KALAU belum ketemu orang mengira saya seperti macan. Tapi,
kalau sudah, ya seperti inilah saya .... " Begitu Kusni Kasdut
pernah mengatakannya. Ia melukiskan dirinya, tahun-tahun
belakangan ini, sebagai seorang yang serba tenang, tertib dan
rapi. Adakah tobatnya diterima Tuhan -- adalah haknya untuk
memanjatkannya. Namun dendam di hati keluarga para korban, juga
korban pembunuhan dan kekejaman lainnya, tetap menuntut hukuman
mati sebagai balasan yang setimpal.
Berikut ini keluarga korban berbicara:
Nyonya M.C. Winarni, 57 tahun, janda Justinus Soetono:
Suaminya, Brig. Pol. Justinus Soetono, ketika itu tengah bekerja
menghadapi mesin tulis. Ia tidak bersenjata. Sehingga ia cuma
berdiri terpaku ketika tiba-tiba Kusni Kasdut muncul di ruangan
kerjanya sambil mengamangkan pistol. Nasibnya malang. Buronan
yang terjebak polisi di Semarang itu langsung menembak ke
arahnya. Soetono roboh. Sebuah peluru menghantam paha, terus
menembus pantatnya. Sebuah yang lain menghunjam perut sebelum
bersarang di dadanya.
Kusni akhirnya memang dapat diringkus. Tapi Soetono tewas hari
itu juga 8 Oktober 1963. Winarni, istrinya, yang juga anggota
polisi berpangkat Agen Pol. I, menyaksikan penderitaan suaminya
meregang jiwa dari jam 11 siang sampai 6 sore. Kedua anaknya
ketika itu masih berumur dua dan setengah tahun, menunggu di
rumah.
Ia kini bisa bercerita. "Saya sangat sesalkan kenapa hukuman
mati itu tidak segera dilaksanakan," katanya tentang nasib Kusni
Kasdut. Ia hampir membanting televisi ketika suatu hari, Natal
1979, menyaksikan wajah ceria Kusni terpampang di sana. "Kalau
ia betul-betul di muka saya," katanya, "pasti saya hantam dia --
Hari Natal kok diberi hadiah begitu!"
Dendam baru lepas dari hati wanita ini bila Kusni Kasdut menebus
dosanya di depan regu tembak. "Saya tidak akan memaafkannya.
Hukuman mati barulah setimpal dengan penderitaan suami saya."
Juga, baginya, seimbang dengan kehilangan dan penderitaannya
sendiri. Walaupun sekarang ia merasa kecukupan hidupnya. Ia
dapat uang pensiun sebagai janda Pembantu Letnan Pol. II
(anumerta) Rp 22.300. Pensiunnya sendiri, sebagai Sersan Mayor,
yang Rp 43.000. Keluarganya tinggal di asrama purnawirawan polri
di Ambarukmo (Yogya). "Tapi siapa yang rela satu-satunya
kesayangannya diambil?"
Kabar tentang eksekusi Kusni Kasdut melegagan hati wanita
beragama Katolik ini. "Sebagai orang yang beragama kini saya
bisa memaafkannya." Tak lupa ia berterimakasih kepada pemerintah
yang pada akhirnya menembak mati Kusni.
Ipi Najib, cucu mendiang Ali Bajened:
Istri almarhum Nyonya Aminah, sepeninggal Ali Bajened kontan
jatuh sakit. Wanita itu menyusul suaminya yang dibunuh dua
minggu kemudian.
Sore itu, 11 Agustus 1953, Aminah menerima telepon dari Bajened
yang minta disiapkan makan malam. Tapi belum lagi setengah jam
telepon berdering lagi dengan berita singkat: "Ali Bajsned
tertembak." Sambungan telepon, entah dari mana datangnya,
langsung diputuskan. Aminah terkesima. Terpukul jiwanya dan
beberapa hari kemudian ia meninggal. Dendamnya diwarisi oleh
anak dan cucunya.
Hukuman mati bagi pembunuh kakeknya, seperti kata Ipi, cukup
setimpal. Boleh merupakan pelajaran bagi penjahat lain. "Kalau
tidak begitu mereka tidak takut." Sebagai ahli keluarga Bajened
tentu saja ia setuju hukuman mati. Tapi ia mengakui: "Mungkin
pendapat saya lain seandainya saya sebagai anak Kusni Kasdut."
M.A. Nasar, ayah dari seorang anak yang diperkosa dan dibunuh.
Suparlan, 40 tahun, memperkosa Mariana (7 tahun), lalu merampok
anting-anting sesudah mencekik leher gadis cilik itu hingga
tewas seketika (TEMPO, 15 Desember 1979). Nasar, ayah si gadis
kecil, masih penasaran.
Ia merasa pada tempatnyalah "menuntut" di mahkamah yang
mengadili Suparlan di Surabaya. Dimintanya agar hakim menerapkan
pasal pembunuhan berencana (KUHP 340) yang mengancam hukuman
mati bagi si pelaku kejahatan.
"Sebagai bapak korban," kata Nasar, "saya berhak mengajukan
tuntutan. Apalagi anak saya matinya tidak wajar. dibunuh secara
keji, ngeri."
Hakim Suradi, tanpa memperlihatkan pertimbangan hukum yang
jelas, ternyata memang "mengabulkan" tuntutannya Suparlan
dijatuhi hukuman mati dalam suatu sidang yang singkat.
Tapi atas anjuran jaksa, Suparlan naik banding. Bagaimana kalau
Pengadilan Tinggi menerima permohonan dan meringankan
hukumannya? "Saya akan umumkan agar Suparlan dibebaskan saja."
Baginya, "kalau ia tidak dihukum mati, sama saja tidak puasnya
kalau ia dibebaskan." Sebagai orang Madura, katanya, ia sudah
cukup dapat mengendalikan amarahnya. "Kalau tidak sudah saya
bunuh sendiri Suparlan."
Hukuman mati baginya masih perlu. Kalau dihapus ia khawatir
tidak mustahil orang akan mencari kepuasan dengan membalas
dendam dengan caranya sendiri. Kata Nasar. "Enak saja, babat
nyawa orang cuma dihukum 10 atau 20 tahun penjara saja . . . "
Siti Maemunah, 35 tahun, suaminya korban pembunuhan di Ancol:
Baginya persoalan sederhana saja: "Suami saya mati dibunuh
orang, saya ingin tahu tampang pembunuhnya, lalu ia juga harus
dihukum mati!"
Belum sebulan lalu suaminya, Subagyo Pramoto (42 tahun),
diketemukan tewas dalam keadaan sengsara. Mukanya babak belur,
nadi lehernya tersayat, terkapar di Ancol (Jakarta) di dalam
taksi Blue Bird yang biasa dibawanya mencari nafkah. Belum
diketahui apa sebenarnya yang terjadi. Mungkin bukan perampokan.
Sebab barang milik korban, seperti jaket, arloji dan uang kontan
Rp 18 ribu, masih utuh.
Sepeninggal sang suami keadaan keluarganya payah. Ia harus
mengurus 5 orang anak almarhum. Yang tertua baru di sekolah
menengah pertama, sedangkan yang kecil masih menyusunya. Anaknya
yang sulung, laki-laki, harus lebih banyak membuang waktu untuk
menjual koran dari pada untuk belajar. Ia sendiri ingin jual
kue. Tapi, untuk sementara, nafkahnya hanya dari menjual
barang-barang peninggalan suaminya.
Yang membuatnya tak enak tidur adalah bayangan tentang cara
suaminya mati: "Mungkin ia menjerit-jerit, menggelepar seperti
ayam dipotong, atau . . . " Dendamnya tak membutuhkan diskusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini