Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Segera Tuntut Saya

Bekas Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), Richard Joost Lino, meminta penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung menuntaskan penyidikan kasus yang menjeratnya. Anak dan istri Lino menyerahkan semua rekeningnya ke Kejaksaan.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Richard Joost Lino di Jakarta. /TEMPO/STR/Wisnu Agung Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lima tahun menjadi tersangka di KPK, RJ Lino berharap kasusnya bisa disidangkan di pengadilan.

  • Ia menyurati sejumlah lembaga negara, termasuk Dewan Pengawas KPK, demi mendapatkan kepastian hukum.

  • Lino mengaku telah menyerahkan semua nomor rekening pribadi dan keluarga ke KPK dan Kejaksan Agung.

LIMA tahun lebih berstatus tersangka, bekas Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost Lino, ingin segera mendapatkan kepastian hukum. Ia mengaku telah menyerahkan semua bukti kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada Kejaksaan Agung yang menangani kasus lain yang dituduhkan kepadanya, Lino juga mengklaim sudah memberikan data di komputer jinjing dan telepon selulernya. “They can see it,” ucap pria berusia 67 tahun itu kepada Linda Trianita dari Tempo di kediamannya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, pada Selasa, 9 Februari lalu. Ia berkeras tak bersalah.

Berapa kali Anda diperiksa KPK dalam kasus korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) twinlift PT Pelindo II?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemeriksaan pertama pada awal 2016. Saya sudah membawa koper karena bersiap ditahan. Ternyata, dalam pemeriksaan itu, saya cuma ditanya mengenai data diri, keluarga, juga tahu kasus ini atau tidak. Pemeriksaan kedua pada awal 2020. Yang memeriksa saya bukan penyidik, melainkan auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Saya jelaskan semuanya dalam pemeriksaan 12 jam. Setahun berselang, tetap tak ada kabar.

Mengapa Anda berharap penyidikan bisa tuntas?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau mereka merasa saya bersalah, segera tuntut saya, bawa saya ke pengadilan. Tapi kalau tidak, saya punya hak meminta mereka mencabut kasus ini. Di Undang-Undang KPK yang baru ada aturannya. Ini pelanggaran hak asasi manusia oleh negara.

KPK masih terhambat kendala penghitungan kerugian keuangan negara dalam proyek itu. Tanggapan Anda?

KPK ini gengsi. Ngomongnya sudah terlalu besar bahwa saya ini salah. Akhirnya enggak punya apa-apa.

Anda menyandang status tersangka di KPK selama lima tahun. Apakah ada upaya memperoleh kepastian hukum?
Saya mengajukan surat permohonan perlindungan dan kepastian hukum ke Dewan Pengawas KPK. Mereka membalas surat itu pada November 2020. Jawabannya mengecewakan. Katanya masih disidik.

Selain itu, Anda menyurati siapa saja?
Saya bikin surat juga ke Ombudsman RI. Mereka masih aksi, bertanya ke BPK dan lainnya. Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban. Saya pun menyurati Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Saya pikir, kalau ada orang yang hak asasinya dirampas begini, mereka bakal bela. Ternyata sama saja. Mereka bilang sekarang sudah ada Dewan Pengawas KPK. Saya jadi bingung, mau lapor ke mana di negeri ini?

Kasus Anda disebut sebagai salah satu alasan merevisi Undang-Undang KPK. Tanggapan Anda?

Semua orang bilang begitu. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar mengenai kejelasan status hukum saya.

Bagaimana dengan pemeriksaan Anda di Kejaksaan Agung soal kasus perpanjangan kontrak PT Pelindo II di PT Jakarta International Container Terminal (JICT)?

Saya sudah empat kali diperiksa pada Oktober dan November 2020. Kasus ini berangkat dari Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat. Orang pikir saya ngambil uang seenaknya. Negeri ini mikirnya sudah begitu. "Ada kontrak besar, masa dia enggak menerima sama sekali?" Satu dolar pun saya tidak pernah ambil dari setiap kontrak yang diteken PT Pelindo II.

Perpanjangan kontrak dengan JICT dianggap merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Benarkah?

Saya sudah sampaikan di Kejaksaan pada November lalu. Tak ada satu pun prosedur yang dilanggar. Dari awal, saya menyurati dan meminta saran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Begitu juga aspek legalnya, saya tanyakan ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.

Apa alasan Anda memperpanjang kontrak itu?

Semua saran BPKP dan Kejaksaan kami laksanakan. Setelah proses negosiasi sudah firm, saya bawa lagi ke BPKP. Minta dicek lagi. Kesimpulannya, kalau diperpanjang keuntungannya US$ 202 juta. Maka saya bikin surat perpanjangan. Ini juga saya bawa ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Angka penawarannya dianggap bagus.

Benarkah Kejaksaan Agung menelisik dugaan gratifikasi dalam perpanjangan kontrak Pelindo II dan JICT melalui istri dan anak Anda?

Istri saya sampai susut delapan kilogram berat badannya. Dia sudah menghadiri pemeriksaan pada Januari lalu. Putri saya juga sudah. Dia dua kali tidak datang karena operasi dan juga tertular Covid-19. Putra saya ada di Turki, jadi belum bisa memenuhi panggilan. Istri dan putri saya sudah menyerahkan semua akun rekening bank ke Kejaksaan.

Apalagi yang diminta penyidik?

Kejaksaan juga minta handphone dan laptop saya. Saya kasih saja. Saya senang. Mereka juga sudah geledah tempat lain. Saya juga senang, karena mereka bisa ambil data di sana, bisa memperjelas apakah saya terima uang atau tidak. They can see it. Kalau saya aneh-aneh, pasti di situ ada datanya kan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus