Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Kelompok Peduli Kampus melaporkan dugaan korupsi perjalanan ke luar negeri para dosen Universitas Tadulako di masa pandemi Covid-19.
Kelompok Peduli Kampus turut mengungkit dugaan korupsi sumbangan orang tua mahasiswa Fakultas Kedokteran pada 2011-2013.
BPK akan mengaudit keuangan Universitas Tadulako yang diduga bermasalah..
SELEMBAR memo beredar di Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, sejak pekan ketiga Agustus lalu. Isinya meminta semua unit kerja administrasi di kampus menyiapkan laporan pertanggungjawaban keuangan. Khususnya, anggaran perjalanan dinas luar negeri para dosen pada 2018-2020. “Badan Pemeriksa Keuangan berencana melakukan audit,” ujar Muhtar Lutfi, Dekan Fakultas Ekonomi periode 2019-2020, Sabtu, 28 Agustus lalu.
Rencana audit BPK berjalan seiring dengan kegaduhan di kampus sejak awal Agustus lalu. Sejumlah dosen dan pegawai kampus yang tergabung dalam Kelompok Peduli Kampus melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran 2018-2020 Universitas Tadulako ke sejumlah lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, polisi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Nilai kerugian negara ditaksir mencapai Rp 56 miliar.
Lutfi menjabat Sekretaris Kelompok Peduli Kampus. Bersama sejawatnya, ia menyoroti anggaran perjalanan dinas luar negeri, pembayaran remunerasi pejabat tinggi kampus, dan renovasi halaman gedung auditorium. Mereka juga menengarai ada korupsi dalam proyek pengadaan sarana teknologi informasi dan anggaran Persatuan Orang Tua Mahasiswa (Potma) Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Internasional BPK Selvia Vivi Devianti membenarkan adanya rencana audit tersebut. Menurut dia, audit BPK pada semester pertama 2021 bakal menyorot pengelolaan anggaran bidang pendidikan. Termasuk Universitas Tadulako dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia mengaku belum mengetahui fokus pemeriksaan BPK kali ini. “Masih tahap perencanaan,” tuturnya.
Lutfi mengatakan anggaran kampus yang diduga diselewengkan untuk pembiayaan perjalanan dinas luar negeri mencapai Rp 3,2 miliar. Mereka yang diduga mendapat fasilitas itu adalah pejabat tinggi kampus dan anggota Dewan Guru Besar. Ketika ke luar negeri, mereka diduga mengajak serta istri serta anggota keluarga. “Bahkan saat masa pandemi Covid-19 tahun anggaran 2020, kegiatan dinas di luar negeri juga tetap berjalan,” ujar Lutfi. Ia mengklaim mengetahui perkara ini karena pernah diajak pelesiran.
Kelompok Peduli Kampus juga menyoroti anggaran remunerasi sejumlah pejabat sebesar Rp 10 miliar. Ketua Kelompok Peduli Kampus Djayani Nurdin menilai penggunaan uang tak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Remunerasi. “Praktiknya honor tambahan itu ikut dinikmati oleh pejabat di luar Struktur Organisasi dan Tata Kerja, seperti Dewan Guru Besar dan Komisi Kode Etik,” ucap guru besar Fakultas Ekonomi itu.
Ketua Dewan Guru Besar dan Ketua Komite Etik disebut mendapatkan honor tambahan sebesar Rp 268 juta selama 2018-2020, atau Rp 67 juta tiap semester. Menurut Muhtar Lutfi, pemegang jabatan dalam Dewan Guru Besar tak layak mendapatkan remunerasi lantaran tak mengemban tugas akademik. Dewan Guru Besar hanya berguna sebagai forum silaturahmi. “Remunerasi Ketua Komite Etik juga bermasalah lantaran komite etik merupakan lembaga yang bersifat ad hoc,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo