Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pelanggaran Prosedur</B></font><BR />Bebas Karena Dakwaan Cacat

Majelis hakim membebaskan Aan dari dakwaan memiliki narkoba. Berita acara penggeledahannya dibuat tak berdasarkan fakta.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSANDHI terlihat sumringah. Tampil klimis dengan kemeja kuning cerah, wajahnya berseri-seri. Senyum selalu tersungging di bibirnya. Kamis pekan lalu, ia kongko dengan sejumlah pengacaranya di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. ”Sedang liburan. Kan, saya sudah di-PHK,” kata pria 30 tahun ini.

Aan, demikian biasa dia dipanggil, memang tengah gembira. Senin pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan dakwaan yang dialamatkan kepadanya. ”Dakwaan itu mengacu pada berita acara penggeledahan yang tidak sesuai dengan fakta,” kata Artha Theresia Silalahi, ketua majelis yang menyidangkan perkara Aan, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Dengan putusan ini, Aan bebas dari jerat hukum.

Berita acara menyebut nama Kismadi dari Direktorat Narkotika Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya yang melakukan penggeledahan. Namun, di persidangan, terungkap Kismadi tak pernah ada di ruang rapat PT Maritim Timur Jaya, lantai 8 Gedung Artha Graha, Jakarta, tempat Aan digeledah pada 14 Desember lalu.

Adapun yang menggeledah, seperti terungkap di pengadilan, adalah Inspektur Dua John Wattimanela dan Brigadir Polisi Kepala Obet Tutuarima, dua penyidik dari Kepolisian Daerah Maluku. Keduanya juga melakukan penggeledahan tanpa surat perintah. Berita acara ”penggeledahan” ini kemudian dibuat dengan kop Polda Metro Jaya. Di bawahnya, Obet membubuhkan tanda tangan sebagai saksi—bukan penggeledah. ”Mestinya, kalau Obet dan John yang menggeledah, pakai kop surat Polda Maluku,” Artha mengatakan.

Terhadap penggeledahan model ini, sebelumnya Inspektur Jenderal Oegroseno, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI, mengakui keliru dan melanggar prosedur. ”Pemeriksaan di luar kantor polisi itu pelanggaran,” kata Oegroseno saat kasus ini ramai diberitakan media.

Kasus Aan berawal pada 14 Desember lalu. Saat itu, sekitar pukul 14.00, ia mengaku dipanggil bosnya di salah satu ruang lantai 8 Gedung Artha Graha, Jakarta. Menjelang sore, pukul 15.30, Aan dihadapkan ke Direktur Reserse Kriminal Polda Maluku Komisaris Besar Johnny Siahaan serta dua anggotanya, Ipda John Wattimanela dan Bripka Obet Tutuarima.

Saat itu Aan dimintai keterangan sebagai saksi perihal kepemilikan senjata api oleh David Tjioe, mantan bosnya di PT Maritim. Di tengah interogasi, menurut Aan, ia diperintahkan melepas celana dan bajunya. Saat itulah John Wattimanela mengaku menemukan serbuk putih kebiruan di dalam bungkus uang kertas lima puluh ribuan terselip di dompetnya. Aan menegaskan benda itu bukan miliknya.

Malam itu juga Aan digelandang ke Polda Metro Jaya untuk ditahan. Ia dijadikan tersangka kepemilikan narkoba. Kasusnya bergulir cepat. Pada Januari 2010, perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Sebulan kemudian, berkas kasusnya dinyatakan lengkap dan masuk Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Februari lalu, Aan sempat melakukan gugatan praperadilan, tapi gugatan itu ditolak. Peradilan terhadap Aan pun digelar. Jaksa menuntut Aan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 800 juta dengan dakwaan menyimpan narkotik nontanaman jenis ekstasi.

Putusan hakim yang membebaskan Aan itu disambut lega anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana. ”Kasus Aan bisa menjadi pintu masuk upaya pemberantasan mafia hukum,” kata Denny setelah mengikuti sidang Aan.

Berbeda dengan Denny, juru bicara Kejaksaan Tinggi Jakarta, Suhendra, mengaku heran terhadap putusan yang dijatuhkan hakim. Menurut dia, jika merunut pada putusan hakim praperadilan, mestinya hakim menghukum Aan. Suhendra juga menyatakan keheranannya karena yang dipersoalkan hakim masalah penggeledahan. ”Mestinya soal seperti itu diputus saat praperadilan atau putusan sela,” katanya.

Kejaksaan, ujar Suhendra, mengajukan permohonan banding atas putusan terhadap Aan ini. Tapi pengajuan permohonan itu dianggap aneh oleh pengacara Aan, Edwin Partogi. ”Putusan hakim itu kan sudah jelas, ada rekayasa dalam pembuatan berita acara,” ujar Edwin.

Kepada Tempo, juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli, menyatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kelanjutan kasus ini kepada jaksa. Adapun terhadap polisi yang menurut hakim membuat berita acara tak sesuai dengan fakta itu, sampai saat ini, ujar Boy, belum ada rencana memeriksa mereka.

Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono menegaskan tak ada rekayasa apa pun terkait dengan kasus Aan. Pemberkasan yang dilakukan penyidik, kata Wahyono, sudah sesuai dengan prosedur. ”Kami sudah bertahun-tahun mengungkap kasus seperti ini. Untuk apa merekayasa?” ujarnya.

Erwin Dariyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus