Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA sebulan terakhir, para karyawan Texmaco tak lagi pernah melihat bos mereka, Marimutu Sinivasan. Biasanya, de-ngan Mercedes hitamnya, setiap hari pria keturunan Tamil, India, itu datang ke gedung Sentra Mulia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dari lift di basement, ia ”menclok” ke kantornya di lantai 10. ”Tapi, sudah sebulan ini kami tidak melihat dia,” ujar seorang karyawan Texmaco, Rabu pekan lalu.
Tak hanya karyawan Texmaco, aparat kepolisian pun kini sibuk mencari pria 69 tahun itu. Sejak Selasa pekan lalu, Markas Besar Polri memasukkan pemilik Grup Texmaco itu ke daftar buron—alias daftar pencarian orang (DPO). Polisi juga sudah mengontak Interpol untuk memburu Sinivasan. ”Berbagai cara kita lakukan untuk menangkap dia,” kata juru bicara Polri, Brigjen Anton Bachrul Alam.
Polisi memburu Sinivasan karena peng-usaha itu menjadi tersangka penipuan terhadap Bank Muamalat Indonesia. Pada 1997, sebagai Direktur PT Multikarsa Investama, anak perusahaan Texmaco, Sinivasan mengajukan pinjaman Rp 50 miliar kepada Bank Duta. Dalam proposalnya, kredit itu diguna-kan untuk mengembangkan produk tekstil Texmaco.
Bank Duta hanya sanggup menyediakan Rp 30 miliar. Sisanya, Bank Duta menggandeng Bank Muamalat, yang kemudian mengucurkan Rp 20 miliar. Belakangan, dalam badai krisis moneter, Bank Duta tumbang dan masuk ”pe-rawatan” Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Urusan utang-piutang Multikarsa ke Bank Duta pun diambil alih BPPN.
Tapi, utangnya kepada Bank Mu-ama-lat lain perkara. Bank ini menuntut Si-nivasan segera melunasi utang. Sampai 2001, Sinivasan baru membayar Rp 3,1 miliar. Setelah itu mandek. Bank M-uamalat pun ketar-ketir. Apalagi, Si-nivasan juga berurusan dengan Kejaksaan Agung lantaran kredit macetnya yang total sekitar Rp 29,3 triliun.
Teriakan Bank Muamalat, agar Sini-vasan membayar utangnya, seperti mem-bentur tembok. ”Dia hanya janji-janji,” ujar seorang bankir Bank Muamalat. Merasa dipermainkan, pada Juni tahun lalu Bank Muamalat melaporkan Sini-va-san ke Mabes Polri dengan tuduhan penipuan. Laporan itu dilampiri segepok dokumen perjanjian utang PT Multikarsa Investama kepada Bank Muamalat.
Polisi pun bertindak. Sekitar delapan petinggi Bank Muamalat dimintai ke-terangan oleh Badan Reserse dan Krimi-nal (Bareskrim) Mabes Polri. Dua bulan kemudian, polisi menyatakan Siniva-san tersangka. Pada Agustus itu pula polisi melayangkan panggilan ke Sinivasan untuk menjalani pemeriksaan. Tapi, pengusaha yang pernah dijuluki ”raja tekstil” itu tak datang. Demikian pula dengan panggilan kedua dan ketiga.
Menurut sumber Tempo, Sinivasan tak menggubris panggilan polisi karena merasa dekat dengan sejumlah pejabat dan tokoh penting. ”Dia merasa ada yang membeking,” ujar sumber di kepolisian. Sebagai pengusaha, Sinivasan dikenal akrab dan punya hubungan dekat dengan sejumlah elite. Ia memang dikenal sebagai pengusaha jago lobi.
Ketika Megawati menjadi presiden, misalnya, ia dekat dengan Taufiq Kiemas. Syaifullah Yusuf, tokoh Nahdlatul Ulama yang kini Menteri Pembangun-an Daerah Tertinggal, bahkan pernah menyebut Sinivasan telah mengangkat Taufiq sebagai Komisaris PT Texmaco. Tapi, ketika itu Sinivasan membantah pernyataan Syaifullah.
Pengacara Sinivasan, Mehbob, tak me-nampik kliennya dekat dengan berbagai tokoh politik. Namun, Mehbob menolak jika dikatakan ketidakhadiran Sinivasan memenuhi panggilan polisi lantaran adanya ”orang-orang kuat” itu. ”Dia sakit dan ada di India, itu ada surat dokter dari India,” katanya. Ia juga menolak Sinivasan dituduh melakukan penipuan. ”Kami dizalimi, ini kan masalah utang-piutang,” katanya.
Kendati tak memiliki hubungan eks-tradisi dengan India, sebuah tim Mabes Polri kini bersiap terbang ke India untuk mencari Sinivasan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Hendarman Supandji, juga mendukung upaya penangkapan Sinivasan itu. ”Seharusnya dia me-mang ditahan,” kata Hen-darman. Selain masuk daftar DPO, Sinivasan kini juga dinyatakan sebagai satu dari tiga debitor BLBI yang tidak kooperatif. Dua lainnya adalah Lidya Muhtar (Bank Tamara) dan Agus Anwar (Bank Pelita).
Tapi, benarkah Sinivasan di India? Kepada Tempo, seorang karyawan yang bekerja di sebelah rumah Sinivasan di Jalan Tulungagung, Jakarta Pusat, menyatakan Rabu pekan lalu masih melihat Sinivasan. ”Dia memakai jas hitam dan dasi, berdiri di dekat pohon di pintu gerbang rumahnya,” ujarnya.
Menurut sumber itu, setiap kali per-gi- Si-nivasan selalu diikuti sebuah m-o-bil pengawalnya. ”Itu ciri khasnya,” ujar-nya. Seorang pria yang bekerja di r-umah Sinivasan juga menyatakan kepada Tempo, Kamis pagi pekan lalu, ”bos besar” ada di rumah. Ketika dita-nya apakah bos besar itu Sinivasan, ia balik bertanya. ”Kok tahu?”
Sebaliknya, sejumlah orang dekat Si-nivasan melakukan gerakan tutup mulut. ”Saya tidak tahu, saya tidak bisa berkomentar,” kata Masyhud Ali, mantan Direktur Bank Putra, bank milik Sinivasan, yang kini menjadi Komisaris Texmaco. Ben Sinivasan, salah satu putra Sinivasan, juga memilih meng-hindar. ”Waduh, saya sedang rapat. Nanti saja,” katanya, seraya menutup telepon.
Pengacara Sinivasan, Mehbob, me-nyang-kal keras kliennya ada di Jakarta. Menurut dia, sudah tiga bulan klien-nya berobat di India. Tapi, di rumah sakit mana dan apa penyakit Sinivasan, Mehbob tak menjawab. ”Tidak etis saya memberi tahu soal ini,” katanya.
L.R. Baskoro, Badriah, Lis Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo