SELAIN di pelaminan, cinta bisa juga berakhir di pengadilan. Ahmad, penduduk Dusun Pakel, Desa Gunungsari, Lombok Barat, yang gagal mengawini Herni Setianingsih, mengajukan gugatan ke pengadilan. Dua pekan sebelum lebaran, ia menuntut Muhamad Said, ayah pacarnya, juga Camat Gunungsari dan Lurah Karangbaru, sebesar Rp 100.900.000. Ahmad, 32 tahun, yang sudah beristri dan mempunyai dua anak, menjalin cinta dengan Herni, 20 tahun, penduduk Kelurahan Karangbaru, Mataram. ''Saya jatuh cinta sejak pandangan pertama,'' kata perawat RSU Mataram ini. Herni, siswa kebidanan, pada tahun 1990 menjalankan kerja praktek di RSU Mataram. Menurut kuasa hukum Ahmad, Zakariah H. Hasan, keduanya sepakat untuk menikah. Ahmad mengawali rencananya dengan cara adat Sasak yang disebut merariq. Adat merariq ini melewati tiga proses. Membawa lari calon pengantin perempuan, menyampaikan sejati pemberitahuan kepada calon mertua dan selar, pemberitahuan rencana perkawinan. Seusai sama-sama dinas malam, Awal Oktober tahun lalu, sekitar pukul 08.00 Herni dilarikan dan dibawa ke rumah kakak Ahmad, Djamali, di Lombok Timur. Keesokan harinya, pihak Djamali menyampaikan sejati kepada Kadri, kepala Dusun Pakel, Gunungsari, selaku pemuka adat di tempat tinggal Ahmad. Hari itu juga Kadri menyampaikan sejati ke pemuka adat di tempat tinggal orang tua Herni, yang kemudian meneruskannya ke Muhamad Said, si ayah. Selang beberapa hari, Kepala Dusun Pakel mendatangi Said. Maksudnya, menegaskan rencana pernikahan. Said, kata Zakariah, setuju, asal calon pengantin laki-laki bisa memenuhi semua persyaratan poligami. Tapi kesepakatan perkawinan itu ternyata tak bisa dipenuhi Ahmad. Karena itu, Herni dipindahkan dari rumah Djamali ke rumah Kepala Desa Gunungsari. Pada 26 Oktober, Camat Gunungsari memanggil kedua pihak untuk mengecek sudahkah Ahmad memenuhi semua persyaratan poligami. Namun, ketika Herni muncul di halaman kantor camat, ayahnya menyerbu dan melarikannya dengan mobil yang sudah disiapkan. Ahmad curiga ada persekongkolan. Camat Gunungsari ternyata hanya menonton saja ketika Herni dibawa kabur. Ia juga tidak bertindak, misalnya memanggil kedua pihak atau mengamankan Herni. Herni, yang dititipkan di rumah Lurah Karangbaru, Salikin, tidak lama kemudian kembali ke rumah orang tuanya. Orang tua Herni menyatakan keberatan anaknya kawin dengan pria beristri. ''Dia bisa merusak keluarganya sendiri,'' ujar Said berapi-api kepada TEMPO. Lagi pula, Herni tampaknya tumpuan orang tuanya. ''Saya sudah habis-habisan membiayai anak saya, masa mau diambil begitu saja,'' kata Said lagi. Said mengungkapkan, ia menuntut surat cerai dari istri pertama dan persetujuan dari atasan Ahmad yang pegawai negeri. Namun, yang diajukan Ahmad hanya surat izin menikah lagi dari istri pertamanya. Maka, Said merasa tidak pernah menyatakan menerima merariq. Lagi pula, ''Merariq masih bisa diambil lagi selama belum menikah. Ini tidak melanggar adat,'' kata pedagang kain yang punya tujuh anak itu. Pemuka adat Sasak, Djalaludin Arzaki, membenarkan pendapat Said. ''Selama belum ada kesepakatan di antara orangtua, anak gadis bisa saja direbut kembali dengan cara apa pun,'' katanya. ''Dulu perebutan itu sering disertai perkelahian.'' Selama sejati dan selabar belum diterima, orang tua pihak perempuan, menurut Djalal, punya kekebalan adat untuk tidak dianggap bersalah. ''Karena itu, Camat Gunungsari tidak punya hak mengejar.'' Lagi pula, apa yang dilakukan Ahmad itu, menurut Djalal, menyalahi adat. Ia tidak melarikan sendiri calon pengantinnya, tapi menyuruh pihak ketiga. Dan Herni dilarikan bukan dari rumahnya, tetapi dari tempat kerja. ''Ini bisa dianggap penculikan,'' kata Djalal. Ahmad tampaknya pasrah soal kelanjutan pernikahannya. ''Terserah Herni,'' katanya. Sayang, Herni tak bisa ditemui karena dijaga ketat keluarganya. Sebagai kompensasi, Ahmad bertekad memenangkan gugatannya di Pengadilan Negeri Mataram. Rencananya, setelah Lebaran, pengadilan akan menyidangkan gugatan Ahmad. Sri Pudyastuti R. dan Supriyanto Khafid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini