Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara pungutan liar atau pungli di rumah tahanan (rutan) cabang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ricky Rachmawanto, menyebut adanya dorongan dari pegawai lainnya untuk mengikuti tradisi pungli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini dia ungkapkan ketika menjadi saksi dalam sidang perkara untuk terdakwa Deden Rochendi, Hengki, Ristanta, Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Achmad Fauzi, Agung Nugroho, dan Ari Rahman Hakim. Jaksa dari KPK menghadirkannya bersama enam terdakwa dalam berkas perkara yang sama untuk memberikan keterangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada persidangan ini, jaksa menanyakan soal awal mula Ricky mendapat informasi soal pungli di rutan KPK. Ricky pun menjelaskan, pada awalnya dirinya sempat ditegur oleh rekan kerjanya usai melaporkan praktik pungli.
“Siapa yang menegur Saudara sampai akhirnya Saudata terjerumus seperti ini?” tanya dalam sidang pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Senin, 11 November 2024.
Ricky menyebutkan bahwa yang menceritakan situasi di rutan itu kepadanya adalah petugas jaga di rutan KPK yang bernama Marwan dan Asep. Mereka juga yang pertama kali memberikan uang kepada Ricky.
“Jadi ketika saya pulang kerja, saya diikuti mereka,” kata Ricky. Dia mengaku diberhentikan di daerah Pancoran. “Lalu mereka menceritakan bahwa rutan ini sudah dalam kondisi ini sejak lama.”
“Sejak kapan itu?” tanya jaksa.
“Saat saya masuk sudah begitu, Pak,” tutur Ricky. Dia pun menceritakan alasan dirinya dicegat oleh rekannya itu. “Saya waktu itu melaporkan ada salah satu petugas jaga wanita kedapatan menyerahkan handphone kepada tahanan.”
Dia menyebut situasi di rutan sedikit ramai usai ia melaporkan hal itu. Tak lama kemudian, dia mengatakan diikuti oleh Marwan dan Asep saat perjalanan pulang. “Dan diserahkan uang sekitar Rp 800 ribu, yang saya ingat,” katanya.
Jaksa pun menanyakan soal siapa sosok di balik tindakan rekan kerjanya itu. “Tidak mungkin uangnya dia sendiri,” kata jaksa.
“Itu terjadi di sekitar bulan Juni atau Juli,” ucap Ricky. “Mereka mengatakan itu mereka diperintah oleh Pak Hengki selaku Kamtib saat itu.” Diketahui, Hengki menjabat sebagai Kepala Keamanan dan Ketertiban KPK pada periode 2018–2022. Saat itu, Hengki berstatus pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) di KPK dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Terus diperintahkan pada Asep dan kawan-kawan itu ya?” tanya jaksa memastikan. Ricky menjawab, “Betul.”
Jaksa pun bertanya pada Ricky soal alasan dirinya langsung menerima uang tutup mulut itu, padahal ia baru saja bertugas di rutan tersebut. “Udah tau Saudara kan awal-awal di situ ya, kenapa sudah langsung mau? Atau sempat menolak?” tanya jaksa. “Atau langsung Saudara terima?”
“Saya mengikuti saja, Pak,” kata Ricky. “Ada perkataan juga dari Marwan dan Asep saat itu, kalau misalkan tidak mengikuti arus yang ada nanti bisa dipindahkan tempat tugasnya ke tempat yang tidak enak.”
Sebanyak 15 terdakwa kasus dugaan korupsi berupa pungli di Rutan KPK masih menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Mereka diduga melakukan pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Pungli dilakukan para terdakwa di tiga Rutan Cabang KPK yang berbeda, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Jaksa KPK mendakwa mereka dengan berkas perkara yang berbeda. Tujuh terdakwa yakni Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah teregister dengan nomor 68/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Sedangkan berkas perkara delapan terdakwa lainnya, yakni Deden Rochendi, Hengki, Ristanta, Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Achmad Fauzi, Agung Nugroho, dan Ari Rahman Hakim, teregister dengan nomor perkara 69/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Perbuatan para terdakwa dinilai sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.