Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cerita Keluarga Korban 1965 yang Masih Merasakan Diskriminasi dalam Pekerjaan

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 menyebut masih banyak keluarga korban peristiwa 1965 yang mengalami diskriminasi.

2 April 2022 | 08.24 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung bersama korban lainnya saat berada di Gedung Komnas HAM, Jakarta, 15 November 2017. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Untung mengatakan para keluarga korban 1965 masih banyak mengalami diskriminasi di berbagai profesi. Menurut dia, hal itu terjadi sejak 1975 saat dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 28 oleh Presiden Suharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bedjo menjelaskan bahwa aturan itu mengklasifikasikan tahanan politik termasuk keluarga, anaknya, dan sebagainya, ada golongan C, B, serta A. “Klasifikasi ini berimplikasi pada orang-orang yang diduga ditangkap, bahkan tidak boleh masuk pegawai negeri, tentara maupun polisi,” ujar dia saat dihubungi pada Jumat, 1 April 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menceritakan kasus di mana salah satu anggota korban 1965 yang pernah mendaftar ke Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah. Namun, begitu sampai di sana untuk mengikuti pelatihan, yang bersangkutan dipecat karena kakeknya termasuk orang yang pernah menjadi tahanan politik. “Itu sangat-sangat mengecewakan,” tutur dia.

Jadi secara hukum, kata dia, keturunan PKI itu memang tidak boleh menjadi pegawai atau anggota di institusi tersebut. Bahkan, teman Bedjo, yang juga korban 1965 lainnya bernama Tristuti yang baru pulang dari Pulau Buru tidak boleh mendalang.

“Dia profesinya dalang tapi dia tidak boleh mendalang, bayangkan, jadi dokter juga, perawat dan bagian medis itu tidak boleh. Jadi peraturan-peraturan diskriminasi ini harus dihilangkan,” ungkap Bedjo.

Menurut dia, secara formal masih ada hal-hal seperti itu. Hanya saja, para korban 1965 perlu hidup. “Saya saja punya istri anak tahanan politik tapi dia bisa jadi pegawai negeri, caranya ya kita musti bilang sebagai anaknya si A atau si B, anaknya lurah sehingga aman,” kata dia.

Bedjo meminta kepada negara untuk memberikan keputusan yang adil terhadap keluarga korban 1965. Karena, para keluarga, anak dan cucu yang saat ini masih hidup tidak ada keterkaitan dan tidak ada sangkut-paut dengan orang tuanya, bahkan tidak memiliki kesalahan.

“Jadi jangan sampai kesalahan orang tua dilimpahkan kepada anak cucunya. Pahadal lagi orang tua kita ini juga belum tentu salah, mereka di buang ke Pulau Buru dan tidak pernah diadili, jadi itu tidak adil, sama saja melanggar HAM,” tuturnya.

Namun, pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang memperbolehkan keturunan PKI mengikuti tes penerimaan prajurit TNI tahun 2022 merupakan kabar yang menggembirakan. “Saya langsung sebarkan ke teman-teman korban 65 dan keluarganya. Dan umumnya kami menyambut baik pernyataan Panglima,” ujarnya.

Menurut dia, selain menjadi kabar yang menggembirakan, keputusan itu sedikit menghapuskan diskriminasi. “Saya mengucapkan terimakasih yanhg sebesar-besarnya kepada Bapak Panglima, sehingga anak cucu dari orang-orang yang diketahui sebagai anggota PKI itu bisa menjadi TNI,” katanya.

Sebelumnya, Panglima Jenderal Andika Perkasa mengizinkan keturunan PKI untuk mendaftar menjadi prajurit TNI. Ini terlihat dalam penjelasannya di akun YouTube Andika Perkasa. Dia menyebut tidak ada dasar hukum yang melarang keturunan PKI untuk bisa mendaftar. "Zaman saya tak ada lagi keturunan dari apa, tidak, karena saya gunakan dasar hukum," tutur dia di akun YouTube-nya, Rabu, 30 Maret 2022.

Moh. Khory Alfarizi

Moh. Khory Alfarizi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2018 dan meliput isu teknologi, sains, olahraga hingga kriminalitas. Alumni Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat, program studi akuntansi. Mengikuti program Kelas Khusus Jurnalisme Data Non-degree yang digelar AJI Indonesia pada 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus