Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar baru bertiup dari Kejaksaan Agung: kasus proyek mobil nasional alias mobnas dibuka lagi. Surat perintah penyelidik-an atas kasus ini sudah dikeluar-kan, dua pekan lalu. Tim penyelidik yang terdiri dari lima jaksa pun telah di-bentuk. Kasus ini menarik perhatian orang karena melibatkan bekas presiden Soeharto dan putra bungsunya, Tommy Soeharto.
Hingga pekan lalu, tim penyelidik te-lah memeriksa lebih dari 10 orang. Me-reka berasal dari manajemen PT Timor Putra Nasional (produsen mobil Timor) dan sejumlah bank anggota konsor-sium pemberi kredit. Hanya, tak satu pun jaksa mau buka mulut. ”Kami tidak bisa membeberkannya. Penyelidikan itu tertutup,” kata Hendarman Supanji, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Dia khawatir jika hasil pemeriksaan bocor, penyelidikan yang dilakukan anak buahnya bisa terganggu. ”Yang pasti kami mengusahakan penyelidikan ini cepat selesai,” ujarnya.
Menurut Hendarman, pengusutan ter-fo-kus pada berbagai keputusan yang dikeluarkan Soeharto untuk menyokong proyek mobil nasional. Kejaksaan juga mencoba mengembangkan ke hal-hal lain. ”Misalnya, kami akan mencari siapa saja yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kasus tersebut,” kata Hendarman yang juga menjadi Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.-
Dia menyatakan, pembukaan k-asus mobil nasional itu atas permintaan Ko-misi Hukum DPR. Pada rapat de-ngar pendapat antara Kejaksaan Agung dan komisi itu pada Mei lalu, korps adhya-k-sa mendapat kecaman keras lantar-an menerbitkan Surat Ketetapan Peng-hentian Penuntutan (SKPP) atas kasus tujuh yayasan dengan tersangka Soeharto. Komisi Hukum menuntut SKPP tersebut dicabut.
SKPP itu hingga kini belum dicabut. Namun, untuk memenuhi keinginan yang berkembang di DPR, kejaksaan memilih membuka kasus mobil nasio-nal. Kasus ini sebenarnya pernah dise-lidiki kejaksaan bersamaan dengan kasus yayasan Soeharto pada 1998 silam, tapi belum sampai tahap penyidikan. Sampai kini penyelidikan kasus mobil nasional belum dinyatakan ditutup. Penyimpangan yang terjadi dalam kasus mobnas juga mirip kasus yayasan Soeharto. Ketika masih berkuasa, Soeharto mengeluarkan keputusan presiden yang cenderung menguntungkan kroninya.
Dua tahun sebelum lengser, Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional. Instruksi ini ditujukan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tungky Ariwibowo, Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad, dan Menteri Negera Penggerak Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Sanyoto Sastrowardoyo. Ketig-a menteri ini diperintahkan bekerja sama untuk mewujudkan industri mobil nasional. Dalam inpres dinyatakan, mobil yang diproduksi mesti mengguna-kan merek yang diciptakan sendiri, dipro-duksi di dalam negeri, dan mengguna-kan komponen lokal.
Demi mewujudkan proyek itu sejumlah kemudahan diberikan pemerintah. Pelaksana proyek itu mendapat pembebasan bea masuk impor atas komponen, pemberlakuan pajak pertambahan nilai 10 persen atas setiap penyerahan mobil yang diproduksi, dan pembayaran Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditanggung pemerintah.
Ternyata proyek mobil nasional jatuh ke tangan Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto. Untuk mendirikan pabrik mobil, Tommy menggan-deng KIA Mobil Corps dari Korea Selatan. Mereka menyanggupi membuat mobil nasional dengan 60 persen komponen lokal dalam tiga tahun. Lalu sebuah mobil nasional pun diluncurkan dengan m-erek Timor.
Setelah resmi menunjuk PT Timor, Soeharto kemudian me-ner-bitkan be-leid tambahan yang mem-permulus b-is-nis Tommy di bi-dang otomotif. Dia me-ngeluar-kan Keputusan Presiden No-mor 42 Tahun 1996 ten-tang Mobil Nasi-o-nal yang me-mung-kinkan mob-nas bisa di-buat di luar ne-geri. Maka, da-tanglah r-ibu-an unit mo-bil sedan bu-atan KIA yang diberi me-rek Timor. Im-por mobil ini t-idak dikenakan pajak. Kemudahan ini membuat negara rugi sekitar Rp 3,1 tri-liun.
Berbekal izin membuat mobil nasio-nal, Tommy juga mengajukan kredit inves-tasi ke sejumlah bank. Sekitar 16 bank kemudian membentuk konsorsium dan mengucurkan dana US$ 690 juta dari US$ 840 juta yang diajukan Tommy untuk membiayai pabrik Timor di Cikampek, Jawa Barat. Tak ada a-gunan yang disediakan Tommy saat meng-ajukan kredit. Belakangan, sekitar se-paruh kredit itu macet pembayaran-nya. Badan Penyehatan Perbankan Nasio-nal terpaksa mengambil alih utang PT Timor senilai US$ 466 juta.
Sepintas, patgulipat da-lam kasus m-ob-nas cukup jelas, tapi sebenarnya cu-kup sulit menemukan bukti pelanggaran h-u-kum dalam kasus itu. Hal ini diungkapkan oleh Antonius Sujata yang pernah menangani kasus tersebut ketika masih menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. ”Pembuktiannya s-ulit, lebih sulit ketimbang yayasan,” kata-nya. Masalahnya, semua tindakan para pelaku dilindungi oleh beleid pemerintah. ”Jadi, tindakan mereka seperti legal, karena ada dasarnya.”
Pengumpulan bahan dan kete-rangan oleh intelijen Kejaksaan Agung ket-ika itu memang menemukan dugaan pe-langgaran pidana. Hanya penyelidik-an oleh jajaran pidana khusus tak bisa me-nemukan bukti permulaan untuk menentukan tersangka. Saat itu sejumlah orang yang terlibat dalam kasus itu sudah dimintai keterangan, termasuk Soeharto yang diperiksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta pada Desember 1998.
Menurut Anton, kejaksaan sebenar-nya sudah tahu banyak mengenai kasus mobil- nasional. Inpres- mobnas menun-juk se-jum-lah menteri selaku pe-laksa-na-nya. Me-reka ke-mudian me-nen-tu-kan si- pemegang proyek i-ni. ”Penunjukan Tommy Soe-harto dilakukan oleh Men-teri Tungky,” kata Anton.
Kendati begitu, tak gampang me-nyim-pulkan adanya kolusi antara Tungky dan Tommy. Menurut sumber Tempo di Kejaksaan Agung, dulu Tungky meng-aku sudah mencoba menghubu-ngi sejumlah agen tunggal pemegang me-rek (ATPM) mobil, tapi semua menolak. Hanya Tommy dan KIA Motors yang bersedia. Setelah terbit Keppres Nomor 42 Tahun 1996, memang banyak peminat mengajukan diri, tapi pemerintah sudah telanjur menunjuk Tommy.
Kesulitan lain, kini sebagian saksi penting kasus mobnas telah meninggal, termasuk Tungky. Soeharto juga sulit diperiksa karena menderita gangguan otak permanen. Itu sebabnya, bekas Jaksa Agung Marzuki Darusman menilai kasus ini sulit dikembangkan. ”Perlu jaksa yang cakap untuk bisa mengungkap kasus mobnas,” ujar Marzuki, yang dicopot dari jabatannya sebagai Jaksa Agung di tengah-tengah penyelidikan kasus mobnas pada 2001.
Sementara itu, juru bicara Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suartha, yakin kasus mobil nasional bisa dibongkar. ”Kejaksaan punya teknik sendiri. Kalau bisa dibuktikan tanpa kesaksian (Soeharto), itu kan bagus,” katanya. Menurut dia, kejaksaan tak akan setengah-setengah menangani kasus mobnas.
Pengacara Tommy, Elza Syarief, tak mau berkomentar tentang langkah kejaksaan itu. ”Kalau masalah Tommy, no comment dulu. Kita ikuti saja proses hukum,” katanya.
Arif A. Kuswardono, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo