Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dahulu Texmaco, Sekarang Bimbi

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan sepanjang satu kilometer di Kiarapayung, Kabupaten Kara-wang, Jawa Barat, itu rusak berat. Kalau tidak aspalnya mulai lepas, ya, jalan itu berubah jadi kubangan. Di s-itulah kompleks pabrik milik Texmaco berdiri: Texmaco Perkasa Engineering, Texmaco Jaya, Polysindo, dan tujuh perusahaan lain yang bernaung di bawah perusahaan induk, Bina Prima Perdana. Bina adalah perusahaan yang dibentuk pemerintah pada 2001 sebagai upaya merestrukturisasi per-usahaan bekas milik Marimutu Sinivasan itu.

Satu induk lagi, PT Jaya Perkasa Engineering, dibentuk untuk menampung sembilan perusahaan Texmaco yang bergerak di divisi produksi mesin-mesin industri, alat berat, dan otomotif. Masuk di sini antara lain Perkasa Heavyndo Engineering, Perkasa Indobaja, dan Texmaco Perkasa Autojaya. Pabrik industri alat berat berada di kompleks Karangmukti, Kabupaten Subang. Seperti halnya di Karawang, pabrik Texmaco di Subang juga pucat lesi: mesin produksi jadi besi tua tak terpelihara.

Maka Beaus, 35 tahun, adalah saksi hidup remuknya bisnis Texmaco. Saat ini ia adalah satpam di salah satu pabrik di Karawang. Sepuluh tahun pria asal Ambon ini bekerja di sana sampai, akhirnya, tahun lalu ia dan ratusan rekannya diberhentikan. Kini Beaus dipekerjakan sebagai karyawan kontrak. Uang pesangonnya yang ha-nya Rp 10 juta baru dibayar Rp 1,6 juta. "Itu pun dicicil tiga kali," katanya.

Nasib sama dialami Kamto, 40 tahun, yang bekerja di Perkasa Heavyndo Engineering di Subang. Bersama 1.704 rekannya, ia dipecat pada Maret tahun lalu. Sesuai dengan putus-an Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), mestinya ia mendapat pesangon Rp 23 juta. Tapi sampai saat ini baru Rp 4,5 juta yang ia terima. "Juga, dibayar beberapa kali," ujarnya. Kamto berkisah, ba-nyak kawannya kini beralih profesi jadi tukang ojek, pedagang makanan keliling atau buruh tani. Tak sedikit yang mengalami gangguan jiwa karena dapur tak mengepul. "Banyak yang digugat cerai pasangannya," katanya.

Texmaco memang nyaris tak ter-tolong. Setelah pembentukan dua induk perusahaan itu, sudah dua kali Badan Penyehatan Perbankan Nasio-nal (BPPN) mencoba menawarkan Tex-maco melalui program penjualan aset strategis. Tapi tak ada pembeli yang melirik meski harga sudah dibanting hingga lima sen per dolar nilai tagih-an pemerintah di perusahaan ini yang berjumlah Rp 29,356 triliun.

Akhir Februari 2004, BPPN bubar. Hak tagih ke Texmaco kemudian di-serahkan pada PT Perusahaan Pengelola Aset yang dibentuk pemerintah. Tapi tak ada kemajuan berarti. Para peminat yang mencoba secara tak resmi menawar hanya berani bicara harga di bawah satu sen per dolar, atau paling banter Rp 300 miliar saja.

Dua-tiga tahun lalu, para in-vestor masih berharap pada divisi tekstil yang tetap beroperasi dan punya prospek bagus. Banyak pula yang melirik keandalan mesin-mesin dan alat berat di pabrik-pabrik engineering Texmaco. Apalagi, beberapa dari mereka masih mampu bertahan meski beroperasi dengan sumber daya amat terbatas.

Perkasa Heavyndo, misalnya, masih menerima pesanan. Beberapa pabrik di Subang masih digerakkan oleh 600-an orang yang direkrut dari karyawan yang tahun lalu diberhentikan. Sebagian memproduksi tangki pesanan perusahaan otomotif Korea Selatan, Hyundai. Sebagian lainnya bekerja untuk memenuhi pesanan Conoco dan Siemens. Tapi di tengah melambungnya harga minyak mentah dunia saat ini, hampir tak ada lagi yang bisa diharapkan dari divisi tekstil yang menggunakan minyak sebagai bahan baku. Divisi engineering pun megap-megap.

Apalagi, setiap investor yang masuk masih harus berhada-pan- dengan tumpukan tagihan dari tunggakan pajak, tagi-han- listrik, dan banyak kreditor swasta. Satu hal lagi: Tex-ma-co kini dipusingkan oleh perselisihan dengan 11 ribu le-bih buruh yang menuntut pesangon. Raksasa Texmaco ki-ni redup sudah. Keadaannya sekarang lebih mirip Bimbi da-lam lagu Titik Puspa: perempuan layu yang menunggu di ja-lan sepi.

Y. Tomi Aryanto, Nanang Sutisna (Karawang dan Subang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus