejatinya upaya PK tidak dibatasi pengajuannya. Sepanjang dalam setiap pengajuannya ada bukti baru yang belum pernah diperiksa dalam persidangan sebelumnya. 

Dalam kasus kematian Vina dan Eky, kata Fickar, satu-satunya peluang bagi terpidana untuk mengajukan PK yang kedua adalah menunjukkan novum. “Kalau alasan kekhilafan hakim itu logis jika dibatasi satu kali,” kata Fickar.

Secara teknis, berdasarkan Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), peninjauan kembali hanya bisa diajukan satu kali. Tapi pasal itu telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 34/PUU-XI/2023. “Pasal tersebut sudah dicabut oleh MK,” tutur ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, M. Fatahillah Akbar.  

Keluarga tersangka serta saksi kasus pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon, di Mabes Polri, Jakarta, 25 Juni 2024. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna

Ketua MA Sunarto menegaskan peninjauan kembali dalam sebuah perkara hanya boleh diajukan sekali. Penegasan itu merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.

Berdasarkan SEMA itu, MA menilai Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2023 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK itu bertentangan dengan Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan tidak dapat dilakukan peninjauan kembali lagi setelah ada putusan peninjauan kembali.

Penegasan itu diperkuat oleh Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali. “PK itu adalah upaya hukum luar biasa, yang sifatnya harus selektif,” kata Sunarto dalam konferensi pers evaluasi akhir tahun di Mahkamah Agung pada 27 Desember 2024. “Jadi hanya dapat diajukan satu kali.”  

Namun, kata Sunarto, dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, peluang PK yang kedua memang dimungkinkan. PK kedua dapat diajukan apabila ada pertentangan antara putusan satu dan putusan lain yang sama-sama berkekuatan hukum tetap. “Bilamana ada pertentangan putusan, dibuka peluang melakukan PK dua kali,” ucap Sunarto. l

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus