Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tong Kosong setelah Kabul Jatuh

Pemerintah Indonesia mengantisipasi dampak kemenangan Taliban di Afganistan dengan mengawasi kelompok teror. Detasemen Khusus 88 Antiteror rajin menciduk simpatisan Jamaah Islamiyah.

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pasukan Taliban melakukan parade saat tiba di jalan di Qalat, Provinsi Zabul, Afghanistan, 19 Agustus 2021. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah membahas kemenangan Taliban dan dampaknya di dalam negeri.

  • Kelompok Jamaah Islamiyah dituding berencana melakukan aksi teror.

  • Peneliti terorisme ragu simpatisan Jamaah Islamiyah berencana menggelar aksi teror.

MEMBUKA rapat koordinasi khusus tentang perubahan kekuasaan di Afganistan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin meminta para peserta menjelaskan kondisi terbaru di negara itu. Dalam pertemuan yang digelar Rabu, 18 Agustus lalu, tersebut, Mahfud juga bertanya ihwal kondisi warga negara Indonesia yang masih berada di Afganistan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peserta persamuhan yang hadir adalah Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara Teddy Lhaksmana Widya Kusuma. “Ada tiga hal yang kami putuskan,” ujar Mahfud kepada Tempo, Jumat, 27 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasukan Taliban memblokir jalan-jalan di Kabul, Afghanistan 27 Agustus 2021. REUTERS/Stringer

Pertama, pemerintah Indonesia menganggap beralihnya kekuasaan di Afganistan merupakan urusan dalam negeri mereka. Indonesia tak akan buru-buru mengeluarkan pernyataan mendukung atau tidak mendukung Taliban. Selanjutnya, pemerintah akan mengevakuasi warga negara dan diplomat Indonesia karena situasi Afganistan memanas. Terakhir, kata Mahfud, meskipun rapat tak membahas kategori Taliban sebagai kelompok teroris atau bukan, pemerintah bertekad terus memberantas radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Seorang pejabat yang mengetahui isi pertemuan itu bercerita, rapat juga membahas gerakan kelompok terorisme di dalam negeri, di antaranya Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharud Daulah. Menurut pejabat itu, Jamaah Islamiyah cukup menjadi sorotan karena berpengalaman mengirimkan anggotanya ke Afganistan puluhan tahun silam. Pemerintah tak mau kemenangan Taliban memantik gerakan kelompok teroris.

Seorang pejabat Kantor Staf Presiden mengatakan lembaganya bahkan sudah membuat kajian mengenai dampak kemenangan Taliban terhadap kelompok radikal dan teroris di Indonesia. Salah satunya soal aktivitas jaringan Jamaah Islamiyah di berbagai wilayah. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko enggan menjelaskan kajian lembaganya. “Lebih tepat ke Menkopolhukam,” ujarnya, Jumat, 27 Agustus lalu.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan ia mendapatkan informasi bahwa rapat di kantor Mahfud juga membahas respons pemerintah terhadap berkuasanya Taliban di Afganistan, yaitu membuat imbauan yang mudah diterima masyarakat agar tidak terpancing dalam narasi kelompok terorisme dan radikalisme. Karena itu, Boy kerap menyuarakan agar publik tak bersimpati kepada Taliban. “Jangan sampai menjadi sumber inspirasi,” kata polisi berpangkat komisaris jenderal ini.

Beralihnya kekuasaan Afganistan dan dampaknya untuk Indonesia juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Boy menuturkan, Presiden memperhatikan aspek hubungan negara dan mewanti-wanti anak buahnya agar tidak salah bersikap dalam menghadapi perubahan di Afganistan. Deputi Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto mengatakan lembaganya telah melaporkan perkembangan situasi dalam dan luar negeri kepada Presiden sebagai masukan dalam mengambil keputusan.

Adapun juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, enggan berkomentar soal sikap Istana. Ia meminta persoalan Afganistan ditanyakan kepada Kementerian Luar Negeri. “Sikap Presiden pasti disampaikan ke Menteri Luar Negeri,” ucapnya.

•••

ABDUL Rochim Ba’asyir langsung membuat sikap resmi kelompoknya, Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), begitu membaca kabar dari akun Twitter juru bicara kelompok Taliban, Zabihullah Mujahid, pada Selasa, 17 Agustus lalu. Ketika itu, Zabihullah mengumumkan bahwa Kabul, ibu kota Afganistan, telah dikuasai penuh oleh Taliban. “Kami bersyukur atas kemenangan ini,” ujar Rochim, juru bicara JAS, ketika dihubungi, Sabtu, 28 Agustus lalu.

Abdul Rochim Ba’asyir . Syariah Channel

Sikap resmi ini pun diunggah dalam situs kelompok mereka, Ansharusyariah.com, dan dibagikan kepada 5.000 anggota JAS. Ayah Rochim, Abu Bakar Ba’asyir, pun menjadi salah satu orang yang senang atas kemenangan Taliban di Afganistan. “Secara umum beliau senang, tapi tidak lagi mengikuti perkembangan karena sudah sepuh,” kata Rochim.

JAS merupakan pecahan dari kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang pernah dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir. Terpidana kasus terorisme itu juga pernah memimpin Jamaah Islamiyah (JI) yang memiliki hubungan dengan Al-Qaidah, organisasi di bawah Usamah bin Ladin yang dituding sebagai dalang serangan 11 September 2001 ke Amerika Serikat. Pada 2008, JI dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Sebelum bernama JAT, kelompok ini bernama Majelis Mujahidin Indonesia, yang merupakan pecahan Jamaah Islamiyah. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar menyebutkan JI masih ada hubungan secara emosional dengan Al-Qaidah, yang dilindungi Taliban. “Banyak anggotanya alumni Afganistan, ikut latihan perang,” ujarnya.

Menurut Rochim, selain menggaungkan kemenangan Taliban, anggota JAS berminat ingin terbang ke Afganistan. Tujuannya melihat kondisi Afganistan di bawah kepemimpinan Taliban. Meski begitu, Rochim mengatakan JAS tak punya jalur komunikasi dengan Taliban. Rochim pun mengklaim kelompoknya bukanlah gerakan radikalisme ataupun terorisme.

Kemenangan Taliban juga menghiasi situs Arrahmah.id, yang dipimpin Muhammad Jibriel Abdul Rahman, putra Muhammad Iqbal Abdurrahman atau Abu Jibril, mantan Ketua Umum Majelis Mujahidin Indonesia. Abu Jibril pernah berperang melawan Uni Soviet di Afganistan. Meski bersyukur atas kemenangan Taliban, Jibriel membantah jika situs Arrahmah disebut mengajak pembacanya melakukan aksi teror. “Kami sudah lama memberitakan soal Taliban, jauh sebelum mereka menang,” tutur mantan narapidana terorisme ini.

Di sejumlah grup WhatsApp dan Telegram yang beranggotakan simpatisan gerakan terorisme dan radikalisme, kemenangan Taliban juga ramai dibicarakan. Menunjukkan percakapan di grup yang diikuti, dua anggota grup yang berisi alumnus Afganistan bercerita, kemenangan Taliban dianggap sebagai kejayaan khilafah. Di grup itu pun dibagikan sejumlah tautan untuk mengunduh buku tentang Afganistan dan Taliban.

Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan lembaganya juga mengamati sejumlah percakapan yang mengapungkan kemenangan Taliban di Afganistan, termasuk pembicaraan di media sosial. Boy tak mau percakapan itu menjadi ajakan untuk melakukan aksi teror ataupun bergabung dengan gerakan terorisme dan pergi ke Afganistan.

Penelusuran serupa dilakukan oleh Badan Intelijen Negara. Deputi Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan lembaganya telah memantau mantan kombatan Afganistan dan kelompok yang berideologi sama dengan yang dianut Taliban.

Menurut Wawan, lembaga telik sandi juga menemukan upaya konsolidasi yang dilakukan kelompok terorisme dan radikalisme, termasuk Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharud Daulah, yang terafiliasi dengan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). “Konsolidasi itu bahkan telah dilakukan sebelum kemenangan Taliban di Afganistan,” katanya.

Seorang pejabat di lingkaran Istana Presiden menuturkan, pemerintah juga memantau adanya tiga pertemuan kelompok yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah. Pertemuan itu diadakan di Lampung; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Jawa Tengah. Direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi Adhe Bhakti mengatakan kekuatan JI atau Neo-JI kini hanya eksis di tiga pulau, yaitu Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Pada era JI periode 1993-2008, kekuatan kelompok itu jauh lebih kuat karena beroperasi di 14 wilayah, di antaranya sampai ke Filipina, Thailand, dan Papua.

Pemerintah pun tak ingin aksi teror kembali terjadi. Seorang pejabat di Detasemen Khusus 88 Antiteror mengatakan lembaganya bergerak menciduk simpatisan Jamaah Islamiyah yang diduga akan menggelar aksi teror. Pada Agustus 2021, ada 53 terduga teroris yang ditangkap, sebanyak 50 orang di antaranya diduga terafiliasi dengan JI dan sisanya dari Jamaah Ansharud Daulah.

Pejabat di Densus 88 itu mengatakan mereka diduga akan melakukan aksi teror pada peringatan kemerdekaan Indonesia ke-76. Sepanjang tahun ini, lebih dari 300 terduga teroris ditangkap, sekitar 100 orang bertautan dengan Jamaah Islamiyah.

Deputi Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Hari Purwanto mengatakan serangkaian penangkapan jaringan terorisme yang terjadi merupakan pengembangan hasil penyelidikan yang dimulai sebelum kemenangan Taliban. Adapun Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan penangkapan itu merupakan kelanjutan dari deteksi dini pencegahan aksi terorisme.

Namun sejumlah peneliti terorisme yang diwawancarai Tempo ragu simpatisan Jamaah Islamiyah akan beraksi dengan mengambil momentum kemenangan Taliban. Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan gerakan JI cenderung melemah setelah Densus 88 menangkap amir kelompok itu, Para Wijayanto, pada Juli 2019. “Mereka tidak akan sembrono serta lebih berhati-hati melakukan konsolidasi dan merencanakan aksi teror,” ujar Huda.

Begitu pula Direktur Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE), Siti Darojatul Aliah, menilai pendukung Jamaah Islamiyah belum melakukan gerakan apa pun. Menurut dia, ada perubahan pola gerakan JI di bawah kepemimpinan Para Wijayanto. “Mereka cenderung melakukan pendekatan dakwah ketimbang teror,” ucap Siti.

Seorang narasumber yang mengetahui hubungan Jamaah Islamiyah dan Al-Qaidah bercerita, salah satu komunikasi dua kelompok itu terjadi pada 2010 di Bangkok, Thailand. Saat itu, perwakilan Al-Qaidah menawarkan bantuan kepada JI untuk melakukan aksi terorisme. Namun tawaran itu ditolak oleh perwakilan JI. Penyebabnya, Para Wijayanto melarang anggota JI menggelar aksi teror. Sejak Para memimpin JI, kata dia, tak ada lagi aksi teror yang dilakukan oleh organisasi itu.

•••

JAMAAH Islamiyah memang memiliki hubungan panjang dengan Al-Qaidah, yang bermarkas di Afganistan. Namun sejumlah peneliti teroris, pejabat Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI, dan alumnus Afganistan yang diwawancarai Tempo mengatakan pengiriman kombatan ke Afganistan untuk bergabung dengan Al-Qaidah telah berhenti sejak dulu. Justru mereka yang hijrah ke Afganistan adalah pendukung ISIS di Provinsi Khorasan.

Menurut seorang pejabat, tahun lalu Badan Intelijen dan Keamanan Afganistan (NDS) mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia dan mengabarkan bahwa ada delapan warga negara Indonesia yang ditahan karena bergabung dengan ISIS Khorasan. Belakangan, satu orang di antaranya meninggal. Tujuh orang itu adalah Ahmad Raidho, Sarah, Hayeda, Hanif, Nadhiroh, Azzam, dan Afrizal.

Pejabat yang sama menuturkan, mereka masuk ke Afganistan melalui Iran. Penghubung mereka adalah Saefullah alias Daniel, buron Densus 88. Saefullah diduga menerima Rp 413 juta dari luar negeri yang dikirimkan melalui Western Union pada Maret 2016-September 2017. Fulus itu diduga untuk membeli bahan bom dan senjata. Pada 2019, Polri menyebutkan Saefullah berada di Khorasan.

Sejumlah warga negara indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Afghanistan tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 21 Agustus 2021. ANTARA/Galih Pradipta

Pemerintah, menurut pejabat ini, berencana membawa pulang tahanan itu ke Indonesia. Rapat terakhir penentuan penjemputan tersebut digelar pada Juli lalu. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar mengatakan saat ini pemerintah masih memverifikasi data tahanan di Afganistan itu. “Belum ada pembicaraan membawa mereka ke sini,” ujarnya.

Seorang pejabat di Densus 88 bercerita, rencana pemulangan itu batal karena Taliban keburu menguasai Afganistan. Penjara NDS jebol dan semua tahanan di sana melarikan diri. Komunikasi antara pemerintah Indonesia dan NDS pun terputus. Ketika pemerintah Indonesia memulangkan 26 WNI, personel Densus 88 batal terbang ke Kabul. Nasib tujuh warga negara itu pun kini tak diketahui lagi.

RAYMUNDUS RIKANG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus