Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai Rp 56 triliun. Sedangkan yang kembali hanya Rp 7,3 triliun. Laporan ini berdasarkan hasil pemantauan tren vonis korupsi tahun 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyampaikan terdapat 1.649 putusan dengan jumlah terdakwa 1.718 orang sepanjang 2023. Laporan ini mengacu pada sumber utama Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia menyebut dari sekian banyak putusan dan kasus dakwaan, penetapan jumlah ganti rugi masih jauh daripada kerugian yang muncul. “Berdasarkan pemantauan terhadap proses persidangan sepanjang 2023, jumlah kerugian negara mencapai Rp 56.075.087.787.308,” ucap Kurnia pada Senin, 14 Oktober 2024.
Dengan kerugian mencapai Rp 56 triliun lebih, kata dia, total pidana tambahan uang pengganti yang dituntut penuntut umum sebesar Rp 83 triliun. Kurnia menyatakan tuntutan ini didominasi oleh Kejaksaan dengan total Rp 82 triliun. Sedangkan KPK hanya Rp 675 miliar. “Itu pun total yang dituntutkan, sedangkan yang dikabulkan oleh hakim hanya Rp 7,3 triliun,” jelasnya.
Menurut dia, rendahnya pengembalian aset hasil kejahatan dari total kerugian keuangan negara juga sedikit banyak diakibatkan dari minimnya penegak hukum penuntut umum dalam menggunakan instrumen pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebab, dari 1.718 terdakwa, itu hanya 17 orang yang dikenakan pasal TPPU.
“Ini berkurang, di tingkat vonis hanya 13 orang yang kemudian diputus dengan pasal TPPU juga,” ucap Kurnia. “Kemudian kita tahu bahwa instrumen pasal pencucian uang salah satu upaya untuk maksimalisasi pengembalian kerugian tindak pidana korupsi.”
Kurnia menjelaskan adanya gap yang jauh dari jumlah tuntutan dengan vonis menunjukkan adanya ketidaksamaan frekuensi antara penegak hukum, yakni penuntut umum dan majelis hakim dalam proses persidangan. “Bila tidak, tujuan utama untuk merestorasi pemulihan akibat praktik korupsi tidak pernah bisa terealisasi,” ucap Kurnia menjelaskan betapa pentingnya keselarasan dua lembaga ini dalam mengembalikan kerugian.
Ia menyebut uang pengganti sudah seharusnya dilekatkan pada setiap tuntutan tindak pidana korupsi. Sebab, esensi pemidanaan untuk kejahatan korupsi tidak cukup hanya dengan bertumpu pada pemidanaan badan, melainkan juga harus masuk lebih jauh pada pemulihan kerugian. Kata Kurnia, secara hukum hal itu dimungkinkan dengan adanya ketentuan Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi mengenai pidana tambahan uang pengganti. “Ke depan, korupsi yang menimbulkan kerugian harus secara konsisten disematkan pidana tambahan,” jelasnya.
ICW mendorong agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera mengundangkan RUU Perampasan Aset agar pemulihan kerugian akibat praktik korupsi bisa dimaksimalkan. “Tolong disusun pemulihannya, tolong maksimalkan pelacakan asetnya, tolong maksimalkan lacak transaksi keuangannya, sehingga tidak menjadi tunggakan penegak hukum," ucapnya.