RASA kaget disertai deretan pertanyaan masih terus bergema pekan
ini sementara jutaan rakyat Mesir berkabung menangisi kepergian
Presiden Anwar Sadat. Di atas batu hitam di makamnya, rakyat
Mesir antara lain menulis dengan huruf emas, "Presiden yang
saleh Mohammed Anwar Sadat, pahlawan perang dan damai."
Setiap kali seorang negarawan tewas sebagai korban pembunuhan
politik, dunia internasional selalu berduka dan menundukkan
kepala. Selalu akan terbayang: siapa korban berikutnya? Namun
pembunuhan --asasinasi--politik tampaknya makin diterima sebagai
sesuatu hal yang makin biasa. Makin luas anggapan bahwa membunuh
lawan politik dianggap bagian dari tindak perang (act of war),
sebagaimana teror sekarang dianggap suatu taktik perang.
Tewasnya Sadat menambah panjang daftar nama para tokoh yang
tewas sebagai korban pembunuhan politik. Di depannya, terdapat
ratusan nama lain: Ali Rajai, Bahonar, Park Chunghee, Martin
Luther King, J.F. Kennedy, Robert Kennedy, Lumumba, Gandhi,
Franz Ferdinand, Trotsky, Lincoln.
Para tokoh itu dibunuh bukan sebagai individu biasa. Sebagai
pemimpin, mereka menjadi simbol dan sekaligus juga kambing
hitarn dari suatu gagasan atau kekuasaan. Jabatan atau
kepemimpinan merekalah yang menyebabkan mereka dijadikan
sasaran. Martin Luther King dianggap simbol perjuangan kelompok
kulit hitam di Amerika Serikat. Gandhi ditembak karena dianggap
penyebab terpecahnya India dan Pakistan.
Selalu ada motivasi politik atau sosial yang melatarbelakangi
pembunuhan tersebut. Pada umumnya, para pembunuhnya tidak
digerakkan oleh dendam atau kepentingan pribadi. Malah banyak
yang menganggap apa yang mereka lakukan sebagai "tugas suci".
Mazzini, patriot yang memperjuangkan persatuan Italia di abad
XIX, sebelum mengizinkan Antonio Gallenga membunuh Raja Carlo
Alberto dari Sardinia, secara pribadi menyelidiki untuk
meyakinkan bahwa calon pembunuh itu tidak mempunyai dendam
pribadi pada Sang Raja.
Dua Puluh Tiga Tikaman
Pembunuhan politik telah ribuan tahun mewarnai sejarah dunia.
Pada tahun 44 sebelum Masehi, penguasa Romawi Gaius Julius
Caesar mati dibunuh di Gedung Portico. Dua puluh tiga tikaman
pisau dari para anggota Senat--agar semua anggota komplotan ikut
bertanggungjawab --merubuhkan tokoh yang konon melahirkan kata
bersayap Et tu Brutus? ini. Para pembunuh menganggap Caesar
telah mengabaikan peranan Senat dan mau menumbuhkan tirani.
Namun ada suatu masa, antara 1870-1914, yang dapat disebut
"zaman keemasan" asasinasi politik. Zaman itu dimulai dengan
tewasnya Juan Prim, PM Spanyol. Raja Muda India Earl of Mayo
dibunuh pada 1872. Tahun berikutnya yang menjadi korban Presiden
Ecuador Gabriel Moreno. Setahun kemudian giliran Sultan Abdul
Aziz dari Turki.
Korban tahun-tahun berikutnya antara lain: Kaisar Alexander 11
(Rusia), Presiden James Garfield (AS), Presiden Sadi Carnot
(Prancis), PM Canovas del Castillo (Spanyol), Kaisar Elizabeth
(Rusia), Raja Umberto I (Italia), Presiden Mc Kinley (AS), Raja
Alexander dan Ratu Draba (Serbia), Raja Carlos (Portugal), PM
Butrus Pasha Gali (Mesir), PM Canalejasy Mendes (Spanyol),
Presiden Francisco Madero (Meksiko) dan Pangeran Ferdinand
(Austrilia).
Terkadang suatu usaha pembunuhan dilakukan berulang kali--dengan
kesabaran yang mengagumkan. Misalnya terbunuhnya Shah Persia
Nasr-ed-Din. Bertahtanya penguasa ini ditentang keras suatu
kelompok Syiah di bawah pimpinan tokoh yang disebut El Bab yang
mengaku sebagai Imam Mahdi. Dua tahun setelah bertahta, El Bab
berhasil ditangkap, dihukum mati sedang banyak pengikutnya
dibinasakan.
Tapi pengikut El Bab terus bertahan -- dan memendam dendam.
Mereka mencoba membunuh Nasr-ed-Din pada 1852, namun gagal. Ini
menyebabkan kelompok ini makin diburu dan dibantai. Baru pada
1896, 44 tahun kemudian, salah seorang anggota kelompok ini
berhasil menewaskan Nasr-ed-Din, sesuatu yang selama itu
dianggap sebagai "tugas suci" kelompok mereka.
Asasinasi politik secara resmi dikutuk dan dikecam hampir semua
negara di dunia, Namun kuat dugaan, banyak penguasa atau negara
yang secara diam-diam membenarkan dan menerimanya sebagai
altetnatif. Dinas Rahasia Amerika(CIA) misalnya, sering dituduh
mendalangi pembunuhan terhadap antara lain Anastasio Somoza
(Nikaragua, 1956), Rafel Trujillo (Republik Dominika, 1961),
Patrice Lumumba(Kongo, 1961) dan Ngo Dinh Diem (Vietnam Selatan,
1963).
Toh ada kelompok yang terang-terangan menganggap pembunuhan
politik tidak saja bisa dibenarkan, tapi merupakan suatu
"kewajiban". Tokoh anarkis Nechayev dan Bakunin dalam
Revolutonary Catechism misalnya menulis.
"Di antara kaum revolusioner dan masyarakat ada peperangan
mati-matian, terus-menerus yang tak dapat dirujukkan . . . Dia
harus membuat daftar dari mereka yang harus dihukum mati dan
mempercepat hukuman pada mereka menurut urutan kesalahannya
...."
Salah satu dalih pembenaran lain yang lebih luas diterima
adalah: suatu pembunuhan politik bisa diterima bila korbannya
tiran atau penjajah. John Locke, ahli hukum Inggris abad ke-17
yang terkenal itu dalam karyanya Of Civil Government antara lain
menyebut: siapa yang menggunakan kekerasan tanpa hak, menjadikan
dirinya dalam keadaan perang dengan mereka yang dipaksanya.
Segala ikatan dengan begitu terputus dan tiap orang berhak
membela diri dan melawan Si pemaksa.
Pembenaran semacam itu mungkin dipengaruhi situasi Eropa pada
abad ke-17 yang penuh pergolakan. Pada situasi kacau waktu itu
tersebar luas pamflet termashyur Killing no Murder yang antara
lain membela hak warganegara untuk membunuh tiran, "pada siapa
sekaligus orang bisa menjadi hakim dan algojonya."
Dalam sejarah, mungkin hanya ada satu pemerintahan yang
jelasjelas lebih memllih cara pembunuhan dan menghindari
peperangan. Kelompok ini didirikan sekitar tahun 1090 di Persia
oleh Hasan ibn-al-Sabbah yang beragama Islam Syiah. Tokoh inilah
yang kemudian mashyur dengan julukan Sheikh-al-Jebal (Penguasa
Pegunungan) karena benteng dan daerah kekuasaan mereka terletak
di Pegunungan Alamaut.
Selama dua abad kelompok yang beroperasi di Persia, Syria dan
Irak ini disebut sebagai Hashashi yang berarti pemakan hashish
(ganja) yang kemudian melahirkan istilah assassin. Konon para
pengikut kelompok ini mengisap ganja (namun menurut penuturan
Marco Polo: candu) dan menganggap pembunuhan musuh mereka--para
pemimpln Kekalifan Abassiah -- sebagai tugas suci agama. Salah
satu korban mereka adalah Nizam ul-Mulk. Kelompok fanatik ini
dihancurkan oleh Hulagu, Khan dari Mongolia (1256).
Peluru dan bom kini tampaknya merupakan senjata paling umum yang
digunakan dalam pembunuhan politik. Beberapa abad lalu sebelum
senjata api diketemukan, senjata tajam seperti pedang, pisau dan
keris (ingat Tunggul Ametung dan Sultan Trenggono) umum dipakai.
Lincoln, Gandhi dan Franz Ferdinand ditembak dengan pistol.
Rasputin diracun, namun tidak mati, hingga Pangeran Yusupov
terpaksa menghabisinya dengan tembakan pistol. Kaisar Paul I
dari Rusia agak lain ia tewas dicekik, dengan selendang lehernya
sendiri.
Bermacam pembunuhan politik terus berlangsung. Menyadarkan bahwa
kekerasan masih terus ada di tengah kita. Dan karena itu
kecemasan akan terus menghantui. Hampir semua tokoh kini
menyadari bahaya ini. Namun mungkin tidak banyak yang seperti
Martin Luther King atau Sadat yang sadar dan siap menghadapi
maut itu. Mungkin itu sebabnya pada nisan Martin Luther King
tertatah tulisan Free at last, free at last. Thank God Almighty,
I'm free at last. King akhirnya "bebas" juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini