DI kegelapan malam, enam sosok bayangan hitam tampak mengendap-endap memasuki kompleks Adyaksa Gunung Bakaran, Balikpapan, Kalimantan Timur. Cekatan sekali mereka mencongkel jendela sebuah rumah. Mereka menyerbu masuk. Dalam kegelapan - malam itu listrik padam - mereka tak mengalami kesulitan menemukan yang dicari: Gugun Fahreal Hutapea. Dengan beringas mereka menghunjamkan badik dan celurit ke tubuh Gugun, 38, tuan rumah. Korban tak sempat berteriak apalagi melawan. Dalam sekejap, ia terkapar berlumur darah. Mati. Tapi, si pembunuh rupanya belum puas. Juwita, 15, anak kedua korban, dibantai tak kalah sadistis dibanding sang ayah. Mati juga. Ibunya, Nyonya Hasoloan, 38, yang sempat berteriak minta tolong pun tak luput dari sasaran. Lengan dan pundak kanannya kena tusuk cukup dalam, hingga ia tergeletak pingsan berlumur darah. Begitu juga Dinar Hutapea, 17, dan Charles, 12, mengalami luka-luka. Tapi untung ketiganya selamat karena segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Balikpapan. Untunglah, polisi tak mengalami kesulitan mengungkap kasus yang terjadi 25 September 1983 lalu itu. Lima orang segera ditangkap, dan kini mereka tengah diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan. Muis, 30, Sarimpi, 36, dan Dohang, 43, bahkan sudah dituntut hukuman 20 tahun penjara. Menurut Jaksa Herman Prawiro, keduanya terbukti telah melakukan pembunuhan berencana, dan menganiaya Gugun dan keluarganya. Dan pekan Ini, rencananya, Jaksa juga akan membacakan tuntutan bagi Iskandar, 40 yang merupakan pelaku utama. Terdakwa lain, Amirruddin, 45, sebelum Lebaran tampaknya juga sudah akan dituntut. Hanya, polisi kini masih mencari seorang tersangka lagi, Idris, yang sempat lari. Menurut Jaksa Herman, pembantaian terhadap keluarga Gugun itu bermula dari ketidaksenangan Iskandar terhadap korban. Iskandar, yang menjabat ketua RT di lingkungan Gunung Bakaran, Balikpapan Timur, merasa sakit hati karena pernah dibentak Gugun. Pasalnya, Iskandar pernah meminta tolong agar namanya tak disangkutpautkan dengan perkara pencurian yang terjadi di perusahaan Petrosea. Yang dimintai tolong ternyata menolak, karena cukup bukti dan petunjuk yang mengarah pada keterlibatan Iskandar. Apalagi karena ketua RT itu, menurut beberapa sumber, kabarnya memang sering tersangkut pencurian di lingkungannya. Karena penolakan itu, kasus pencurian tadi terus di usut dan berkasnya sedang dalam proses untuk diajukan ke pengadilan. Tak lama setelah kejadian itu, Gugun bertandang ke rumah Iskandar. Ia merasa kesal karena KTPnya, meski sudah diurus cukup lama, belum juga diselesaikan. "Kalau tak mampu jadi ketua RT, lebih baik mundur saja," begitu konon Gugun berkata. Seperti umumnya orang Tapanuli, ucapannya memang bernada keras, seperti menghardik. Iskandar tak senang mendengarnya. Diam-diam, ia menyusun rencana untuk membalas dendam. Ia, yang sehari-hari berdagang, memang diketahui punya banyak anak buah. Tak sulit baginya untuk memperoleh dukungan. Dan pada dinihari 25 September 1983 itulah, menurut Jaksa, niat membalas dendam dilaksanakan. "Waktu itu, sekitar pukul 03.30, saya mendengar bunyi mencurigakan di jendela. Saya segera membangunkan suami. Tahu-tahu beberapa sosok bayangan langsung menyerang. Saya berteriak dan jatuh pingsan kena tusuk," begitu cerita Nyonya Hasoloan, ibu tujuh anak - yang kini tinggal enam - dengan sedih. Namun, dalam persidangan, Iskandar dan kawan-kawan menolak dituduh membunuh dengan rencana karena dendam. Pembunuhan dan penganiayaan terjadi, menurut para terdakwa, karena mereka kepergok ketika hendak melakukan pencurian. Sayangnya, alasan ini kurang bisa diterima. "Kalau motifnya pencurian, mengapa tak ada barang yang diambil dari rumah korban?" begitu kata Jaksa Herman. Dan selama sidang berlangsung, ada sesuatu yang cukup mengundang tanya. Abdullah, hakim anggota perkara itu, pernah dibuntuti pria bertato saat bepergian ke Samarinda. Bisa jadi, kata Abdullah kepada TEMPO, karena ia terlalu gencar mengorek keterangan baik dari para saksi maupun terdakwa. Kepala Penerangan Polda Kalimantan Timur, Letna Kolonel Asen Sera, membenarkan adanya ancaman dan tekanan terhadap hakim anggota itu. Sebab itu, katanya, "Selama sidang berlangsung kami meningkatkan penjagaan, untuk mencegah segala kemungkinan." Jaksa Gugun, yang bertugas di Bidang Operasi Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur di Balikpapan, baru dua tahun bertugas di situ. "Ia termasuk Jaksa yang berkepribadian baik dan gigih dalam bekerja," kata P. Tambunan, Asisten Intel Kejati. Gugun mendapat gelar sarjana hukum dari Universitas Sumatera Utara, Medan, pada 1981. Setelah tamat, ia memboyong keluarganya ke Balikpapan dan diterima bekerja di Kejati. "Ternyata, suami saya mengajak ke Balikpapan hanya untuk mengantar nyawa," ujar Nyonya Hasoloan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini