TAK ada seorang pengunjung pun di ruang sidang Pengadilan Negeri
Kediri, ketika Untung Rochadi diadili. Kepada hakim tunggal Ny.
Hadiyati Susanto SH, ia mengaku terus terang telah menjual
Yamaha pinjaman seharga Rp 60 ribu.
Kandar, pemilik sepeda motor, tak juga hadir walau sudah dua
kali dipanggil sebagai saksi. Maka, setelah mendengar kesaksian
Serka Pol. Paimin, hakim menawarkan bila Untung tak
keberatan--perkaranya diputus hari itu. Tiba-tiba Untung jadi
beringas. Ia menolak dihukum, dan ingin jadi orang baik-baik.
"Kalau tak percaya, boleh tembak saya," serunya. Dari balik
baju, ia lalu mengeluarkan sebilah pisau dapur. Sebagai sumpah
bahwa ia mau bertobat, katanya, ia akan memotong jari tangannya.
"Jangan, Untung. Jangan," cegah su Hakim. Tapi terlambat. Untung
telah menebas telunjuk tangannya. Darah pun mengucur. Serka
Paimin sigap bertindak. Untung bisa dilumpuhkan. Hakim, Jaksa
Hartawan Soeharto dan Panitera Ny. Pipih buru-buru keluar
ruangan.
Tak dinyana, Untung masih punya satu pisau lipat di sakunya. Ia
keluar ruang sidang mencari hakim dan jaksa. Maka gegerlah
gedung Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, Rabu pekan lalu.
Paimin segera bergegas ke Kores 1041, minta bantuan.
"Saya mencari hakim dan jaksa, bukan untuk dilukai. Tapi untuk
menunjukkan bahwa saya serius mau bertobat," katanya kepada
TEMPO di LP Kediri.
Sakit Hati
Untung rupanya sakit hati. April tahun lalu ia ditangkap di
rumah orang tuanya di Pesantren, Kediri, setelah 2 tahun jadi
buron. Polisi memang sejak lama mengincarnya. Ia dikenal sebagai
pencuri sepeda motor dan suka membawa lari motor pinjaman. Oleh
hakim, ia divonis 20 bulan penjara.
Masa hukumannya tinggal 2 bulan, ketika November ini ia diadili
lagi untuk kasus yang serupa. Padahal sebelumnya katanya, polisi
pernah menjanjikan kasusnya yang ini akan diselesaikan tanpa
lewat pengadilan. Kandar sendiri sebagai pemilik sepeda motor,
tak keberatan masalahnya diselesaikan dengan jalan damai.
"Asalkan tidak ada rasa dendam," ujarnya, "toh motor saya tak
bakal kembali."
Ternyata Untung diajukan juga ke meja hijau. Padahal, "saya
sudah bosan di penjara dan rindu pada keluarga."
Untung, 28 tahun, anak bungsu, satusatunya pria dari lima
bersaudara ini pernah bekerja di perusahaan swasta di Surabaya
jebolan STM. Ternyata perusahaannya bangkrut dan ia
diberhentikan, lalu mencoba jadi makelar. Usahanya kurang maju,
dan ini menyeretnya jadi pencuri sepeda motor. Ia pun jadi
buron.
Bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil, ia
berpindah-pindah tempat di beberapa kota di Jawa Timur. Di
Malang, istrinya melahirkan. Anaknya tak bisa diambil karena ia
tak mampu membayar biaya perawatan. Ia terjepit, lalu balik ke
Kediri. Di sini dia digrebek. Ketika ia dalam tahanan, ayahnya
meninggal. Anak keduanya, yang baru beberapa hari ditebus dari
salah satu rumah sakit di Malang, menyusul tak lama kemudian.
Hati Untung hancur.
"Anak itu hasil suka duka saya danistri dalam buronan," ia
menitikkan air mata. Peristiwa itulah, katanya, yang menggugah
kesadarannya untuk jadi orang baik-baik. "Tak selamanya saya
akan jadi orang jahat," katanya lagi.
Ia nampaknya memang sayang betul pada anak istrinya. Dalam
tahanan Kores 1041, ia pernah merobek perut dengan pecahan
botol. Dengan darah, ia menulis di tembok "Oh anak istriku
tercinta. Aku sayang padamu."
Tapi kenekatannya memotong jari, apa boleh buat, membikin urusan
baru dengan pihak berwajib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini