NAFTA (North America Free Trade Area) akhirnya disetujui Kongres AS, dengan margin cukup tinggi pula. Tapi ternyata tak mudah untuk mengetahui apakah dampak NAFTA secara neto akan positif atau negatif. Maka, ada beberapa lapisan dari dampak NAFTA yang perlu dikupas. Keberhasilan NAFTA dicapai dengan proses tawar-menawar. Ini kelak akan banyak dampaknya. Yang menarik, 132 dari 175 anggota Kongres dari Partai Republik mendukung NAFTA, dibanding 102 dari 258 anggota Kongres dari Partai Demokrat. Belum pernah terjadi suatu keputusan Kongres dengan presiden seorang Demokrat yang jauh lebih banyak didukung oleh Partai Republik dibandingkan dengan partainya sendiri. Tapi yang mengkhawatirkan bagi nasib sistem perdagangan dunia adalah bagaimana menenangkan atau mengimbangi koalisi anti NAFTA. Mereka terdiri dari serikat buruh (pendukung tradisional Demokrat), pendukung lingkungan hidup, grup konsumen dan pendukung lain yang merasa perdagangan bebas merugikan buruh, karena menyebabkan pengangguran, merusak lingkungan hidup, dan hanya mengutungkan perusahaan raksasa. Koalisi itu akan muncul dalam perdebatan lain, dan tetap bisa mengacaukan tujuan perdagangan bebas. Sekarang saja harga kemenangan NAFTA sudah berbau proteksionistis. Konsesi telah diberikan untuk melindungi beberapa sektor yang akhirnya bisa mengubah posisi AS dalam negosiasi GATT (persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan). Konsesi dalam bentuk peningkatan proteksi, atau diperlambatnya penurunan perlindungan di berbagai sektor seperti jeruk, tomat, gandum, kacang, dan tekstil telah timbul dalam proses tawar-menawar untuk mengegolkan NAFTA. Contoh yang akan mempengaruhi Indonesia adalah konsesi di bidang tekstil. Untuk mendapatkan dukungan anggota Kongres dari negara bagian AS produsen tekstil, transisi dari sistem kuota ke tarif akan diperpanjang dari 10 menjadi 15 tahun. Juga tingkat penurunan tarif akan diturunkan. Suatu artikel dalam The Asian Wall Street Journal menganggap cara NAFTA dimenangkan telah menimbulkan koalisi proteksionistis permanen. Yang paling mengganggu adalah kecenderungan menurunnya kepercayaan mengenai keuntungan dan kepentingan keterbukaan sistem perdagangan global, di mana AS berperan sebagai pemimpin. Dan meningkatnya pengaruh pertimbangan politik domestik dalam menentukan kebijakan hubungan ekonomi internasional. Proses tawar-menawar juga membawa dampak tersendiri bagi Kanada. Parlemen Kanada memang sudah menyetujui NAFTA, tapi belum merupakan dokumen sah, karena belum diterima oleh perdana menteri yang baru. Kanada merasa dirugikan dalam tawar-menawar. Sebab, Kanada merasa impor gandum dan kacangnya akan terganggu. Maka, akan ada lagi proses tawar-menawar atau perjanjian sampingan antara Kanada dan AS sebelum NAFTA betul-betul sah. Aspek penting lain dalam perdebatan NAFTA adalah dampaknya terhadap GATT dalam Putaran Uruguay. Bila NAFTA gagal, itu dianggap dapat menyebabkan permasalahan kredibilitas bagi AS, yang buntutnya adalah kegagalan Putaran Uruguay. Alasannya, administrasi AS tidak akan bisa memberi konsesi terlalu banyak. Karena mengantisipasi hal tersebut, pihak lain juga tidak akan memberikan konsesi ke AS. Maka, kemacetan yang kini mengancam penyelesaian Putaran Urugay tidak akan dapat diatasi. Sedangkan keberhasilan NAFTA serta pertemuan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) diharapkan akan bisa mendorong Masyarakat Eropa (ME) untuk berupaya lebih keras, dan memberi konsesi yang diperlukan untuk mengsukseskan Putaran Urugay. Namun, seperti yang telah disebut di atas, perjanjian sampingan, dan kemungkinan timbulnya koalisisi proteksionistis kelak di AS, juga telah menyebabkan pihak ME bertanya-tanya mengenai komitmen AS terhadap perdagangan bebas. Cara penyelesaian NAFTA juga dianggap oleh beberapa analis sebagai pertanda yang tidak baik, karena menunjukkan AS bisa sewaktu- waktu diajak tawar-menawar, dan membuat perjanjian sampingan yang akhirnya akan mengurangi efektivitas perjanjian utama. Adakah dampak NAFTA terhadap APEC? Tampaknya tidak. Tapi secara simbolik APEC tetap sangat penting, karena merupakan jendela bagi administrasi AS untuk mempertajam pendekatan mereka terhadap Asia yang selama ini kabur. Meski keberhasilan NAFTA tidak mempunyai dampak terhadap hasil pertemuan APEC, akan ada pengaruhnya terhadap pertemuan bilateral antara AS dan berbagai negara anggota APEC. Di sini sekali lagi paradoks atau sikap ambivalen AS muncul. Seperti dikemukakan Dr. Narongchai Akrasanee dari Thailand, AS suka bicara multilateral, dan menganggap dirinya sebagai kampiun perdagangn bebas. Tapi sikapnya bilateral dan unilateral. Realitas pertimbangan politik-domestik itulah yang terjadi sekarang. Isu yang mendominasi hubungan AS dengan negara lain di APEC adalah bilateral, seperti hak asasi manusia dengan Cina, akses pasar dengan Jepang, hak-hak buruh dengan Indonesia, hak cipta intelektuil dengan Thailand, dan sanksi anti dumping dengan Hong Kong. Keberhasilan NAFTA membuat AS datang ke Seattle dengan posisi yang lebih kuat. Suatu posisi yang bisa menguntungkan karena terbukanya konsesi yang lebih besar bagi penyelesaian berbagai beda pendapat. Atau bisa juga merugikan karena lebih dimungkinkannya AS melakukan tekanan yang sepihak terhadap Asia. Faktor politik dalam negerinya juga akan membatasi konsesi yang dapat diberikan oleh AS. Meski gambaran yang muncul tidak separah bila NAFTA gagal, kesimpulan yang dapat ditarik adalah ini: aturan main perekonomian dunia tetap dipengaruhi oleh berbagai ketidakpastian. Yang menarik, selama diskusi NAFTA berkembang, kesimpulan yang timbul adalah untuk mengukur keberhasilan NAFTA sebagai hal yang mutlak. Tujuannya adalah mewujudkan perdagangan bebas atau yang lebih terbuka. Padahal, sejak konsep NAFTA diperkenalkan dari dulu, negara-negara Asia sudah mengemukakan kekhawatiran mereka mengenai NAFTA yang tertutup dan protektionistis NAFTA yang akan berkembang untuk mengikutsertakan negara-negara Latin lain dan tidak mengikutsertakan Asia dan NAFTA yang akan menyebabkan pengalihan investasi ke Meksiko ketimbang ke Asia Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini