SETUJUKAH Kusni Kasdut terhadap hukuman mati? "Saya ini orang
kecil," seperti katanya dalam wawancara terakhir dengan TEMPO
bulan lalu, "biarlah bapak-bapak ahli hukum yang menilai."
Tapi tentu saja soal begini bukan cuma urusan ahli hukum.
TEMPO dengan berpedoman begitu, mengedarkan angket di Jakarta,
Medan, Denpasar, Padang, Surabaya, Madiun, Yogyakarta,
Semarang dan Bandung. Pertanyaan dibuat sederhana. Yang ingin
diketahui ialah sikap masyarakat tentang ancaman hukuman mati
bagi tiga jenis kejahatan subversi, korupsi dan pembunuhan yang
direncanakan.
Angket tersebut dijawab oleh 353 orang dari berbagai kalangan.
Tercatat responden dari berbagai profesi: ada anggota ABRI,
wartawan, peragawati, tukang becak, jaksa, hakim, pengacara,
seniman, dokter, dosen maupun pedagang.
Hasilnya lumayan menarik. Misalnya 12% tidak setuju hukuman
mati, 19% setuju dan 61% setuju untuk salah satu atau dua dari
jenis kejahatan subversi, korupsi dan pembunuhan berencana.
Selebihnya tidak memberi jawaban yang jelas. Ada juga yang takut
menjawab.
Alasan bisa sungguh cerdas. Seorang peragawati di Jakarta,
misalnya, tidak setuju hukuman mati bagi suatu kejahatan
subversi. Soalnya, katanya, "jarang ada penguasa yang
betul-betul berhasil membina negara dengan baik." Ia setuju
hukuman begitu dikenakan bagi pembunuh. Bagaimana dengan
koruptor? Wah, "terlalu banyak yang mesti mati -- nanti negara
kosong."
Banyak yang setuju hukuman bagi kejahatan pembunuhan berencana
dengan alasan "bunuh balas bunuh", "setimpal" dan "agar
kejahatan tidak terulang dan masyarakat tenteram." Itu didukung
kalangan mahasiswa. Dari 68 mahasiswa 72% setuju dan 23% tidak.
Tapi seorang tukang beca tidak peduli: "Itu bukan urusan saya --
lebih penting urusan perut."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini