AGAKNYA Profesor Munawir Sjadzali, MA, tak perlu risau meninggalkan Departemen Agama. Penggantinya Tarmizi Taher, 56 tahun, berjanji akan melanjutkan program-program yang pernah dicanangkannya. ''Saya akan meneruskan kebijaksanaan Pak Munawir,'' kata Tarmizi. Salah satu program kesayangan Munawir Sjadzali ketika menjabat menteri adalah mengirim tenaga IAIN atau Departemen Agama untuk dididik di universitas-universitas di Barat. Itu pula antara lain yang akan dilakukan Tarmizi Taher, walau tak persis sama. ''Saya akan menjadikan pejabat Departemen Agama sebagai manajer profesional, sekaligus intelektual dan pemimpin umat,'' kata bekas kepala Pusat Pembinaan Mental ABRI di tahun 1980-an itu. Sabtu pekan lalu, persisnya sehari setelah dilantik menjadi menteri agama, Tarmizi Taher, dokter dari Universitas Airlangga, Surabaya, menerima wartawan TEMPO Wahyu Muryadi di ruang kerjanya. Dalam wawancara itu Tarmizi Taher, yang sebelum ditunjuk menjadi menteri adalah Sekjen Departemen Agama sejak 1987, menjawab pertanyaan dari TEMPO yang berkaitan dengan wewenang barunya. Program pengiriman mahasiswa IAIN ke Barat dianggap melahirkan ide-ide kontroversial, contohnya gagasan Nurcholish Madjid. Akankah ini diteruskan? Saya seorang penggemar filsafat. Saya mau sitir John Locke, bahwa ''sesuatu itu akan mengalami resistansi, bukan karena itu salah, tapi karena itu baru.'' Umat beragama dan tokoh agama harus sadar bahwa agama yang diwahyukan sekian ratus tahun yang lalu, bahkan mungkin ribuan tahun, itu akan ditantang relevansinya oleh kekinian. Masalah- masalah kekinian itu bukan kelanjutan dari masalah-masalah yang silam. Memang ada problem-problem internal yang lalu dan kemudian masih kita jumpai di masa kini. Tapi banyak sekali problem keagamaan maupun hidup yang membutuhkan belaian agama adalah problem kekinian. Misalnya problem kejiwaan, problem pribadi, problem keluarga, problem masyarakat. Tanpa kita berani mengadakan telaah, kajian, dan kemudian menyesuaikan dengan kebutuhan kekinian, agama dan nilai-nilai agama akan diperta- nyakan orang, apakah itu sekadar wahyu masa silam yang tidak berfungsi pada masa kini. Saya melihat keberanian melemparkan gagasan baru ini, walaupun menyebabkan polemik yang kadang cukup keras, nantinya membuat masyarakat Islam Indonesia makin matang untuk tidak emosional dalam ketegangan polemik yang terjadi. Bagaimana dengan harakah Islamiyah baru yang muncul di kampus- kampus? Kajian agama tentu harus dilakukan oleh mereka yang mempunyai fisi yang kuat. Jadi, pemikiran ilmu agama yang paling baik ya di IAIN, di pusat-pusat kajian di lingkungan IAIN. Di sekolan umum itu kita harus mempunyai kesadaran bahwa ada keterbatasan penguasaan ilmunya. Jangan menganggap setelah kita menjadi mubalig kita sudah setaraf kiai. Saya melihat prospek di masa depan itu perlunya kerja sama antara IAIN dan universitas umum. Supaya daya kritis mahasiswa universitas umum dapat ditopang oleh mahasiswa IAIN dengan dalil ayat dan hadisnya. Sebaliknya dengan kerja sama itu diharapkan mahasiswa IAIN jangan hanya memugar pikiran masa silam tanpa ada keberanian untuk memberikan pemecahan yang kontekstual dengan masa kini tanpa lepas dari akar aslinya, yakni kembali kepada Quran dan hadis. Ada beberapa kritik dari organisasi Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama, antara lain soal jemaah calon haji Indonesia yang hanya menginap di haratullisan, jadi di luar Mina, maka tidak sah hajinya. Kemudian soal zakat ONH yang perlu ditinjau, karena ide dari Ikatan Persaudaraan Haji itu tidak tepat. Bagaimana tanggapan Anda? Itu sudah selesai, kan? Dengan pimpinan NU, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia kami sudah mengadakan pertemuan pada bulan puasa, dan akhirnya mereka mendapat pandangan lain dari perbedaan yang kecil itu. Jelasnya bagaimana? Jadi, sekarang sudah ada keterangan bahwa hiratullisan itu bukan di luar Mina, karena itu sudah berlaku sejak tahun 1984. Mengenai zakat ONH juga sudah dikatakan bahwa silakan saja, mereka yang belum menzakati ONH membayarnya. Tapi organisasi mana yang akan mendapat zakat dari mereka, itu terserah pada mereka yang bersangkutan, dan tidak akan terkait secara organisasi dengan Departemen Agama. Artinya ide itu akan terus dilaksanakan? Jelas, ide itu menggelinding. Yang naik haji itu belum tentu orang miskin, orang yang sudah tua, orang yang mengumpulkan duitnya sekian tahun. Ketakutan masyarakat kan bahwa ide itu dipaksakan. Jadi, ada salah paham soal zakat ONH. Tapi sudah terdengar keluhan, yang naik haji tahun ini sudah mulai ditarik zakatnya sekian persen .... Oh, ya? Ya, nanti akan saya teliti itu. Tapi mengapa itu muncul dari NU? Itu soal perbedaan khilafiyah saja, kan sejak dulu kita sudah ada khilafiyah. Termasuk khilafiyah, yang hukumnya tidak pasti, soal penentuan hari Lebaran dengan hisab dan rukyat? NU, misalnya, berlebaran hari Rabu, Pemerintah menentukan hari Kamis. Ya, kita silakan saja bagi yang berbeda. Kami berusaha agar masing-masing tukar-menukar buku pegangan dalam menghitung. Ternyata perbedaan tetap terjadi karena buku pegangan dalam menghitung itu berbeda. Ada yang memakai buku lama, ada yang memakai buku baru. Di sini yang akan menentukan adalah ketelitian dan ketekunan untuk selalu menyampaikan ilmu-ilmu yang baru untuk mendukung cara dalam merukyah dan menghisab itu. Benarkah Departemen Agama mendahulukan hisab daripada rukyat? Padahal banyak kalangan menganggap rukyat lebih afdol. Tidak, rukyat dan hisab itu seimbang di Departemen Agama. Pemerintah tidak akan mengumumkan hari Lebaran sebelum hisab dikonfirmasikan oleh rukyat. Masalah timbul dalam mengkonfirmasikan dengan rukyat karena ternyata buku rujukannya berbeda, cara berhitungnya berbeda. Tapi tidak apa-apa, hanya waktu itu kita sama-sama meyakini. Tentang kompilasi hukum Islam, ada kritik terhadap kualitas hakim agama .... Dulu, mengingat landasan buat hakim agama belum kuat, seleksinya juga belum ketat. Sekarang kita lihat begitu cerahnya prospek kesejahteraan hakim agama. Ya, jelas, hakim agama itu kini diseleksi ketat. Tahun 1991, dari 1.000 orang pelamar hanya diterima 200 orang. Ini kan membantu meningkatkan kualitas seleksi hakim agama? Tapi tetap banyak kritik yang mengatakan hakim agama memutuskan perkara dengan keputusan-keputusan yang naif, seperti menyita bayi .... Itu karena belum ada pembakuan hukum, karena belum ada kompilasi. Tentu saja buku kompilasi itu pun perlu disempurnakan terus- menerus. Misalnya, apakah setelah setelah tahun kompilasi hukum agama kita perlu disempurnakan lagi, itu tergantung para ahlinya. Kembali ke soal pengiriman mahasiswa IAIN ke Barat, apakah itu memang program untuk mencetak pembaharu dalam Islam atau memang sekadar membuat mereka sebagai jembatan intelektual terhadap ilmu-ilmua modern? Tentu yang kita harapkan adalah munculnya pemikiran yang bisa menciptakan Islam Indonesia yang moderat dan penuh persahabatan dan penuh toleransi, tapi kukuh dalam pendirian. Apakah nanti, dari perjalanan sejarah, lahir mujadid berkaliber dunia, itu sejarah yang akan menentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini