PEMBAGIAN KERJA SECARA SEKSUAL
Oleh Arief Budiman
Penerbit: Gramedia 1981, 56 halaman
KESAN pertama (apalagi melihat gambar kulit): titik pandang
Budiman sangat diwarnai kebudayaan Barat. Khususnya Atlantika
Utara. Dan kesan ini tambah kuat bila membaca buku kecil yang
dibagi atas 6 pasal ini.
Sesudah alinea terima kasih kepada beberapa orang wanita--yang
agaknya semua orang asing, ditilik dari namanya--dan kepada
Clifford Geertz, Budiman turut menyebut "istri saya, Leila, yang
juga telah menjadi korban dari suatu sistem masyarakat yang
memberi peran yang tidak menguntungkan bagi wanita."
Tanpa mempersoalkan lebih luas sejauh mana peran seorang Leila
Budiman "tidak menguntungkan" dibanding seorang wanita Barat
dalam posisi yang sama, pertanyaan yang timbul: Apakah Budiman
mendambakan pembebasan wanita menurut pola Amerika Serikat?
Tribuana & Sultanah
Gambaran yang diberikan sematamata gambaran masyarakat serta
wanita Barat. Budiman membuat ssveeping statements: "Dalam
masyarakat masa kini seperti halnya masyarakat Indonesia,
kehidupan wanita berputar di sekitar kehidupan rumah tangga.
Tujuan wanita seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk
keluarga. Sesudah menikah, hampir seluruh kehidupan wanita
dilewatkan di dalam rumah tangga." (hal. 5).
Itu mungkin benar bagi masyarakat industri seperti AS--dan itu
pun hanya bagi kelas menengah. Kenyataan di Indonesia sangat
berbeda: pada semua jalur, kita berjumpa dengan wanita yang
aktif di luar rumah tangga: wanita di pasar, penjual jamu,
pembantu, pekerja pabrik, ibu guru, sekretaris, wanita karir.
Indonesia masih 80% agraris, dan seluruh keluarga biasanya
menjadi satu unit kerja tidak dipolarisasikan pada: pria =
produksi, wanita = repro duksi.
Selanjutnya, Indonesia mengenal wanita seperti
Tribuanatunggaldewi dan Siti Aisyah We Tenriolle, Sultanah
Safiatuddin dan Malahayati. Jadi amat bervisi pendek untuk
menyatakan secara global (hal. 3): "Pembagian kerja secara
seksual sudah berlangsung selama ribuan tahun." Lalu berusaha
melalui berbagai teori (nature, nurture, psikoanalisa,
fungsionalis, dan lain-lain) "menyadarkan" wanita
Indonesia--tanpa memperhatikan perbedaan prinsipal yang ada
antara masyarakat yang menelurkan teori tersebut dan kita.
Kalaupun ditambahkan kata arat pada judul, menjadi: Pembagian
Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembabasan Sosiologis tentang Peran
Wanita di dalam Masyarakat Barat, buku ini masih tetap banyak
kekurangannya. Misalnya, saya merasa kehilangan beberapa nama.
Pertama: Mary Wollstonecraft. Pada halaman 6, Budiman mengutip
John Stuart Mills, filsuf Inggris, yang dalam esei The
Subjection of Women (1869) mengemukakan hal-hal yang hakekatnya
sudah dicetuskan Mary dalam tulisannya A Vindication of the
Rights of Women 77 tahun sebelumnya (1792), ialah: " . . . Apa
yang disebut sebagai sifat kewanitaan adalah hasil pemupukan
masyarakat melalui suatu sistem pendidikan . . . usaha-usaha
untuk membedakan kedua golongan manusia (wanita dan pria) dalam
peranan sosial mereka, merupakan suatu tindakan politik yang
direncanakan." Apakah kealpaan Budiman ini menunjuk pada
kecenderungan untuk membiarkan laki-laki berbicara tentang
perempuan, yang sendiri takkan sanggup sampai ke jenjang hikmat?
Saya juga kehilangan nama-nama Johann Jakob Bachofen, yang
tulisannya Das Mutterrecht (1861) merupakan suatu breakthrough
dalam penelitian serta pemikiran mengenai peran wanita dan
August Bebel, Die Frau und der Sozialismus (edisi ke-25, 1895),
yang mencatat betapa terperangkapnya wanita dalam masyarakat
borjuis dengan moral bergandanya.
Iri Pada Lelaki
Pada halaman 10, Budiman menyebut teori yang barangkali paling
dikenal dalam gugus teori nature . . . teori Sigmund Freud, atau
teori psikoanalisa. Konsep penis envy, yang tak perlu banyak
komentar dalam kebudayaan kita, yang mengenal "lingga Syiwa di
atas voni". (Orang yang membangun Candi Borobudur 1000 tahun
lalu, agaknya sudah lebih maju dari Freud dalam persepsi
seksualistas manusia!). Dan konsep orgasme vaginal sebagai
konsep kedewasaan wanita (hal. 15), yang telah dibuktikan tidak
benar sama sekali oleh pasangan Masters & Johnson.
Masihkah teori psikoanalisa seperti itu dianggap sah, sedang
teori Freud dalam banyak bidang sudah runtuh? Lengkapkah tanpa
menyebut teori Jung, mengenai animus dan anima?
Pemaparan data terlalu sepihak. Pada hal. 12, Erich Fromm
disebut "sebagai salah seorang pengikut Freud dalam aliran
psikoanalistis ini"--tanpa memaparkan kritik Fromm yang sangat
tajam pada Freud: "Freud berasumsi bahwa wanita iri pada kelamin
lelaki, tanpa memperhitungkan kemungkinan -- sesuai dengan titik
pandangnya yang patriarkhal--bahwa pria iri pada kesanggupan
wanita melahirkan anak." ("Sex and Character" The Dogma of
Christ, Fawcet Books 973 hal. 116). Jadi pengikut yang punya
pendapat sendiri, bukan saja "agak berlainan". Salah satu akar
persoalan penindasan wanita ialah ini: wanita selalu tahu bahwa
anaknya adalah buah kandungannya, sedang pria selalu meragukan
kebapaannya.
Tulisan ini juga kurang sistematis. Teori-teori disajikan tanpa
perkembangan argumen yang jelas, dan kadang malah kontradiktif.
Hal. 25: " . . . banyak studi antropologi pada saat ini telah
membuktikan bahwa tidak ada tanda-tanda adanya suatu masyarakat
di mana wanita berkuasa dan memegang tampuk pemerintahan
tertinggi". (Ilustrasi di sampingnya ialah adegan dari zaman
Firaun Mesir--yang umumnya dianggap suatu zaman yang
menguntungkan bagi kedudukan wanita!). Selanjutnya: "Sistem
matriarkhal tidak pernah terbukti ada dalam sejarah . . .
paling-paling hanya matrilinial." Padahal pada hal. 30:
"Ernestine Friedl, seorang ahli antropologi . . . beranggapan
bahwa di masyarakat primitif, wanita lebih penting dari
laki-laki."
Tentu definisi matriarkhat bisa dipersoalkan di sini. Agaknya
Budiman menganut pendapat bahwa matriarkhat adalah patriarkhat
dieja dengan huruf m karena yang dipersoalkannya ialah kuasa,
sedang sudah sejak Bachofen dicatat bahwa ciri utama matriatkhat
ialah kesejabteraan manusia ia bersifat egaliter, bukan
otoriter. Dalam Tbe Anatomy of Hzman Destructiveness, Erich
Fromm mengemukakan contoh Catal Huyuk (dinamakannya
matricentric) dari zaman Neolithis, yang rupanya tidak mengenal
penjarahan (sack) atau pembantaian (massacre) ataupun pembunuhan
dengan kekerasan (violent deatb) selama 800 tahun keberadaannya
Budiman kurang peka terhadap sumber-sumber di kawasan Asia dan
tanah air sendiri--dan membuat asumsi-asumsi yang seakan
memproyeksikan keadaan di Barat ke masyarakat kita. Hal. 28:
"Pada saat ini, di mana pekerjaan rumah tangga sudah banyak
diambil alih oleh masyarakat (misalnya orang bisa berlangganan
makanan dari luar, orang bisa mengirim anak ke tempat penitipan
anak-anak)," bukan menunjukkan keadaan yang lazim di Indonesia.
Juga hal. 22: " . . . sepanjang sejarah laki-laki tidak pernah
berhenti melakukan poligami . . . " agak sulit dipadukan dengan
kisah Draupadi dan para Pandawa. Saya melihat buku ini sebagai
salah satu contoh imposisi kebudayaan Amerika Serikat ke
kebudayaan kita. Semua sumber kepustakaan (pun Engels dan Freud)
diterbitkan di Amerika Utara.
Diuraikan Dari Lelaki
Sesungguhnya saya tidak dapat melihat bagaimana teori-teori yang
disajikan dapat diterapkan ke masyarakat kita. Bila Arief
Budirlan memaksudkan "rangsangan", maka arahnya menyimpang.
Kiblatnya salah. Ketimbang Millett dan Friedan, mengapa tidak
mulai dengan T.O. Ihromi dan Melly Tan? Daripada teori abstrak
dan serebral khas Barat, mengapa bukan metode induktif? Apa
artinya ucapan Shulamith Firestone, "kita ada pada taraf
Patriarki dalam realitas seksual" (hal. 45)--dalam suatu
masyarakat yang antara lain mengenal ungkapan "surga di bawah
telapak kaki ibu", dan "keluarga ibu adalah Dibata si idah
(Allah yang nampak)"?
Dalam pasal penutup, Budiman mengatakan: "Kita di Indonesia
perlu memikirkan masalah ini secara sungguh-sungguh. Keperluan
bahwa wanita Indonesia dibebaskan dari belenggunya bukanlah
sekedar keperluan moral belaka, tapi (demi) menciptakan suatu
masyarakat yang adil dan sejahtera di masa depan." Bagus, tetapi
tidak pada tempatnya sesudah 50 halaman teori Barat, tanpa
sekali pun mengutik pembagian kerja di Indonesia.
Satu hal yang menyolok ialah ini: Budiman tak pernah menggunakan
kata perempuan (dari empu, yaitu "ibu, atau tuan, raja,
pujangga"). Tanpa membuat klaim yang terlampau jauh, kita dapat
menunjuk pada kata perempuan itu, sebagai salah satu indikator
peran wanita dalam alam kebudayaan kita. Agaknva Arief Budiman
terlalu berpegangan pada kata Inggris woman (dari wyf-man,
"manusia betina"), suatu kata yang diuraikan dari man
(manusia/laki-laki).
Dalam struktur pemikiran seperti itu, wanita senantiasa akan
merupakan sesuatu yang diuraikan dari laki-laki.
Marianne Katoppo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini