PENGADILAN Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, makin dikenal sebagai ''pengadilan nasib buruh''. Selain kasus Marsinah digelar di sini, sejak Kamis dua pekan lalu juga disidangkan sembilan buruh PT Maspion Sidoarjo: Turis, Harseno, Wahidin, Zaenal, Sulatip, Arifin, Ghofur, Susanto, dan Sucipto. Mereka diadili dengan tuduhan melakukan pemogokan dan perusakan barang milik perusahaan. Jaksa Asmal Melayu dalam dakwaannya menyebutkan, para terdakwa pada 4 Agustus 1993 secara bersama-sama menggerakkan buruh melakukan unjuk rasa dan pemogokan. Yang dituntut: kenaikan gaji, minta waktu salat, minta premi produksi dan uang susu. Selain mogok, mereka merusakkan barang milik PT Maspion, antara lain, merusakkan kaca mobil perusahaan. Terdakwa dituduh melanggar pasal 160 KUHP (penghasutan), 170 KUHP (perusakan sebagai tujuan), dan melanggar UU No. 22 Tahun 1957 (yang mengatur perselisihan perburuhan). Yang menarik dipakainya UU No. 22 Tahun 1957 oleh jaksa untuk menjaring para buruh yang mogok. ''Penggunaan undang-undang tersebut merupakan preseden hukum baru dalam perselisihan perburuhan di Indonesia,'' ujar Munir, pembela dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang mendampingi para terdakwa itu. Ia menyesalkan mengapa buruh mogok, yang tujuannya menuntut hak, dibawa ke pengadilan. Menurut Munir, dalam pasal 6 UU itu dijelaskan bahwa pemogokan harus setahu SPSI, pengusaha, dan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) -- yang salah satu unsurnya adalah Departemen Tenaga Kerja setempat. Masalahnya, kata Munir, SPSI yang ada di Maspion tidak aspiratif terhadap nasib anggotanya. ''Buruh tidak mengenal siapa Ketua SPSI dan siapa yang memilihnya. Mereka baru kenal ketuanya ya baru saat ada perundingan dengan pengusaha.'' Karena tak mengenal ketuanya, kata Munir, praktis para buruh tak mungkin minta izin pada SPSI, apalagi pada majikan. ''Apakah ada pemogokan buruh yang direstui SPSI dan pengusaha?'' tanyanya. Aksi perusakan, kata Munir, merupakan bagian dari aksi mogok. Jadi, perusakan itu bukan merupakan tujuan seperti dakwaan jaksa. Jika kliennya dihukum, ia khawatir kasus ini di kemudian hari akan menjadi preseden buruk bagi perjuangan kaum pekerja, karena dengan mudah para pengusaha akan menyeret buruhnya yang mogok ke pengadilan dengan dakwaan melakukan tindak pidana. Munir menilai aparat hukum setempat menerapkan dan memberlakukan hukum yang berbeda antara pekerja dan pengusaha. Dia memberi contoh, pada 1991, tiga orang buruh Maspion tewas ditimpa runtuhan lantai pabrik yang jebol. Tapi pengusaha tak diberi tindakan apa-apa. ''Dibanding dengan tiga nyawa pekerja, apa sih arti kaca mobil yang rusak?'' kata Munir berapi-api. Sementara itu, pihak kejaksaan tidak sependapat jika dikatakan usahanya menyeret pelaku pemogokan sebagai tindakan mengebiri perjuangan para pekerja, yang memang menjadi haknya. Menurut Kepala Kejaksaan Sidoarjo, Buchari, UU Perselisihan Perburuhan itu hanya menjadi dasar pertimbangan jaksa. Ia menegaskan tak ada motivasi lain di balik dakwaan tersebut. ''Pokoknya, pihak kejaksaan melihat bahwa secara pidana tindakan mereka salah. Karena itu, kami tetap menekankan pada pertimbangan perusakan yang dilakukan mereka,'' katanya. Namun, ia mengakui, jarang sekali buruh mogok dijaring dengan UU No. 22 Tahun 1957. Terlepas siapa yang benar dalam adu argumentasi, kasus yang langka ini menarik untuk tetap diikuti.ARM, Widjajanto (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini