Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Yang Bengis Dan Agresif

Beberapa kasus pembunuhan sadis. Kejahatan seperti itu akan terus berlangsung. Diduga akibat dampak kemajuan dewasa ini dan semakin kompleksnya permasalahan manusia. (krim)

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan muda berlari memasuki halaman sebuah rumah. Tiba-tiba ia menangis bergulung-gulung di tanah Lalu dari mulutnya sendiri terbit pengakuan: "Saya pembunuh . . . saya pembunuh " Gilakah dia? Di rumah di Jalan Mandala di pinggiran Kota Medan itu, 15 Juli lalu, sejak menjelang subuh sudah geger. Pada mulanya penduduk sekitar yang tengah makan sahur, mendengar tangis perempuan yang berasal dari rumah keluarga Lo Acui. Beberapa orang yang ingin tahu, menjadi terperanjat, ketika mencoba mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di rumah Acui piring, mangkuk dan macam-macam benda isi rumah berserakan di halaman. Seseorang melapor ke pos Hansip. Lalu beberapa petugas menjenguk rumah Acui. Suasana seram menyambut mereka. Di ruang tamu yang berantakan terlihat sesosok tubuh laki-laki dalam keadaan berantakan: kepalanya pecah, wajahnya rusak, lehernya hampir putus, bagian dada sampai pusarnya terbelah sehingga isinya terburai. Kedua tangannya tercincang-cincang. Sudah tentu darah mengolam di ruang tamu tersebut. Sebilah parang jagal babi tergeletak di situ juga. Menurut si empunya rumah, korban adalah sanak mereka, In Tjong (38 tahun), pengidap penyakit saraf yang baru seminggu tinggal di situ. Ia adalah kakak ipar Acui. Tinggal di situ, kata Acui pada polisi, In Tjong yang menetap di Pematangsiantar tersebut hendak berobat pada seorang ahli di Medan. Lalu siapa pembunuhnya? Salah seorang penghuni, wanita yang bekerja sebagai tukang jahit, tak berada di tempat. Ia dicurigai. Tapi tak sulit mendapatkannya, sebab dialah wanita yang tiba-tiba menangis bergulingan dan segera mengaku sebagai pembunuhnya. Beberapa jam ia menghilang-entah ke mana--perempuan itu, Guek Eng (27 tahun), muncul kembali dengan sendirinya. Namun begitu Guek Eng, yang selalu menangis bergulingan bila diperiksa polisi, tak pernah mau bercerita mengapa ia bengis pagi itu. Padahal In Tjong, korbannya, masih terhitung keluarga dekat dengan dia. Guek Eng adalah adik kandung Acui. Hingga beberapa waktu lalu polisi belum memperoleh keterangan dari Guek Eng -yang kelihatannya ingatannya tak beres. Katiyem Boleh jadi Guek Eng memang tak beres. Pembunuhan yang dilakukan dan disertainya dengan merusak jasad korbannya, kemungkinan bukan usaha menghilangkan jejak, atau kejahatan yang didorong suatu napsu yang hendak dipuasinya dengan cara begitu. Sehingga Guek Eng mungkin belum blsa disebut sebagai "pembunuh luar biasa" atau "pembunuh sadis" Seperti yang belakangan sering muncul. Beberapa hari sebelum peristiwa buruk menimpa In Tjong, di Hotel Bali di Jalan Makam Paneleh, Surabaya, juga terjadi peristiwa yang menggemparkan. Di salah sebuah kamar hotel tersebut ditemukan jasad wanita, yang kemudian diketahui sedang berbadan dua, terpotong jadi enam bagian. Orang yang disangka berbuat bengis, Luluk, masih berada di hotel tersebut ketika perbuatannya diketahui. Si korban bernama Katiyem (25 tahun), pembantu rumah tangga keluarga Luluk, yang tinggal bersama tuannya di Singaraja (Bali). Mudah diduga --begitu sangka orang--bahwa antara pembantu dan tuannya telah terjadi hubungan gelap. Katiyem yang merasa mulai hamil menuntut sesuatu dari majikannya. Dan majikannya menyudahi urusan dengan cara bengis. Namun pekerjaan selanjutnya untuk menghapuskan jejak, membuang mayat yang sudah dicincang dan dibungkus kantung plastik, rupanya tak keburu dilaksanakan. (TEM PO, 25 Juli 1981). Para pembunuh Bo'i, di sebuah desa kecil di Cianjur (Jawa Barat), memang berhasil menghapuskan jejak. Tubuh si korban dicincang menjadi 20 kerat, direbus, lalu dibuang berpencar-pencar. Kekejaman yang terjadi Maret lalu akan tetap jadi rahasia, kalau saja salah seorang pembunuhnya, Saptari, tidak bercerita kepada pamannya. Saptari bercerita bahwa Bo'i, yang tak lain salah seorang pamannya sendiri, terpaksa dibunuh karena kemasukan roh jahat: buto dari Gunung Simpay. Saptari tak melakukannya sendiri, begitu ceritanya, tapi dibantu dan disaksikan sanak keluarga, tujuh orang, termasuk istri, serta ayah dan ibu si korban. (TEMPO, 18 April 1981). Ada dokter yang berpendapat bahwa kemungkinan para pembunuh ketika itu mendapat serangan suatu penyakit jiwa. Kemungkinan yang sama mula-mula juga dicari dari seseorang yang dituduh membunuh Ek Mong. Orang itu bernama Su Bun, pedagang babi, yang mencincang dan merebus jasad korbannya dan mengumpankannya kepada bahi ternaknya. Belakangan, menurut pemeriksaan polisi, Su Bun ternyata memang sudah lama mendendam Ek Mong. Soal persaingan dagang semata. Su Bun sebelumnya pernah mengancam hendak membunuh Ek Mong. Lalu, Juni 1978, Su Bun mengajak pembantu, antara lain adik ipar korban sendiri, menghabisi Ek Mong. Mengumpankan si korban kepada babi, belakangan diketahui, sekedar untuk menghilangkan jejak. (TEMPO, 24 Juni 1978). Beberapa waktu sebelum peristiwa Ek Mong, Mei 1978, orang menemukan potongan-potongan tubuh Ir. Nurdin Koto terbungkus karung di Kali Kresek di Jakarta Utara. Motif kejahatan tersebut, yang menampilkan seorang tersangka berumur 50 tahun, simpang siur. Namun kekejaman yang menyertai perbuatannya yang pertama, membunuh, boleh dianggap sebagai usaha mengllapus jejak. Sebelum peristiwa di atas, 1977, peristiwa lain menimpa gadis bernama Henny. Tersangka, laki-laki berumur 50 tahun, memotong tubuh korbannya menjadi delapan bagian lalu membuangnya di sebuah parit di sebelah selatan Jakarta. Motif yang terungkap soal kecil: karena pinjaman uang yang tak sampai Rp 150 ribu. Hukuman bagi si pembunuh luar biasa sudah biasa pula diumumkan. Selama hidup Japikkir Sinaga harus berada di penjara (ketika masuk ia berusia 26 tahun. Ia bersama keluarganya terbukti membunuh Senti Butar-butar, mencincang mayatnya, lalu dituduh memakan dagingnya pula. Ada juga yang sudah menjalani hukuman matinya seperti Oesin yang dituduh menjagal enam orang di Mojokerto (1964). Kebengisan terus berlangsung di mana-mana. Bukti mayat terpotong-potong, yang ditemukan di Jalan Sudirman (Jakarta Selatan) belum lama ini, seperti hendak lebih melengkapi perbendaharaan kejahatan jenis pembunuhan luar biasa. Untuk menandai jenis kejahatan semacam itu--pembunuhan yang diikuti kekejaman lain seperti memotong, mencincang atau merebus si korban -- kebanyakan orang menyebutnya: pembunuhan sadis. Jenderal Widodo Budidarmo, ketika menjabat Kepala Kepolisian RI (TEMPO, 1 Juli 1978), pernah mencoba memilihkan ungkapan untuk kejahatan tersebut: "Pembunuhan bengis dan agresif." Dan kejahatan seperti itu seperti akan terus berlangsung. Karena, seperti kata dr. Abdul Mun'im dari LKUI, semuanya itu "akibat dampak kemajuan dewasa ini dan semakin kompleksnya permasalahan manusia." Jadi, katanya lagi, "omong kosong kalau kita berharap kejahatan atau tindak kriminil bakal menurun -- kualitas maupun kuantitasnya!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus