HENKY Tupanwael rupanya tak termasuk golongan HATI. Ia
berhadapan dengan regu tembak sebulan sebelum Kusni Kasdut. Tapi
ia tak menolak ditembak. "Hukuman mati terhadap saya, saya kira
efeknya positif, biar penjahat takut dan bertobat," katanya.
Kata-kata terakhir Henky kepada keluarganya tersebut juga
tercermin pada sikap sebagian ahli kriminologi hukuman mati bisa
berarti prevensi umum usaha pencegahan kejahatan. Namun
efektifkah? Itulah bahan perdebatan pro & kontra hukuman mati
sejak ratusan tahun lalu hingga kini.
Di Negeri Belanda, setelah melalui debat panjang sejak 1854,
orang telah menghapuskan hukuman mati mulai 1970. Tapi di
negara jajahannya di Indonesia, para ahli hukum baru
mempersoalkan perlu dan tidaknya ancaman hukuman mati pada awal
1900-an. Hasilnya: pidana mati menjadi bentuk hukuman terberat
yang tercantum dalam undang-undang hukum pidana yang sekarang
disebut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Pertimbangannya macam-macam. Menurut penelitian Dr. Sahetapy,
ahli hukum dari Fak. Hukum Univ. Airlangga (dalam tesisnya yang
berjudul AJcaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana
1978), alasan berkisar sekitar kecurigaan rasial. Pribumi,
menurut anggapan mereka, tidak bisa dipercaya. Kesaksiannya
palsu. Kata salah seorang ahli waktu itu: kesaksian palsu orang
sini didasarkan pada sifatnya, pembohong jadi perlu didor.
Hukuman mati diperlukan juga demi alasan ketertiban umum.
Seolah-olah, bagi penguasa kolonial, tidak ada kemampuan untuk
bertindak di sini tanpa undang-undang yang keras sebagai dasar.
Sebab bukankah negara jajahan itu selalu dalam keadaan "kritis"
dan "berbahaya"?
Dua pertimbangan di atas, alasan rasial dan ketertiban umum,
memang tak terelakkan selama hukum pidana dilihat sebagai suatu
sarana politik. Tapi bagaimana alasan berdasar hukum pidana dan
kriminologi?
Yang pro berpendapat, antara lain bahwa pidana mati menjamin
masyarakat akan terlindungi dari kejahatan berat yang mungkin
diulang-lakukan lagi oleh penjahat yang sama. Hukuman mati
boleh merupakan usaha penindakan, agar ketenteraman masyarakat
terjamin. Sekaligus juga pencegahan agar calon penjahat jeri.
Apalagi bila eksekusi, pelaksanaan hukumannya, dilakukan di muka
umum.
Yang anti hukuman mati, para abolisionis, pertama-tama tak
menganggap pidana mati sebagai suatu penghukuman. Apalagi bila
penghukuman itu bermaksud memperbaiki perikehidupan seseorang
penjahat. Mana jalan bertobat bagi orang yang sudah mati? Bila
si terpidana sudah mati, maka tertutuplah kemungkinan baginya
untuk menikmati hak sebagai orang yang tak bersalah bila
ternyata hakim keliru menghukum.
Masih banyak lagi alasan yang bisa dikemukakan. Namun,
kenyataannya, hukuman mati oleh Belanda dianggap masih layak
bagi pribumi. Angka-angka pidana mati dari koloniaal verslag,
yang dikutip Sahetapy dari salah seorang ahli hukum waktu itu,
menggambarkan hal itu.
Pada 1896 s/d 1904 ada 149 orang ,ribumi yang dikenai hukuman
mati. Berikutnya, 1905 s/d 1908, lebih hebat lagi: 142 orang.
Jadi rata-rata hampir setiap minggu ada orang dihukum mati. Dari
sekian itu hanya 55 orang yang mendapat pengampunan dari
Gubernur Jenderal. Selebihnya, 87 orang, benar-benar harus
bergiliran mati, rata-rata setiap 12 hari.
Di "zaman normal", 1930 - 1937, hakim terhitung jarang
menjatuhkan hukuman mati. Terbukti hanya ada 16 orang yang kena.
Namun dalam periode tiga tahun sebelumnya, yang disebut zaman
kurang tenteram", ternyata ada 44 orang pribumi yang dipidana
mati.
Sebagian dari mereka (50%) akhirnya memang mendapat pengampunan
penguasa kolonial. Pertimbangan Gubernur Jenderal, yang rupanya
aktif mempertimbangkan grasi walaupun tidak diminta si terpidana
ialah, "demi ketertiban umum", yang berkenaan dengan kelangsungan
penjajahan.
Sesudah Perang Dunia II, kecuali untuk kasus kejahatan militer
dan politik, menurut Sahetapy, "penjatuhan hukuman mati bukan
saja berkurang, malahan merupakan perkecualian."
Pun setelah proklamasi kemerdekaan. Padahal KUHP mencamtumkan
tidak kurang 9 jenis kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.
Mulai dari kejahatan makar (membunuh presiden atau wakilnya),
pengkhianatan dalam peperangan, pembunuhan berencana, pencurian
dengan kekerasan (yang menimbulkan korban jiwa) sampai dengan
pembajakan di laut dan di udara.
Di samping itu hukuman mati juga tertera dalam
perundang-undangan lain, di luar KUHP. Ia diancamkan untuk
berbagai jenis kejahatan yang dianggap baru muncul setelah
Indonesia merdeka. Misalnya dikenakan pada kejahatan yang
membahayakan perlengkapan sandang pangan (1959), tindak pidana
ekonomi (1959), pemberantasan kegiatan subversi (1963), bahkan
pernah juga bagi penarik cek kosong (1964). Terakhir, untuk
menanggulangi kejahatan narkotik (1976).
Namun begitu banyakkah orang yang sudah ditembak Angka hukuman
mati dan eksekusinya bagi kejahatan militer dan politik masih
perlu dikumpulkan. Di rumah penjara umum, menurut Sekretaris
Ditjen Pemasyarakatan Drs. Soegondo, tersimpan 35 orang
terpidana mati eks. G.30.S./PKI (misalnya Sujono, Sam
Kamaruzaman, Sukatno). Berapa yang sudah menjalani hukuman mati
tak jelas benar.
Sedangkan terpidana mati eks pasal-pasal KUHP, menurut Soegondo,
cuma tinggal 5 orang pembunuh yang menunggu keputusan grasi.
Tadinya delapan. Tapi Oesin Baftari, Henky dan Kusni Kasdut
sudah mendahului mereka.
Sejak proklamasi kemerdekaan, hampir 35 tahun, memang baru
merekalah yang menjalani hukuman mati sebagai penjahat yang
melakukan pembunuhan berencana. Lima orang yang menunggu grasi
-- namanya tidak diungkapkan oleh yang berwajib --mungkin akan
menyusul. Mungkin pula tidak. Sebab Presiden Soeharto pernah
mengampuni Liem Koe Nio (1978). Orang ini, hukumannya diperingan
menjadi pidana penjara seumur hidup. Oleh pengadilan di Surabaya
ia sebelumnya dianggap bersalah melakukan kejahatan subversi
dalam sistem "ekonomi terpimpin" zaman Bung Karno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini