Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cerita Binsar dan Tjun Yang di Cek Pelawat

Putusan majelis hakim untuk Dudhie menyebut nama Panda Nababan sebagai ”turut serta”. Komisi Pemberantasan Korupsi masih mempelajari putusan hakim.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERBINCANGAN antara Dudhie Makmun Murod dan tim pengacaranya di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, itu tak menghasilkan kesepakatan penting. Hari itu, alih-alih membahas upaya banding terhadap putusan hakim dalam perkara cek pelawat yang membelitnya, Dudhie justru dengan bersemangat membahas keterlibatan Panda Nababan, koleganya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. ”Karena putusan itu justru makin menguatkan peran Panda,” kata Amir Karyatin, pengacara Dudhie.

Tak hanya menghukum Dudhie dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta, putusan Senin pekan lalu itu, ujar Amir, menegaskan peran Panda dalam perkara rasuah ini. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai fakta di persidangan mendukung dugaan keterlibatan mantan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan itu. ”Ada unsur turut sertanya,” kata Sofialdi, anggota majelis, saat membacakan putusan.

Menurut hakim, sebagai koordinator pemenangan Miranda Swaray Goeltom saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Juni 2004, Panda dinilai ikut berperan mengalirkan cek senilai Rp 9,8 miliar ke 18 anggota Fraksi PDI Perjuangan di Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat kala itu. Hakim menyebutkan peran Panda yang mengatur pertemuan Dudhie dengan Arie Malangjudo di Restoran Bebek Bali, Senayan, tak lama setelah Miranda terpilih. Di tempat itu, Arie menyerahkan cek suap ke Dudhie.

Peran Panda ini memang diungkapkan Dudhie panjang-lebar. Di persidangan, Dudhie juga menunjukkan laporan keuangan Fraksi PDI Perjuangan per akhir Juni 2004. Dalam laporan itu, tercatat Panda menyumbangkan cek senilai Rp 500 juta ke kantong fraksinya. ”Itu bagian dari traveller’s cheque yang dibagikan,” kata Dudhie.

Cek itu, ujar Amir, dicairkan Dila, anggota Staf Sekretariat Fraksi PDI Perjuangan, sepekan setelah pemilihan Miranda. Cek itu lalu dikliringkan ke rekening fraksi atas nama Dudhie selaku bendahara. Ditemui Tempo Kamis pekan lalu di kantornya di gedung Dewan, Dila mengaku lupa soal setoran cek itu. ”Banyak sekali pekerjaan, saya lupa dan tak mau berkomentar,” katanya.

Panda sendiri menyayangkan kesaksiannya di persidangan tak dipertimbangkan hakim. Menurut Panda, tudingan bahwa dia menjadi koordinator pemenangan itu keliru. ”Di persidangan, Tjahjo Kumolo sendiri menyatakan tidak pernah menunjuk saya sebagai koordinator pemenangan Miranda,” ujarnya. Soal setoran ke kas partai, Panda balik menuding Dudhie. ”Dila itu staf Dudhie, bagaimana mungkin dia setor uang tanpa setahu Dudhie?” katanya.

Sejumlah temuan di persidangan, kata Amir, semestinya bisa menjerat Panda. Menurut Amir, Komisi Pemberantasan Korupsi tak bisa mengelak lagi soal keterlibatan Panda. Dudhie mengaku geregetan melihat koleganya itu tak tersentuh. ”Saya ini hanya disuruh Panda,” kata Dudhie. ”Kalau saya dinyatakan bersalah, yang menyuruh juga harusnya begitu.”

Kepada Tempo, dua pemimpin KPK, Mochammad Jasin dan Bibit Samad Rianto, berjanji menuntaskan kasus cek ini. Soal keterlibatan Panda, Jasin meminta masyarakat bersabar. ”Proses hukumnya belum selesai,” kata dia. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., putusan pengadilan itu akan dipelajari. Sejauh ini, kata Johan, pihaknya belum menjerat Panda karena bukti materiilnya belum cukup.

l l l

RUMAH bercat putih dengan pagar setinggi dua meter di Jalan Bendi Raya Nomor 18, Tanah Kusir, Jakarta Selatan, itu seperti tengah ditinggal lama pergi si empunya. Semua lampu luar dinyalakan, sementara gorden menutup rapat seluruh jendela. Di depan garasi yang jembar, berserakan surat yang dikirim ke alamat itu. Tempo baru bisa bertemu dengan penghuninya saat menyambangi rumah seluas 300 meter persegi itu ketiga kalinya, Kamis pekan lalu. ”Pak Binsar belum pulang,” kata Rohana Pakpahan, istri pemilik rumah berlantai satu itu.

Pemilik rumah ini Binsar Toras Maringan Sihombing. Dalam laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ia tercatat sebagai orang yang mencairkan 29 cek pelawat senilai Rp 1,45 miliar di dua bank swasta. Menurut sumber Tempo, dari keterangan saksi ke penyidik—termasuk Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh—Binsar adalah asisten pribadi Panda. Soal asisten ini belakangan diungkapkan di persidangan dan diakui Panda.

Hubungan Binsar dengan Panda itu menjadi petunjuk KPK untuk melacak aliran cek. ”Itu bagian dari 480 cek yang disebar ke Dewan yang diduga terkait dengan Miranda,” kata sumber itu. Penyidik menduga Binsar disuruh Panda.

Tapi, saat diperiksa pada September tahun lalu, Binsar menegaskan ceknya itu tak ada kaitannya dengan Panda. Pria 42 tahun ini mengaku mencairkan cek karena disuruh seorang pengusaha kargo bernama Komarudin alias Tan Tjit Suei. ”Saya hanya kurir,” katanya.

Cek itu dicairkan Binsar sejak Juni sampai Agustus 2004 dalam sebelas kali penarikan. Menurut Binsar, setelah cek dicairkan, ia mengantar uangnya ke anggota staf Komarudin, Haris, di restoran Padang, Tanjung Priok. Kepada penyidik, Binsar mengaku, tanpa setahu Panda, ia nyambi jadi kurir pengantar uang di perusahaan Komarudin sejak 2002. Dari kerja seperti ini, ujarnya, ia mendapat gaji Rp 2 juta per bulan.

Saat diperiksa KPK, Oktober lalu, Komarudin membenarkan cerita Binsar. Komarudin menyatakan mengenal Binsar ketika sama-sama bekerja di Grup Prioritas—penerbit koran Prioritas—pada 1986. Ia juga mengaku mengenal Panda di Prioritas. Pengakuan bahwa ketiganya saling mengenal juga terungkap di pengadilan.

Adapun soal cek itu, Komarudin mengaku mendapatkannya dari iparnya, pengusaha tekstil Joni Hartono alias Tjun Yang. Pada Juni 2004, kata dia, Joni membayar utang Rp 1,5 miliar kepadanya menggunakan cek pelawat itu. Tapi, nah ini dia, ”Joni meninggal pada 2007,” kata Komarudin. Penyelisikan KPK pun berhenti di sini. ”Kisah Joni” ini mengingatkan pada tokoh Suhardi alias Ferry Yen, pengusaha yang disebut membeli cek pelawat yang kemudian—entah bagaimana—menyebar ke anggota Komisi Keuangan Dewan. Ferry juga sudah meninggal (Tempo edisi 26 April-2 Mei 2010).

Cerita versi Binsar itu diragukan pihak Dudhie. Di persidangan, Amir mengungkapkan keraguan itu di depan majelis hakim. Menurut dia, tak masuk akal pencairan cek sebesar itu hanya karena kepercayaan. Lebih-lebih hanya diserahkan ke seorang anggota staf dan di sebuah rumah makan.

Amir menunjuk sejumlah keganjilan sosok ”pengusaha” Komarudin, antara lain mengaku status perusahaannya hanyalah menyewa, sementara dokumen sewa perusahaan itu sendiri tak ada. Komar, ujarnya, juga tak bisa menunjukkan neraca keuangan perusahaan, dan mengaku utang-piutangnya dengan Joni tak dituangkan dalam perjanjian apa pun. ”Ini kan ganjil,” ujar Amir. Di persidangan, Binsar dan Komar tetap kukuh dengan cerita soal cek versi mereka ini. Komar, yang kini mengaku menjalankan usaha tambang di Sulawesi Tenggara, menyatakan tak tahu dari mana Joni mendapat cek itu.

Saat Tempo melacak rumah Joni di Jalan Tanah Tinggi Nomor 11, Senen, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, hanya ada pembantu rumah. Rumah sederhana itu kini ditempati Robi, anak Joni. Kepada Tempo, sejumlah tetangga Joni membenarkan, Joni meninggal pada 2007.

Menurut sumber Tempo di KPK, sebelum kasus ini ke pengadilan, penyidik sudah tahu cerita Binsar dan Komar bohong. Komisi, kata dia, yakin cek itu dicairkan atas perintah Panda.

Panda sendiri berkali-kali menegaskan tak pernah menerima cek yang disebut-sebut berkaitan dengan terpilihnya Miranda. Di pengadilan, ia mengaku baru tahu soal ajudannya mencairkan cek pelawat setelah kasus ini bergulir. Setelah itu, ujar Panda, ia langsung memecat Binsar.

Soal tuduhan Dudhie, Panda menyebutkan justru suatu ketika ia pernah menanyakan dari mana Dudhie menerima cek itu. Hal ini terjadi saat mereka bertemu di Restoran Bunga Rampai, Jakarta Pusat. ”Saat itu dia bilang diantar seseorang,” ujarnya. Menurut Panda, 32 saksi yang dihadirkan di persidangan juga menyatakan dia tidak pernah menerima cek pelawat yang disebut-sebut itu. Tugas Komisi memang terus menguak kasus ini.

Anton Aprianto, Erwin Dariyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus