SEORANG perempuan muda berlari memasuki halaman sebuah rumah.
Tiba-tiba ia menangis bergulung-gulung di tanah Lalu dari
mulutnya sendiri terbit pengakuan: "Saya pembunuh . . . saya
pembunuh " Gilakah dia?
Di rumah di Jalan Mandala di pinggiran Kota Medan itu, 15 Juli
lalu, sejak menjelang subuh sudah geger. Pada mulanya penduduk
sekitar yang tengah makan sahur, mendengar tangis perempuan yang
berasal dari rumah keluarga Lo Acui. Beberapa orang yang ingin
tahu, menjadi terperanjat, ketika mencoba mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi di rumah Acui piring, mangkuk dan
macam-macam benda isi rumah berserakan di halaman.
Seseorang melapor ke pos Hansip. Lalu beberapa petugas menjenguk
rumah Acui. Suasana seram menyambut mereka. Di ruang tamu yang
berantakan terlihat sesosok tubuh laki-laki dalam keadaan
berantakan: kepalanya pecah, wajahnya rusak, lehernya hampir
putus, bagian dada sampai pusarnya terbelah sehingga isinya
terburai. Kedua tangannya tercincang-cincang. Sudah tentu darah
mengolam di ruang tamu tersebut. Sebilah parang jagal babi
tergeletak di situ juga.
Menurut si empunya rumah, korban adalah sanak mereka, In Tjong
(38 tahun), pengidap penyakit saraf yang baru seminggu tinggal
di situ. Ia adalah kakak ipar Acui. Tinggal di situ, kata Acui
pada polisi, In Tjong yang menetap di Pematangsiantar tersebut
hendak berobat pada seorang ahli di Medan.
Lalu siapa pembunuhnya? Salah seorang penghuni, wanita yang
bekerja sebagai tukang jahit, tak berada di tempat. Ia
dicurigai. Tapi tak sulit mendapatkannya, sebab dialah wanita
yang tiba-tiba menangis bergulingan dan segera mengaku sebagai
pembunuhnya. Beberapa jam ia menghilang-entah ke mana--perempuan
itu, Guek Eng (27 tahun), muncul kembali dengan sendirinya.
Namun begitu Guek Eng, yang selalu menangis bergulingan bila
diperiksa polisi, tak pernah mau bercerita mengapa ia bengis
pagi itu. Padahal In Tjong, korbannya, masih terhitung keluarga
dekat dengan dia. Guek Eng adalah adik kandung Acui. Hingga
beberapa waktu lalu polisi belum memperoleh keterangan dari Guek
Eng -yang kelihatannya ingatannya tak beres.
Katiyem
Boleh jadi Guek Eng memang tak beres. Pembunuhan yang dilakukan
dan disertainya dengan merusak jasad korbannya, kemungkinan
bukan usaha menghilangkan jejak, atau kejahatan yang didorong
suatu napsu yang hendak dipuasinya dengan cara begitu. Sehingga
Guek Eng mungkin belum blsa disebut sebagai "pembunuh luar
biasa" atau "pembunuh sadis" Seperti yang belakangan sering
muncul.
Beberapa hari sebelum peristiwa buruk menimpa In Tjong, di Hotel
Bali di Jalan Makam Paneleh, Surabaya, juga terjadi peristiwa
yang menggemparkan. Di salah sebuah kamar hotel tersebut
ditemukan jasad wanita, yang kemudian diketahui sedang berbadan
dua, terpotong jadi enam bagian. Orang yang disangka berbuat
bengis, Luluk, masih berada di hotel tersebut ketika
perbuatannya diketahui.
Si korban bernama Katiyem (25 tahun), pembantu rumah tangga
keluarga Luluk, yang tinggal bersama tuannya di Singaraja
(Bali). Mudah diduga --begitu sangka orang--bahwa antara
pembantu dan tuannya telah terjadi hubungan gelap. Katiyem yang
merasa mulai hamil menuntut sesuatu dari majikannya. Dan
majikannya menyudahi urusan dengan cara bengis. Namun pekerjaan
selanjutnya untuk menghapuskan jejak, membuang mayat yang sudah
dicincang dan dibungkus kantung plastik, rupanya tak keburu
dilaksanakan. (TEM PO, 25 Juli 1981).
Para pembunuh Bo'i, di sebuah desa kecil di Cianjur (Jawa
Barat), memang berhasil menghapuskan jejak. Tubuh si korban
dicincang menjadi 20 kerat, direbus, lalu dibuang
berpencar-pencar. Kekejaman yang terjadi Maret lalu akan tetap
jadi rahasia, kalau saja salah seorang pembunuhnya, Saptari,
tidak bercerita kepada pamannya.
Saptari bercerita bahwa Bo'i, yang tak lain salah seorang
pamannya sendiri, terpaksa dibunuh karena kemasukan roh jahat:
buto dari Gunung Simpay. Saptari tak melakukannya sendiri,
begitu ceritanya, tapi dibantu dan disaksikan sanak keluarga,
tujuh orang, termasuk istri, serta ayah dan ibu si korban.
(TEMPO, 18 April 1981).
Ada dokter yang berpendapat bahwa kemungkinan para pembunuh
ketika itu mendapat serangan suatu penyakit jiwa. Kemungkinan
yang sama mula-mula juga dicari dari seseorang yang dituduh
membunuh Ek Mong. Orang itu bernama Su Bun, pedagang babi, yang
mencincang dan merebus jasad korbannya dan mengumpankannya
kepada bahi ternaknya.
Belakangan, menurut pemeriksaan polisi, Su Bun ternyata memang
sudah lama mendendam Ek Mong. Soal persaingan dagang semata. Su
Bun sebelumnya pernah mengancam hendak membunuh Ek Mong. Lalu,
Juni 1978, Su Bun mengajak pembantu, antara lain adik ipar
korban sendiri, menghabisi Ek Mong. Mengumpankan si korban
kepada babi, belakangan diketahui, sekedar untuk menghilangkan
jejak. (TEMPO, 24 Juni 1978).
Beberapa waktu sebelum peristiwa Ek Mong, Mei 1978, orang
menemukan potongan-potongan tubuh Ir. Nurdin Koto terbungkus
karung di Kali Kresek di Jakarta Utara. Motif kejahatan
tersebut, yang menampilkan seorang tersangka berumur 50 tahun,
simpang siur. Namun kekejaman yang menyertai perbuatannya yang
pertama, membunuh, boleh dianggap sebagai usaha mengllapus
jejak.
Sebelum peristiwa di atas, 1977, peristiwa lain menimpa gadis
bernama Henny. Tersangka, laki-laki berumur 50 tahun, memotong
tubuh korbannya menjadi delapan bagian lalu membuangnya di
sebuah parit di sebelah selatan Jakarta. Motif yang terungkap
soal kecil: karena pinjaman uang yang tak sampai Rp 150 ribu.
Hukuman bagi si pembunuh luar biasa sudah biasa pula diumumkan.
Selama hidup Japikkir Sinaga harus berada di penjara (ketika
masuk ia berusia 26 tahun. Ia bersama keluarganya terbukti
membunuh Senti Butar-butar, mencincang mayatnya, lalu dituduh
memakan dagingnya pula. Ada juga yang sudah menjalani hukuman
matinya seperti Oesin yang dituduh menjagal enam orang di
Mojokerto (1964). Kebengisan terus berlangsung di mana-mana.
Bukti mayat terpotong-potong, yang ditemukan di Jalan Sudirman
(Jakarta Selatan) belum lama ini, seperti hendak lebih
melengkapi perbendaharaan kejahatan jenis pembunuhan luar biasa.
Untuk menandai jenis kejahatan semacam itu--pembunuhan yang
diikuti kekejaman lain seperti memotong, mencincang atau
merebus si korban -- kebanyakan orang menyebutnya: pembunuhan
sadis. Jenderal Widodo Budidarmo, ketika menjabat Kepala
Kepolisian RI (TEMPO, 1 Juli 1978), pernah mencoba memilihkan
ungkapan untuk kejahatan tersebut: "Pembunuhan bengis dan
agresif."
Dan kejahatan seperti itu seperti akan terus berlangsung.
Karena, seperti kata dr. Abdul Mun'im dari LKUI, semuanya itu
"akibat dampak kemajuan dewasa ini dan semakin kompleksnya
permasalahan manusia." Jadi, katanya lagi, "omong kosong kalau
kita berharap kejahatan atau tindak kriminil bakal menurun --
kualitas maupun kuantitasnya!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini