Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perjamuan Terakhir Ignatius Waluyo

Pelaksanaan hukuman mati bagi kusni kasdut, ia sudah rela & sebelumnya mengadakan jamuan makan dengan keluarga ada yang pro & kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati. (hk)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI atas makamnya kelak hanya akan tertulis: Ignatius Waluyo. Nama hitamnya, Kusni Kasdut, telah lama dinyatakannya sendiri habis. Yang hendak ditinggalkan hanyalah nama baptis. Itu adalah semacam simbul dia bukan manusia yang dulu pernah mengumbar kejahatan dengan tidak semena-mena, tapi seorang biasa yang mati dalam iman. Dan ia tidak bergurau, di muka rumah penjara Kalisosok sebelum berangkat ke tempat eksekusi, ketika ia berkata. "Semoga dalam perjalanan terakhir saya ini tidak ketemu setan . . . Haleluya . . . Haleluya . . . !" Tiga buah peluru tepat mengenai jantungnya dan lima yang lain di sekitar perutnya. Tugas 12 orang dari regu tembak polisi pagi itu, 6 Februari sekitar jam 04.35, selesai sudah: Kusni Kasdut, 52 tahun dinyatakan telah menjalani hukuman ditembak sampai mati. Waktu itu di langit bersinar tigaperempat rembulan malam ke-18. Di cakrawala sebelah utara nampak pijar-pijar kilat yang tak berbunyi. Nasib Kusni telah ditentukan, sejak Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya 10 November tahun lalu. Ada memang jasanya dalam perjuangan 1945. Kelakuannya juga baik sebagai narapidana teladan di Cipinang. Dan ia sendiri berharap dapat pengampunan. Tapi hukuman bagi kejahatan yang pernah dibuatnya memang, seperti katanya sendiri, sudah tidak tertanggungkan lagi. Ia dipidana mati bagi kejahatannya membunuh anggota polisi di Semarang. Ia dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali Bajened. Ia divonis 12 tahun penjara untuk lakonnya memimpin perampokan berlian di Museum Pusat. Dan ia diganjar 5« tahun untuk kejahatannya -- yang pertama -- menculik seorang dokter. Selama sebagai "orang rantai", narapidana, Kusni juga sudah 8 kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya tiga kali ia gagal. Demikianlah awal bulan ini, Kusni Kasdut dipanggil dari sel ke-5 blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya) untuk diberitahu tentang penolakan grasinya oleh Presiden. Tak ada yang bisa meraba apa yang ada dalam pikirannya. Tapi petugas penjara melihat ia kembali ke selnya dengan langkah yang biasa-biasa saja. Tidak kaget? Kecewa? Mungkin. Sebelumnya Kusni sudah juga diberitahu: akhir hidupnya ditentukan pemerintah paling lama liga hari lagi. Upaya hukum, seperti "amnesti" yang masih diharapkannya, tentu saja tak mungkin bisa diperolehnya. Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya. Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan. Kusni, kemudian, memeluk Ninik. "Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976," katanya, seperti direkam seorang pendengarnya. "Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Ninik dan yang lain menangis. "Diamlah," lanjut ayahnya, "Ninik 'kan sudah tahu, ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah." Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai mengantuk. Kusni banyak berpesan, misalnya agar keluarganya saling mengunjungi. Ia juga minta kerelaan Edi, menantunya, agar menyekolahkan Eka dan Vera di sekolah Katolik. "Syukur kalau salah scorang di antaranya bisa ada yang jadi biarawati." Lalu acara pemakaman juga dibicarakan. Mereka sepakat mengajukan permohonan agar jenazah dikuburkan di Probolinggo (Jawa Timur). Di saat terakhir Kusni menyerahkan sebuah bungkusan coklat kepada Bambang. Isinya sepotong kemeja safari, hem lengan panjang dan dua buah celana panjang. Pesan penghabisan sederhana, seperti urusan bisnis agar honor dari penerbit Gramedia, untuk riwayat hidup yang dibukukan oleh pengarang Parakitri, agar diurus. Itu, kata Kusni, "merupakan persembahan terakhir bapak kepada anak-cucu." Lalu keluarga itu berpisah. Di malam menjelang ajal, Kusni hanya duduk dekat terali besi, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sekali-kali bersembahyang. Ketika tim eksekutor menjemputnya, sekitar jam 03.00, Kusni masih tetap jaga. Ia menolak mandi pagi. Setelah menyalami petugas yang selama ini mengurusnya, Kusni pun diiring meninggalkan selnya. Di muka penjara menunggu dua orang polisi: Kol. Pol. Harsono dan Mayor Pol. Sujono. Mereka adalah petugas yang menangkapnya setelah sebulan melarikan diri dari penjara Lowokwaru di Malang. Mereka memeluk dan mencium Kusni. Lalu dua buah mobil polisi pun memimpin iring-iringan 17 mobil meninggalkan Kalisosok. Banyak yang menyangka hukuman mati bagi Kusni Kasdut akan dilaksanakan di Pantai Kenjeran sebelah timur kota. Ternyata rombongan menuju barat laut. Di sekitar 8 km sebelum Gresik, iringan berhenti. Rombongan turun dari kendaraan dan berjalan kaki menuruti pematang-pematang tambak, untuk mencapai tanah yang agak datar berpohon rimbun dekat Selat Kamal. Di situ, segala sesuatunya telah siap. Kusni terpancang di sebuah tiang dengan sehelai kain menutupi mukanya. Romo Tandyo Sukmono membimbingnya berdoa. Lalu "Amin". Dan peluru menggelegar. Tuhan, selesai sudah. Tapi adakah segalanya jadi selesai? Banyak yang berharap pelaksanaan hukuman mati tak akan terjadi lagi setelah sebelumnya berturut-turut Oesin Baftari dan Henky. Beberapa hari sebelum Kusni Kasdut berhadapan dengan regu tembak, di Jakarta muncul sekelompok orang berkaus dengan tulisan "Hapus Hukuman Mati". Mereka menyebut diri Kelompok HATI. Hukuman mati, menurut kelompok ini, tampak "telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan". Bentuk pidana demikian, kata mereka telah merampas hak paling dasar bagi manusia, "yakni hak untuk hidup." Pidana mati meniadakan kemungkinan bertobat, padahal hukuman adalah proses untuk mendidik dan memperbaiki kehidupan si terpidana. HATI, yang terdiri dari, antara lain, Mochtar Lubis (budayawan), Nani Razak (advokat dan bekas pembela Kusni Kasdut), Marianne Katoppo (sastrawan), T. Mulia Lubis dan A. Rahman Saleh (dari LBH DKI), mengulang kembali argumen yang terkenal yang menentang hukuman mati banyak lagi sejauh manakah hukuman mati akan sungguh-sungguh berguna untuk menangkal terulangnya suatu kejahatan? Sejumlah studi kriminologi mereka ketengahkan: tidak ada hubungannya antara angka kejahatan dengan hukuman mati. Hukuman itu dengan kata lain sia-sia, meskipun HATI mengakui bahwa studi perkara itu di Indonesia belum pernah dilakukan secara layak. Suara HATI toh didengar oleh Menteri Kehakiman Moedjono SH. Menteri, seperti dikatakan Mulia Lubis, bisa menyetujui penghapusan hukuman mati bagi kejahatan seperti pembunuhan berencana. Namun bagi kejahatan lain, yang "membahayakan Pancasila, keamanan negara atau Kepala Negara," Menteri berpendapat hukuman mati masih sangat diperlukan. Tapi Adam Malik, Wakil Presiden, lain dari yang lain. Ia ikut berkaus HATI. Sikapnya, menurut Mulia Lubis, sangat jelas anti hukuman mati bagi semua jenis kejahatan. Adam Malik, sesaat sebelum sidang kabinet pada hari Kusni Kasdut ditembak, bahkan menyatakan: "Hukuman mati tak perlu dilaksanakan di Indonesia." Sebab, katanya, "negara ini hidup dalam peradaban yang maju." Sebagai contoh dijanjikannya: hukuman mati bagi Subandrio tidak akan dilaksanakan. Tentulah jangan diharap, pendapat itu sudah merupakan pendapat resmi pemerintah. Sebab Jaksa Agung Ali Said, selesai rapat dengan Komisi III DPR minggu lalu, menyatakan ancaman hukuman mati masih perlu dicantumkan dalam undang-undang. Pandangannya terhadap hukuman mati, katanya, sudah jelas: "Setidak-tidaknya saya pernah satu kali menjatuhkan hukuman mati, yaitu ketika saya mengadili perkara G.30 S./PKI Nyono." Begitu juga pendapat Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Soal pengetrapan ancaman hukuman mati, katanya, sepenuhnya tergantung penilaian dan kebijaksanaan hakim yang mengadilinya. Namun, katanya, ancamannya itu sendiri masih perlu tercantum dalam undang-undang. "Untuk membuat penjahat takut," katanya di Bina Graha -- tak jauh dari tempat Adam Malik berdiri. Tapi diskusi tak berhenti di situ. Muncullah kelompk yang menamakan diri "Pahama", atau Pembela Hukuman Mati. Kelompok yang terakhir ini juga menemui Menteri Kehakiman dengan membawa alasan Kitab-kitab suci berbagai agama mengisyaratkan dengan tegas izin bagi manusla untuk mempergunakan pidana mati sebagai bentuk penghukuman terberat. Hukuman mati, seperti kata Hidayat Achyar dari Pahama, "adalah hukuman yang berasal dari Tuhan Yang Maha Adil." Rupanya dalam soal begini Tuhan memang harus disebut-sebut, baik oleh pro-HATI maupun anti-HATI. Juga oleh Kusni Kasdut -- juga oleh Henky, yang ditembak dalam waktu begitu berdekatan. BOKS H.M. Syukri, 73 tahun, Ketua II Majelis Ulama Indonesia: Hukuman mati, katanya, dibenarkan oleh Islam bagi kejahatan mencabut nyawa sesamanya -- bila keluarga korban tidak memaafkannya, memerangi Allah dan utusannya, dan berzina, bagi orang yang sudah beristri atau bersuami. "Ancaman hukuman yang keras," katanya, "tak lain demi terpeliharanya ketertiban masyarakat." Yap Thiam Hien, pengacara "Saya gembira kalau hukuman mati dikeluarkan dari semua undang-undang baik KUHP maupun pidana khusus." Allah katanya melarang membunuh manusia. Dan hukuman mati "tidak lain pembunuhan yang dilegalisir." Pemidanaan, menurut falsafah hukum modern, tidak untuk membalas dendam. Tapi untuk mendidik dan memperbaiki manusia yang rusak. "Kalau sudah mati tidak lagi bisa tobat -- itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan." Hukuman mati hanya menunjukkan ketidak-mampuan mendidik narapidana. Prof Sudarto, 57 tahun, Rektor Univ. Diponegoro (Semarang), Gurubesar Hukum Pidana dan bekas pembela Kusni Kasdut: Ia tak setuju hukuman mati. "Alasan pokoknya," katanya, "manusia tak berhak mencabut nyawa orang lain. "Apalagi bila diingat hakim bisa salah menjatuhkan hukuman. Tidak benar hukuman mati diperlukan untuk menakut-nakuti agar orang tidak berbuat jahat. "Nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman." Bambang Poernomo, 44 tahun, Dosen Hukum Pidana/Hukum Acara Pidana Fak. Hukum Univ. Gajah Mada (Yogya): Untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras seperti halnya dengan hukuman mati. Penerapannya yang harus hati-hati. Terhadap kejahatan makar, korupsi atau penyelundupan misalnya. Juga kejahatan terhadap individu "yang dilakukan secara bengis." Suparto H.S., 56 tahun, Ketua Perwalian Umat Budha Indonesia: Orang Budha tak akan kaget kalau ada orang dihukum mati. "Saya melihat sebagai suatu hal yang semestinya karena ada perbuatan yang sudah dilakukannya." R. Said Sukanto, 72 tahun, tokoh aliran kepercayaan dan bekas Kapolri: Hukuman mati boleh ditiadakan, tapi nanti, "sekarang masih terlalu pagi." Kondisi di sini belum baik. Kriminalitas sudah berubah jadi teror. Lembaga pemasyarakatan masih seperti penjara. "Apa keluar dari sana sudah menjadi orang baik? Sudah disurvei?" Prof. Mahadi, 68 tahun Gurubesar luarbiasa di Fak. Hukum USU (Medan), bekas Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara: "Satu saat kita butuh senjata terhadap orang yang memang betul-betul tidak bisa diperbaiki lagi. "Bila kejahatan sudah dilakukan berulang-ulang -- entah itu subversi, manipulasi atau pembunuhan -- perlu hukuman mati. Titik Pramoedya Ananta Toer, 50 tahun, pengarang: "Setiap ada kejadian hukuman mati saya menyesal," katanya, "sebab jiwa manusia paling berharga." Ia tidak setuju hukuman mati. "Pikiran manusia terbatas Karena terbatasnya kesalahan (bagi hakim) menjadi mungkin." Pidana penjara sudah berat sekali sebagai hukuman. Ia sudah mengalaminya, jadi "lebih merasakan". Bahkan, lanjutnya, menunggu hukuman itu sendiri sudah dirasakan sebagai hukuman. Dr. Franz Magnis Suseno, 43 tahun, rohaniawan Katolik: Gereja Katolik menentang hukuman mati. Tidak sesuai dengan martabat manusia dan semanaat Injil. "Secara definitif mengakhiri riwayat orang lain itu sama sekali tidak dibenarkan." Hukuman mati, katanya, timbul dari "rasa balas dendam yang dicarikan rumusan formal yang dituangkan dalam suatu undang-undang." Di Indonesia masih lebih baik dibanding negara lain. "Meskipun di sini ada hukuman mati, saya menilai, pemerintah sangat sedikit melaksanakannya." T.B. Simatupang, 60 tahun, Ketua Dewan Gereja Indonesia (DGI): Ia senang seandainya, dengan pertimbangan "sudah masanya", hukuman mati dicabut dari undang-undang. Tapi, soalnya, "hukuman tersebut adalah alat untuk menjaga ketenteraman masyarakat." Hukuman mati harus dibicarakan dari segi kepentingan masyarakat. Seperti halnya pembunuhan dalam perang. Masyarakat juga harus mempertahankan diri. Drs. I.B. Oka Puniatmaja, Ketua Parisada Hindu Dharma, Anggota DPR dan Dosen Univ. Udayana (Bali): Kejahatan membunuh, mengambil harta dan memperkosa boleh dibalas dengan mencabut nyawa pelakunya. Orang yang mengambil nyawa orang yang bersalah tidak berdosa. "Itulah hukum keadilan dalam agama Hindu." Nyawa orang yang melakukan kejahatan seperti di atas dianggap tidak berharga lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus