Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSYAWARAH lima hakim itu berjalan cukup alot. Mereka berdebat tentang berapa tahun hukuman yang pantas untuk Hamka Yandhu, bekas anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi terdakwa penerima suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 8 Juni 2004. Bahkan, setengah jam sebelum waktu sidang, kata bulat belum juga didapat.
Hendra Yospin, hakim paling muda, menyodorkan vonis 1 tahun 3 bulan. Andi Bachtiar lebih ringan: satu tahun. Dua hakim lain, Nani Indrawati dan Made Hendra, hendak memberikan hukuman kepada politikus Partai Golkar itu 2 tahun 6 bulan. Hendra Yospin menawar dengan menaikkan vonis menjadi dua tahun dan meminta Nani menurunkan hukuman. Keduanya kembali tak sepakat.
Nani dan Made berkukuh bahwa perbuatan Hamka jelas-jelas korupsi. Sedangkan Hendra dan Andi berpendapat Hamka tak merugikan negara, ”Karena dia mengembalikan uang suap itu.” Waktu sidang, pukul 13.00, kian mendekat dan mereka harus memutuskan vonis saat itu juga. Herdi Agustin, sebagai ketua majelis, akhirnya menyudahi perdebatan dengan memberikan suara: 2 tahun 6 bulan. Dengan begitu, posisi hukuman tiga melawan dua suara. Hamka divonis 30 bulan kurungan dan denda Rp 100 juta karena terbukti menerima cek pelawat senilai Rp 500 juta sebagai imbalan memilih Miranda Swaray Goeltom.
Hukuman untuk Hamka, 53 tahun, paling tinggi dibanding tiga terdakwa lain. Dudhie Makmun Murod dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri divonis dua tahun bui. Hukuman paling ringan didapat Endin A.J. Soefihara dari Partai Persatuan Pembangunan, hanya 15 bulan kurungan. Denda untuk keempatnya sama: Rp 100 juta.
Hamka dihukum paling berat karena dianggap berperan mengatur distribusi cek ke anggota Komisi Keuangan lainnya. Menurut Nani Indrawati, Hamka mendatangi kantor Nunun Nurbaetie di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, setelah voting pemilihan di gedung Dewan, untuk bertemu dengan seorang anggota stafnya bernama Arie Malangjudo. Di sana Hamka menerima kantong kertas berisi cek pecahan Rp 50 juta senilai Rp 7,25 miliar.
Sedangkan tiga terdakwa lain hanya berperan menerima cek, lalu mencairkannya untuk pelbagai kepentingan. Udju Djuhaeri, misalnya, mengaku datang ke kantor PT Wahana Esa Sejati di Jalan Riau 17 bersama tiga anggota Fraksi TNI lainnya karena ditelepon Nunun. Oleh Arie, keempatnya diberi cek senilai masing-masing Rp 500 juta. Sedangkan Endin dan Dudhie menerima cek di restoran di luar kantor Nunun.
Sayang, Nunun Nurbaetie tak bisa dimintai konfirmasi. Dua kali datang menemui penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, ia hanya menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan profil pribadinya. Ia selalu menjawab tidak tahu dan tidak ingat ketika pertanyaan menukik ke soal pembagian cek.
Pengusaha dan sahabat gaul Miranda Goeltom ini terbang ke Singapura pada Februari lalu, sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi mencekalnya. Ia juga mangkir untuk memberikan kesaksian. Empat kali dipanggil, yang datang malah dokter pribadinya dengan membawa resume hasil pemeriksaan saraf yang menyatakan istri bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Adang Daradjatun ini ”sakit lupa berat”.
Tiadanya kesaksian Nunun ini memutus mata rantai aliran duit suap itu. Soalnya, penyidik berhasil mengidentifikasi asal 480 lembar cek itu. Berdasarkan pelacakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, cek-cek itu dibeli PT First Mujur Plantation dari Bank Internasional Indonesia pada hari dan jam yang sama dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Uang PT First berupa pinjaman dari Bank Artha Graha. Cek-cek itu kemudian dijadikan alat transaksi jual-beli lahan sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemberinya Hidayat Lukman, pemilik First Mujur, dan penerima ceknya pengusaha bernama Ferry Yen. Pria 57 tahun yang punya nama alias Suhardi Suparman ini kemudian diketahui meninggal pada Januari 2007. Penyidikan pun menemui jalan buntu.
Pertanyaannya: bagaimana cek itu bisa sampai ke tangan Nunun dari Ferry Yen? Dalam sidang empat terdakwa, aliran cek itu tak bisa diungkap jaksa. Karena itu, hakim menghapus posisi Nunun dalam aliran cek meski disebut-sebut dalam surat dakwaan dan tuntutan jaksa. ”Ini kan lucu, ada penerima suap tapi tak ada pemberinya,” kata Andi Bachtiar. Ini pula alasan ia memberikan pendapat berbeda atas pertimbangan dan vonis untuk Hamka Yandhu.
Menurut Andi, fakta hukum yang terungkap dalam sidang empat terdakwa itu sudah cukup bukti menyebutkan Nunun terlibat dalam skandal rasuah ini. ”Di persidangan terbukti cek itu dari dia,” ujar Andi. Dalam nota ketidaksepahamannya, Andi menyarankan Nunun diadili secara in absentia atau sidang tanpa dihadiri terdakwa. ”Tapi KPK harus menetapkan dia sebagai tersangka lebih dulu,” katanya.
TIGA penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terbang ke Singapura tiga pekan lalu. Mereka hendak mengecek apakah benar Nunun dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth seperti pengakuan dokter dan pengacaranya. Hasilnya nihil. ”Dia tak pernah dirawat di Mount Elizabeth,” kata Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR.
Wartawan Tempo di Pekanbaru, Rumbadi Dalle, juga pernah menelusuri keberadaan Nunun di Singapura. Tapi Jo Ann, petugas administrasi yang mengecek data di komputer, mengatakan, ”Tak ada nama dia di sini.” Menurut Andreas Harry, dokter pribadi Nunun di Indonesia, pasiennya itu dirawat oleh konsultan saraf dokter Nei I-Ping dan psikolog Geraldine Tan. Hasil pemeriksaan Nei I-Ping yang diserahkan kepada dokter Harry menyebutkan Nunun menderita alzheimer ringan.
Dokter Nei I-Ping membuka klinik di lantai 11 ruang 4 rumah sakit itu. Ia juga menggeleng ketika ditanya soal Nunun. Dua hari setelah penelusuran Rumbadi, Tempo mengirim wartawan lain, Ramidi, menemui Nei I-Ping. ”Saya terikat kode etik,” katanya, menolak memberikan keterangan. Namun, ketika disodori foto Nunun tahun 2008 yang tersenyum dalam sebuah acara peragaan busana, Nei I-Ping mengangguk. ”Dia memang pasien saya,” katanya.
Ada kabar Nunun tinggal di sebuah apartemen di Scotts Road, di utara Rumah Sakit Mount Elizabeth. Penyidik KPK yang tak berhasil menemukan nama Nunun di daftar pasien lalu bergerak ke sana. Mereka menunggu hingga larut malam, tapi Nunun tak juga muncul. Juru bicara Komisi, Johan Budi, mengatakan penyidik kesulitan menemui dan memeriksa Nunun karena ia berada di luar yurisdiksi kekuasaan penyidikan Indonesia. Dengan Singapura, Indonesia tak punya perjanjian mutual legal assistance. ”Nunun juga orang bebas, bukan tersangka,” katanya. Walhasil, untuk sementara Komisi belum punya cara menjerat Nunun.
Keputusan hakim dalam vonis Hamka Yandhu dan tiga terdakwa lain kasus suap cek pelawat memberikan angin segar kepada penyidik. Dalam vonis terhadap Udju, Nunun disebut-sebut aktif menelepon bekas bawahan suaminya itu. ”Beliau meminta saya ke kantor di Jalan Riau 17 dan mengajak anggota fraksi yang lain ketemu orang bernama Arie,” kata Udju kepada penyidik saat diperiksa pada 4 Februari 2010.
Menurut Chandra, KPK sedang mempelajari keputusan hakim atas empat terdakwa sebelum memutuskan langkah berikutnya. Ia memastikan penyidikan kasus ini tak berhenti hanya karena pengadilan terhadap empat terdakwa telah usai. Seorang penyidik Komisi membisikkan, pertimbangan hakim itu akan dijadikan senjata untuk menjerat Nunun. Kesaksian Arie Malangjudo, Udju Djuhaeri, Hamka Yandhu, dan asisten pribadinya yang mencarikan cek senilai Rp 1 miliar sudah cukup kuat menjadikan Nunun sebagai tersangka. Namun, kata penyidik ini, targetnya bukan semata Nunun. ”Mudah-mudahan dia bernyanyi dari siapa cek itu ia peroleh,” ujarnya.
Para penyidik yakin hulu cek yang diklaim sebagai jual-beli kebun kelapa sawit itu hanya alibi fiktif. Mereka lebih percaya ”tim sukses” Miranda itulah yang memberikan cek langsung ke Nunun sebagai ”tanda terima kasih”. ”Jadi Nunun juga hanya kurir dalam kasus ini,” katanya.
Tapi penyidik lain agak pesimistis status tersangka membuat Nunun kembali ke Indonesia. Tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia banyak yang jadi tersangka tapi tetap tinggal nyaman di Singapura. Tidak adanya perjanjian hukum penanganan tersangka dengan negeri jiran ini membuat penyidik tak bisa menyeret mereka. ”Maka yang diperlukan sekarang adalah kesabaran,” kata penyidik senior itu.
Menurut seorang petinggi Komisi, penyidikan babak kedua kasus ini tak hanya menyasar Nunun, tapi juga penerima cek lainnya. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan mencatat setidaknya ada 39 anggota Komisi Keuangan yang mencairkan cek-cek tersebut. Selain berangkat dari putusan hakim dan kesaksian para terdakwa yang sudah dipegang penyidik, kata petinggi ini, ”Tak tertutup kemungkinan dibuka penyidikan baru.”
MESKI duduk di kursi terdakwa pada sidang berbeda, Hamka, Dudhie, Endin, dan Udju kompak menyatakan pikir-pikir mendengar vonis yang dibacakan hakim. Dudhie terlihat kusut meninggalkan ruang sidang menuju ruang tunggu terdakwa. Di sana, 15 koleganya dari PDI Perjuangan telah menunggunya. Mereka bergantian menyalami Dudhie. Kepada wartawan, ia menyatakan keberatan atas vonis itu. Ia tak terima karena menderita sendiri dalam kasus ini.
Dalam keterangan kepada penyidik dan kesaksiannya di sidang, Dudhie mengaku hanya disuruh Panda Nababan sebagai Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan mengambil cek-cek itu. Menurut Dudhie, justru Pandalah yang mengambil bagian paling banyak dibanding anggota lain. Sampai sidang usai, Panda hanya dipanggil sebagai saksi.
Andi Bachtiar menyangkal jika hakim dikatakan memvonis koruptor terlalu ringan. Menurut dia, fakta persidangan menuntun hakim menjerat mereka dengan Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang hukuman maksimalnya lima tahun penjara dan denda paling banter Rp 250 juta. Para penerima cek itu, misalnya, tak tahu cek pelawat tersebut merupakan imbalan memilih Miranda. ”Tak ada saksi yang bisa membuktikan mereka tahu cek itu berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia,” katanya. ”Sekali lagi, dalam kasus ini tak ada kerugian negara.”
Bagja Hidayat, Erwin Dariyanto
Nunun Nurbaetie
Panda Nababan
Hamka Yandhu
Endin A.J. Soefihara
Udju Djuhaeri
Dudhie Makmun Murod
Terbang ke Singapura pada Februari lalu, sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi mencekalnya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Belum dijerat karena bukti materiilnya dianggap belum cukup.
Partai Golongan Karya
Vonis: 2 tahun 6 bulan
Denda Rp 100 juta
Partai Persatuan Pembangunan
Vonis: 15 bulan
Denda Rp 100 juta
Fraksi TNI/Polri
Vonis: 2 tahun
Denda Rp 100 juta
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Vonis: 2 tahun
Denda Rp 100 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo