DI atas makamnya kelak hanya akan tertulis: Ignatius Waluyo.
Nama hitamnya, Kusni Kasdut, telah lama dinyatakannya sendiri
habis. Yang hendak ditinggalkan hanyalah nama baptis.
Itu adalah semacam simbul dia bukan manusia yang dulu pernah
mengumbar kejahatan dengan tidak semena-mena, tapi seorang biasa
yang mati dalam iman. Dan ia tidak bergurau, di muka rumah
penjara Kalisosok sebelum berangkat ke tempat eksekusi, ketika
ia berkata. "Semoga dalam perjalanan terakhir saya ini tidak
ketemu setan . . . Haleluya . . . Haleluya . . . !"
Tiga buah peluru tepat mengenai jantungnya dan lima yang lain di
sekitar perutnya. Tugas 12 orang dari regu tembak polisi pagi
itu, 6 Februari sekitar jam 04.35, selesai sudah: Kusni Kasdut,
52 tahun dinyatakan telah menjalani hukuman ditembak sampai
mati. Waktu itu di langit bersinar tigaperempat rembulan malam
ke-18. Di cakrawala sebelah utara nampak pijar-pijar kilat yang
tak berbunyi.
Nasib Kusni telah ditentukan, sejak Presiden Soeharto menolak
permohonan grasinya 10 November tahun lalu. Ada memang jasanya
dalam perjuangan 1945. Kelakuannya juga baik sebagai narapidana
teladan di Cipinang. Dan ia sendiri berharap dapat pengampunan.
Tapi hukuman bagi kejahatan yang pernah dibuatnya memang,
seperti katanya sendiri, sudah tidak tertanggungkan lagi.
Ia dipidana mati bagi kejahatannya membunuh anggota polisi di
Semarang. Ia dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali
Bajened. Ia divonis 12 tahun penjara untuk lakonnya memimpin
perampokan berlian di Museum Pusat. Dan ia diganjar 5« tahun
untuk kejahatannya -- yang pertama -- menculik seorang dokter.
Selama sebagai "orang rantai", narapidana, Kusni juga sudah 8
kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya
tiga kali ia gagal.
Demikianlah awal bulan ini, Kusni Kasdut dipanggil dari sel ke-5
blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya) untuk diberitahu tentang
penolakan grasinya oleh Presiden. Tak ada yang bisa meraba apa
yang ada dalam pikirannya. Tapi petugas penjara melihat ia
kembali ke selnya dengan langkah yang biasa-biasa saja. Tidak
kaget? Kecewa? Mungkin. Sebelumnya Kusni sudah juga diberitahu:
akhir hidupnya ditentukan pemerintah paling lama liga hari lagi.
Upaya hukum, seperti "amnesti" yang masih diharapkannya, tentu
saja tak mungkin bisa diperolehnya.
Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya.
Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim
eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni
Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik
dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami
Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang
terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya
orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan.
Kusni, kemudian, memeluk Ninik. "Saya sebenarnya sudah tobat
total sejak 1976," katanya, seperti direkam seorang
pendengarnya. "Situasilah yang membuat ayah jadi begini.
Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada
Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain
menangis. "Diamlah," lanjut ayahnya, "Ninik 'kan sudah tahu,
ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat
bagi ayah. Maafkanlah ayah." Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai
mengantuk.
Kusni banyak berpesan, misalnya agar keluarganya saling
mengunjungi. Ia juga minta kerelaan Edi, menantunya, agar
menyekolahkan Eka dan Vera di sekolah Katolik. "Syukur kalau
salah scorang di antaranya bisa ada yang jadi biarawati."
Lalu acara pemakaman juga dibicarakan. Mereka sepakat mengajukan
permohonan agar jenazah dikuburkan di Probolinggo (Jawa Timur).
Di saat terakhir Kusni menyerahkan sebuah bungkusan coklat
kepada Bambang. Isinya sepotong kemeja safari, hem lengan
panjang dan dua buah celana panjang. Pesan penghabisan
sederhana, seperti urusan bisnis agar honor dari penerbit
Gramedia, untuk riwayat hidup yang dibukukan oleh pengarang
Parakitri, agar diurus. Itu, kata Kusni, "merupakan persembahan
terakhir bapak kepada anak-cucu." Lalu keluarga itu berpisah.
Di malam menjelang ajal, Kusni hanya duduk dekat terali besi,
merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sekali-kali
bersembahyang. Ketika tim eksekutor menjemputnya, sekitar jam
03.00, Kusni masih tetap jaga. Ia menolak mandi pagi. Setelah
menyalami petugas yang selama ini mengurusnya, Kusni pun diiring
meninggalkan selnya.
Di muka penjara menunggu dua orang polisi: Kol. Pol. Harsono dan
Mayor Pol. Sujono. Mereka adalah petugas yang menangkapnya
setelah sebulan melarikan diri dari penjara Lowokwaru di Malang.
Mereka memeluk dan mencium Kusni. Lalu dua buah mobil polisi pun
memimpin iring-iringan 17 mobil meninggalkan Kalisosok.
Banyak yang menyangka hukuman mati bagi Kusni Kasdut akan
dilaksanakan di Pantai Kenjeran sebelah timur kota. Ternyata
rombongan menuju barat laut. Di sekitar 8 km sebelum Gresik,
iringan berhenti. Rombongan turun dari kendaraan dan berjalan
kaki menuruti pematang-pematang tambak, untuk mencapai tanah
yang agak datar berpohon rimbun dekat Selat Kamal.
Di situ, segala sesuatunya telah siap. Kusni terpancang di
sebuah tiang dengan sehelai kain menutupi mukanya. Romo Tandyo
Sukmono membimbingnya berdoa. Lalu "Amin". Dan peluru
menggelegar. Tuhan, selesai sudah.
Tapi adakah segalanya jadi selesai? Banyak yang berharap
pelaksanaan hukuman mati tak akan terjadi lagi setelah
sebelumnya berturut-turut Oesin Baftari dan Henky. Beberapa hari
sebelum Kusni Kasdut berhadapan dengan regu tembak, di Jakarta
muncul sekelompok orang berkaus dengan tulisan "Hapus Hukuman
Mati". Mereka menyebut diri Kelompok HATI. Hukuman mati, menurut
kelompok ini, tampak "telah meruntuhkan nilai-nilai
kemanusiaan". Bentuk pidana demikian, kata mereka telah merampas
hak paling dasar bagi manusia, "yakni hak untuk hidup." Pidana
mati meniadakan kemungkinan bertobat, padahal hukuman adalah
proses untuk mendidik dan memperbaiki kehidupan si terpidana.
HATI, yang terdiri dari, antara lain, Mochtar Lubis (budayawan),
Nani Razak (advokat dan bekas pembela Kusni Kasdut), Marianne
Katoppo (sastrawan), T. Mulia Lubis dan A. Rahman Saleh (dari
LBH DKI), mengulang kembali argumen yang terkenal yang menentang
hukuman mati banyak lagi sejauh manakah hukuman mati akan
sungguh-sungguh berguna untuk menangkal terulangnya suatu
kejahatan? Sejumlah studi kriminologi mereka ketengahkan: tidak
ada hubungannya antara angka kejahatan dengan hukuman mati.
Hukuman itu dengan kata lain sia-sia, meskipun HATI mengakui
bahwa studi perkara itu di Indonesia belum pernah dilakukan
secara layak.
Suara HATI toh didengar oleh Menteri Kehakiman Moedjono SH.
Menteri, seperti dikatakan Mulia Lubis, bisa menyetujui
penghapusan hukuman mati bagi kejahatan seperti pembunuhan
berencana. Namun bagi kejahatan lain, yang "membahayakan
Pancasila, keamanan negara atau Kepala Negara," Menteri
berpendapat hukuman mati masih sangat diperlukan.
Tapi Adam Malik, Wakil Presiden, lain dari yang lain. Ia ikut
berkaus HATI. Sikapnya, menurut Mulia Lubis, sangat jelas anti
hukuman mati bagi semua jenis kejahatan. Adam Malik, sesaat
sebelum sidang kabinet pada hari Kusni Kasdut ditembak, bahkan
menyatakan: "Hukuman mati tak perlu dilaksanakan di Indonesia."
Sebab, katanya, "negara ini hidup dalam peradaban yang maju."
Sebagai contoh dijanjikannya: hukuman mati bagi Subandrio tidak
akan dilaksanakan.
Tentulah jangan diharap, pendapat itu sudah merupakan pendapat
resmi pemerintah. Sebab Jaksa Agung Ali Said, selesai rapat
dengan Komisi III DPR minggu lalu, menyatakan ancaman hukuman
mati masih perlu dicantumkan dalam undang-undang. Pandangannya
terhadap hukuman mati, katanya, sudah jelas: "Setidak-tidaknya
saya pernah satu kali menjatuhkan hukuman mati, yaitu ketika
saya mengadili perkara G.30 S./PKI Nyono."
Begitu juga pendapat Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Soal
pengetrapan ancaman hukuman mati, katanya, sepenuhnya tergantung
penilaian dan kebijaksanaan hakim yang mengadilinya. Namun,
katanya, ancamannya itu sendiri masih perlu tercantum dalam
undang-undang. "Untuk membuat penjahat takut," katanya di Bina
Graha -- tak jauh dari tempat Adam Malik berdiri.
Tapi diskusi tak berhenti di situ. Muncullah kelompk yang
menamakan diri "Pahama", atau Pembela Hukuman Mati. Kelompok
yang terakhir ini juga menemui Menteri Kehakiman dengan membawa
alasan Kitab-kitab suci berbagai agama mengisyaratkan dengan
tegas izin bagi manusla untuk mempergunakan pidana mati sebagai
bentuk penghukuman terberat. Hukuman mati, seperti kata Hidayat
Achyar dari Pahama, "adalah hukuman yang berasal dari Tuhan Yang
Maha Adil."
Rupanya dalam soal begini Tuhan memang harus disebut-sebut, baik
oleh pro-HATI maupun anti-HATI. Juga oleh Kusni Kasdut -- juga
oleh Henky, yang ditembak dalam waktu begitu berdekatan.
BOKS
H.M. Syukri, 73 tahun, Ketua II Majelis Ulama Indonesia:
Hukuman mati, katanya, dibenarkan oleh Islam bagi kejahatan
mencabut nyawa sesamanya -- bila keluarga korban tidak
memaafkannya, memerangi Allah dan utusannya, dan berzina, bagi
orang yang sudah beristri atau bersuami. "Ancaman hukuman yang
keras," katanya, "tak lain demi terpeliharanya ketertiban
masyarakat."
Yap Thiam Hien, pengacara
"Saya gembira kalau hukuman mati dikeluarkan dari semua
undang-undang baik KUHP maupun pidana khusus." Allah katanya
melarang membunuh manusia. Dan hukuman mati "tidak lain
pembunuhan yang dilegalisir."
Pemidanaan, menurut falsafah hukum modern, tidak untuk membalas
dendam. Tapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak.
"Kalau sudah mati tidak lagi bisa tobat -- itu tidak sesuai
dengan kehendak Tuhan."
Hukuman mati hanya menunjukkan ketidak-mampuan mendidik
narapidana.
Prof Sudarto, 57 tahun, Rektor Univ. Diponegoro (Semarang),
Gurubesar Hukum Pidana dan bekas pembela Kusni Kasdut: Ia tak
setuju hukuman mati. "Alasan pokoknya," katanya, "manusia tak
berhak mencabut nyawa orang lain. "Apalagi bila diingat hakim
bisa salah menjatuhkan hukuman. Tidak benar hukuman mati
diperlukan untuk menakut-nakuti agar orang tidak berbuat jahat.
"Nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman."
Bambang Poernomo, 44 tahun, Dosen Hukum Pidana/Hukum Acara
Pidana Fak. Hukum Univ. Gajah Mada (Yogya):
Untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras
seperti halnya dengan hukuman mati. Penerapannya yang harus
hati-hati. Terhadap kejahatan makar, korupsi atau penyelundupan
misalnya. Juga kejahatan terhadap individu "yang dilakukan
secara bengis."
Suparto H.S., 56 tahun, Ketua Perwalian Umat Budha Indonesia:
Orang Budha tak akan kaget kalau ada orang dihukum mati. "Saya
melihat sebagai suatu hal yang semestinya karena ada perbuatan
yang sudah dilakukannya."
R. Said Sukanto, 72 tahun, tokoh aliran kepercayaan dan bekas
Kapolri:
Hukuman mati boleh ditiadakan, tapi nanti, "sekarang masih
terlalu pagi." Kondisi di sini belum baik. Kriminalitas sudah
berubah jadi teror. Lembaga pemasyarakatan masih seperti
penjara. "Apa keluar dari sana sudah menjadi orang baik? Sudah
disurvei?"
Prof. Mahadi, 68 tahun Gurubesar luarbiasa di Fak. Hukum USU
(Medan), bekas Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara:
"Satu saat kita butuh senjata terhadap orang yang memang
betul-betul tidak bisa diperbaiki lagi. "Bila kejahatan sudah
dilakukan berulang-ulang -- entah itu subversi, manipulasi atau
pembunuhan -- perlu hukuman mati. Titik
Pramoedya Ananta Toer, 50 tahun, pengarang:
"Setiap ada kejadian hukuman mati saya menyesal," katanya,
"sebab jiwa manusia paling berharga." Ia tidak setuju hukuman
mati. "Pikiran manusia terbatas Karena terbatasnya kesalahan
(bagi hakim) menjadi mungkin."
Pidana penjara sudah berat sekali sebagai hukuman. Ia sudah
mengalaminya, jadi "lebih merasakan". Bahkan, lanjutnya,
menunggu hukuman itu sendiri sudah dirasakan sebagai hukuman.
Dr. Franz Magnis Suseno, 43 tahun, rohaniawan Katolik:
Gereja Katolik menentang hukuman mati. Tidak sesuai dengan
martabat manusia dan semanaat Injil. "Secara definitif
mengakhiri riwayat orang lain itu sama sekali tidak dibenarkan."
Hukuman mati, katanya, timbul dari "rasa balas dendam yang
dicarikan rumusan formal yang dituangkan dalam suatu
undang-undang."
Di Indonesia masih lebih baik dibanding negara lain. "Meskipun
di sini ada hukuman mati, saya menilai, pemerintah sangat
sedikit melaksanakannya."
T.B. Simatupang, 60 tahun, Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI):
Ia senang seandainya, dengan pertimbangan "sudah masanya",
hukuman mati dicabut dari undang-undang. Tapi, soalnya, "hukuman
tersebut adalah alat untuk menjaga ketenteraman masyarakat."
Hukuman mati harus dibicarakan dari segi kepentingan masyarakat.
Seperti halnya pembunuhan dalam perang. Masyarakat juga harus
mempertahankan diri.
Drs. I.B. Oka Puniatmaja, Ketua Parisada Hindu Dharma, Anggota
DPR dan Dosen Univ. Udayana (Bali):
Kejahatan membunuh, mengambil harta dan memperkosa boleh dibalas
dengan mencabut nyawa pelakunya. Orang yang mengambil nyawa
orang yang bersalah tidak berdosa. "Itulah hukum keadilan dalam
agama Hindu." Nyawa orang yang melakukan kejahatan seperti di
atas dianggap tidak berharga lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini