Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Di Balik Pembunuhan Politik

Pembunuhan terhadap para tokoh, selalu ada motivasi politik atau sosial yang melatar belakangi. terjadi ribuan tahun yang lalu. beberapa korban pembunuhan politik a.l: mahatma gandhi, robert kennedy.(krim)

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA kaget disertai deretan pertanyaan masih terus bergema pekan ini sementara jutaan rakyat Mesir berkabung menangisi kepergian Presiden Anwar Sadat. Di atas batu hitam di makamnya, rakyat Mesir antara lain menulis dengan huruf emas, "Presiden yang saleh Mohammed Anwar Sadat, pahlawan perang dan damai." Setiap kali seorang negarawan tewas sebagai korban pembunuhan politik, dunia internasional selalu berduka dan menundukkan kepala. Selalu akan terbayang: siapa korban berikutnya? Namun pembunuhan --asasinasi--politik tampaknya makin diterima sebagai sesuatu hal yang makin biasa. Makin luas anggapan bahwa membunuh lawan politik dianggap bagian dari tindak perang (act of war), sebagaimana teror sekarang dianggap suatu taktik perang. Tewasnya Sadat menambah panjang daftar nama para tokoh yang tewas sebagai korban pembunuhan politik. Di depannya, terdapat ratusan nama lain: Ali Rajai, Bahonar, Park Chunghee, Martin Luther King, J.F. Kennedy, Robert Kennedy, Lumumba, Gandhi, Franz Ferdinand, Trotsky, Lincoln. Para tokoh itu dibunuh bukan sebagai individu biasa. Sebagai pemimpin, mereka menjadi simbol dan sekaligus juga kambing hitarn dari suatu gagasan atau kekuasaan. Jabatan atau kepemimpinan merekalah yang menyebabkan mereka dijadikan sasaran. Martin Luther King dianggap simbol perjuangan kelompok kulit hitam di Amerika Serikat. Gandhi ditembak karena dianggap penyebab terpecahnya India dan Pakistan. Selalu ada motivasi politik atau sosial yang melatarbelakangi pembunuhan tersebut. Pada umumnya, para pembunuhnya tidak digerakkan oleh dendam atau kepentingan pribadi. Malah banyak yang menganggap apa yang mereka lakukan sebagai "tugas suci". Mazzini, patriot yang memperjuangkan persatuan Italia di abad XIX, sebelum mengizinkan Antonio Gallenga membunuh Raja Carlo Alberto dari Sardinia, secara pribadi menyelidiki untuk meyakinkan bahwa calon pembunuh itu tidak mempunyai dendam pribadi pada Sang Raja. Dua Puluh Tiga Tikaman Pembunuhan politik telah ribuan tahun mewarnai sejarah dunia. Pada tahun 44 sebelum Masehi, penguasa Romawi Gaius Julius Caesar mati dibunuh di Gedung Portico. Dua puluh tiga tikaman pisau dari para anggota Senat--agar semua anggota komplotan ikut bertanggungjawab --merubuhkan tokoh yang konon melahirkan kata bersayap Et tu Brutus? ini. Para pembunuh menganggap Caesar telah mengabaikan peranan Senat dan mau menumbuhkan tirani. Namun ada suatu masa, antara 1870-1914, yang dapat disebut "zaman keemasan" asasinasi politik. Zaman itu dimulai dengan tewasnya Juan Prim, PM Spanyol. Raja Muda India Earl of Mayo dibunuh pada 1872. Tahun berikutnya yang menjadi korban Presiden Ecuador Gabriel Moreno. Setahun kemudian giliran Sultan Abdul Aziz dari Turki. Korban tahun-tahun berikutnya antara lain: Kaisar Alexander 11 (Rusia), Presiden James Garfield (AS), Presiden Sadi Carnot (Prancis), PM Canovas del Castillo (Spanyol), Kaisar Elizabeth (Rusia), Raja Umberto I (Italia), Presiden Mc Kinley (AS), Raja Alexander dan Ratu Draba (Serbia), Raja Carlos (Portugal), PM Butrus Pasha Gali (Mesir), PM Canalejasy Mendes (Spanyol), Presiden Francisco Madero (Meksiko) dan Pangeran Ferdinand (Austrilia). Terkadang suatu usaha pembunuhan dilakukan berulang kali--dengan kesabaran yang mengagumkan. Misalnya terbunuhnya Shah Persia Nasr-ed-Din. Bertahtanya penguasa ini ditentang keras suatu kelompok Syiah di bawah pimpinan tokoh yang disebut El Bab yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Dua tahun setelah bertahta, El Bab berhasil ditangkap, dihukum mati sedang banyak pengikutnya dibinasakan. Tapi pengikut El Bab terus bertahan -- dan memendam dendam. Mereka mencoba membunuh Nasr-ed-Din pada 1852, namun gagal. Ini menyebabkan kelompok ini makin diburu dan dibantai. Baru pada 1896, 44 tahun kemudian, salah seorang anggota kelompok ini berhasil menewaskan Nasr-ed-Din, sesuatu yang selama itu dianggap sebagai "tugas suci" kelompok mereka. Asasinasi politik secara resmi dikutuk dan dikecam hampir semua negara di dunia, Namun kuat dugaan, banyak penguasa atau negara yang secara diam-diam membenarkan dan menerimanya sebagai altetnatif. Dinas Rahasia Amerika(CIA) misalnya, sering dituduh mendalangi pembunuhan terhadap antara lain Anastasio Somoza (Nikaragua, 1956), Rafel Trujillo (Republik Dominika, 1961), Patrice Lumumba(Kongo, 1961) dan Ngo Dinh Diem (Vietnam Selatan, 1963). Toh ada kelompok yang terang-terangan menganggap pembunuhan politik tidak saja bisa dibenarkan, tapi merupakan suatu "kewajiban". Tokoh anarkis Nechayev dan Bakunin dalam Revolutonary Catechism misalnya menulis. "Di antara kaum revolusioner dan masyarakat ada peperangan mati-matian, terus-menerus yang tak dapat dirujukkan . . . Dia harus membuat daftar dari mereka yang harus dihukum mati dan mempercepat hukuman pada mereka menurut urutan kesalahannya ...." Salah satu dalih pembenaran lain yang lebih luas diterima adalah: suatu pembunuhan politik bisa diterima bila korbannya tiran atau penjajah. John Locke, ahli hukum Inggris abad ke-17 yang terkenal itu dalam karyanya Of Civil Government antara lain menyebut: siapa yang menggunakan kekerasan tanpa hak, menjadikan dirinya dalam keadaan perang dengan mereka yang dipaksanya. Segala ikatan dengan begitu terputus dan tiap orang berhak membela diri dan melawan Si pemaksa. Pembenaran semacam itu mungkin dipengaruhi situasi Eropa pada abad ke-17 yang penuh pergolakan. Pada situasi kacau waktu itu tersebar luas pamflet termashyur Killing no Murder yang antara lain membela hak warganegara untuk membunuh tiran, "pada siapa sekaligus orang bisa menjadi hakim dan algojonya." Dalam sejarah, mungkin hanya ada satu pemerintahan yang jelasjelas lebih memllih cara pembunuhan dan menghindari peperangan. Kelompok ini didirikan sekitar tahun 1090 di Persia oleh Hasan ibn-al-Sabbah yang beragama Islam Syiah. Tokoh inilah yang kemudian mashyur dengan julukan Sheikh-al-Jebal (Penguasa Pegunungan) karena benteng dan daerah kekuasaan mereka terletak di Pegunungan Alamaut. Selama dua abad kelompok yang beroperasi di Persia, Syria dan Irak ini disebut sebagai Hashashi yang berarti pemakan hashish (ganja) yang kemudian melahirkan istilah assassin. Konon para pengikut kelompok ini mengisap ganja (namun menurut penuturan Marco Polo: candu) dan menganggap pembunuhan musuh mereka--para pemimpln Kekalifan Abassiah -- sebagai tugas suci agama. Salah satu korban mereka adalah Nizam ul-Mulk. Kelompok fanatik ini dihancurkan oleh Hulagu, Khan dari Mongolia (1256). Peluru dan bom kini tampaknya merupakan senjata paling umum yang digunakan dalam pembunuhan politik. Beberapa abad lalu sebelum senjata api diketemukan, senjata tajam seperti pedang, pisau dan keris (ingat Tunggul Ametung dan Sultan Trenggono) umum dipakai. Lincoln, Gandhi dan Franz Ferdinand ditembak dengan pistol. Rasputin diracun, namun tidak mati, hingga Pangeran Yusupov terpaksa menghabisinya dengan tembakan pistol. Kaisar Paul I dari Rusia agak lain ia tewas dicekik, dengan selendang lehernya sendiri. Bermacam pembunuhan politik terus berlangsung. Menyadarkan bahwa kekerasan masih terus ada di tengah kita. Dan karena itu kecemasan akan terus menghantui. Hampir semua tokoh kini menyadari bahaya ini. Namun mungkin tidak banyak yang seperti Martin Luther King atau Sadat yang sadar dan siap menghadapi maut itu. Mungkin itu sebabnya pada nisan Martin Luther King tertatah tulisan Free at last, free at last. Thank God Almighty, I'm free at last. King akhirnya "bebas" juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus