Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Warisi, tanpa diskusi

Pelaksanaan hukuman mati menjadi bahan perdebatan. di negeri belanda hukaman mati sudah dihapus, tapi di indonesia hukuman mati tetap berlaku. (hk)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENKY Tupanwael rupanya tak termasuk golongan HATI. Ia berhadapan dengan regu tembak sebulan sebelum Kusni Kasdut. Tapi ia tak menolak ditembak. "Hukuman mati terhadap saya, saya kira efeknya positif, biar penjahat takut dan bertobat," katanya. Kata-kata terakhir Henky kepada keluarganya tersebut juga tercermin pada sikap sebagian ahli kriminologi hukuman mati bisa berarti prevensi umum usaha pencegahan kejahatan. Namun efektifkah? Itulah bahan perdebatan pro & kontra hukuman mati sejak ratusan tahun lalu hingga kini. Di Negeri Belanda, setelah melalui debat panjang sejak 1854, orang telah menghapuskan hukuman mati mulai 1970. Tapi di negara jajahannya di Indonesia, para ahli hukum baru mempersoalkan perlu dan tidaknya ancaman hukuman mati pada awal 1900-an. Hasilnya: pidana mati menjadi bentuk hukuman terberat yang tercantum dalam undang-undang hukum pidana yang sekarang disebut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pertimbangannya macam-macam. Menurut penelitian Dr. Sahetapy, ahli hukum dari Fak. Hukum Univ. Airlangga (dalam tesisnya yang berjudul AJcaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana 1978), alasan berkisar sekitar kecurigaan rasial. Pribumi, menurut anggapan mereka, tidak bisa dipercaya. Kesaksiannya palsu. Kata salah seorang ahli waktu itu: kesaksian palsu orang sini didasarkan pada sifatnya, pembohong jadi perlu didor. Hukuman mati diperlukan juga demi alasan ketertiban umum. Seolah-olah, bagi penguasa kolonial, tidak ada kemampuan untuk bertindak di sini tanpa undang-undang yang keras sebagai dasar. Sebab bukankah negara jajahan itu selalu dalam keadaan "kritis" dan "berbahaya"? Dua pertimbangan di atas, alasan rasial dan ketertiban umum, memang tak terelakkan selama hukum pidana dilihat sebagai suatu sarana politik. Tapi bagaimana alasan berdasar hukum pidana dan kriminologi? Yang pro berpendapat, antara lain bahwa pidana mati menjamin masyarakat akan terlindungi dari kejahatan berat yang mungkin diulang-lakukan lagi oleh penjahat yang sama. Hukuman mati boleh merupakan usaha penindakan, agar ketenteraman masyarakat terjamin. Sekaligus juga pencegahan agar calon penjahat jeri. Apalagi bila eksekusi, pelaksanaan hukumannya, dilakukan di muka umum. Yang anti hukuman mati, para abolisionis, pertama-tama tak menganggap pidana mati sebagai suatu penghukuman. Apalagi bila penghukuman itu bermaksud memperbaiki perikehidupan seseorang penjahat. Mana jalan bertobat bagi orang yang sudah mati? Bila si terpidana sudah mati, maka tertutuplah kemungkinan baginya untuk menikmati hak sebagai orang yang tak bersalah bila ternyata hakim keliru menghukum. Masih banyak lagi alasan yang bisa dikemukakan. Namun, kenyataannya, hukuman mati oleh Belanda dianggap masih layak bagi pribumi. Angka-angka pidana mati dari koloniaal verslag, yang dikutip Sahetapy dari salah seorang ahli hukum waktu itu, menggambarkan hal itu. Pada 1896 s/d 1904 ada 149 orang ,ribumi yang dikenai hukuman mati. Berikutnya, 1905 s/d 1908, lebih hebat lagi: 142 orang. Jadi rata-rata hampir setiap minggu ada orang dihukum mati. Dari sekian itu hanya 55 orang yang mendapat pengampunan dari Gubernur Jenderal. Selebihnya, 87 orang, benar-benar harus bergiliran mati, rata-rata setiap 12 hari. Di "zaman normal", 1930 - 1937, hakim terhitung jarang menjatuhkan hukuman mati. Terbukti hanya ada 16 orang yang kena. Namun dalam periode tiga tahun sebelumnya, yang disebut zaman kurang tenteram", ternyata ada 44 orang pribumi yang dipidana mati. Sebagian dari mereka (50%) akhirnya memang mendapat pengampunan penguasa kolonial. Pertimbangan Gubernur Jenderal, yang rupanya aktif mempertimbangkan grasi walaupun tidak diminta si terpidana ialah, "demi ketertiban umum", yang berkenaan dengan kelangsungan penjajahan. Sesudah Perang Dunia II, kecuali untuk kasus kejahatan militer dan politik, menurut Sahetapy, "penjatuhan hukuman mati bukan saja berkurang, malahan merupakan perkecualian." Pun setelah proklamasi kemerdekaan. Padahal KUHP mencamtumkan tidak kurang 9 jenis kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Mulai dari kejahatan makar (membunuh presiden atau wakilnya), pengkhianatan dalam peperangan, pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan (yang menimbulkan korban jiwa) sampai dengan pembajakan di laut dan di udara. Di samping itu hukuman mati juga tertera dalam perundang-undangan lain, di luar KUHP. Ia diancamkan untuk berbagai jenis kejahatan yang dianggap baru muncul setelah Indonesia merdeka. Misalnya dikenakan pada kejahatan yang membahayakan perlengkapan sandang pangan (1959), tindak pidana ekonomi (1959), pemberantasan kegiatan subversi (1963), bahkan pernah juga bagi penarik cek kosong (1964). Terakhir, untuk menanggulangi kejahatan narkotik (1976). Namun begitu banyakkah orang yang sudah ditembak Angka hukuman mati dan eksekusinya bagi kejahatan militer dan politik masih perlu dikumpulkan. Di rumah penjara umum, menurut Sekretaris Ditjen Pemasyarakatan Drs. Soegondo, tersimpan 35 orang terpidana mati eks. G.30.S./PKI (misalnya Sujono, Sam Kamaruzaman, Sukatno). Berapa yang sudah menjalani hukuman mati tak jelas benar. Sedangkan terpidana mati eks pasal-pasal KUHP, menurut Soegondo, cuma tinggal 5 orang pembunuh yang menunggu keputusan grasi. Tadinya delapan. Tapi Oesin Baftari, Henky dan Kusni Kasdut sudah mendahului mereka. Sejak proklamasi kemerdekaan, hampir 35 tahun, memang baru merekalah yang menjalani hukuman mati sebagai penjahat yang melakukan pembunuhan berencana. Lima orang yang menunggu grasi -- namanya tidak diungkapkan oleh yang berwajib --mungkin akan menyusul. Mungkin pula tidak. Sebab Presiden Soeharto pernah mengampuni Liem Koe Nio (1978). Orang ini, hukumannya diperingan menjadi pidana penjara seumur hidup. Oleh pengadilan di Surabaya ia sebelumnya dianggap bersalah melakukan kejahatan subversi dalam sistem "ekonomi terpimpin" zaman Bung Karno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus