Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN bahasa Inggris belepotan, Tan Hui membujuk tim Direktorat Narkotika Markas Besar Kepolisian RI dan Direktorat Jenderal Bea-Cukai agar lolos dari pemeriksaan. Nakhoda kapal MV Min Lian Yu Yun 61870 berbendera Taiwan itu meminta aparat gabungan tak menggeledah kapalnya. Selasa dua pekan lalu, tim menghentikan kapal ikan itu di Perairan Anambas, Kepulauan Riau.
Pria Taiwan itu lantas memberikan isyarat dengan cara menyodorkan kotak berisi beberapa lembar uang kepada aparat gabungan jika mereka dilepas. Setelah ditanya lebih lanjut soal tawaran itu, Tan Hui menjelaskan bahwa bosnya yang akan memberi "duit terima kasih" tersebut. "Kepada anak buah saya, dia bilang call my bos soal tawaran uang itu," ujar Direktur Reserse Narkoba Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Eko Daniyanto, Senin pekan lalu.
Tim satuan tugas yang dipimpin Ajun Komisaris Besar Gembong Yuda meminta kapal yang ditumpangi empat warga negara Taiwan itu merapat ke Pelabuhan Sekupang, Batam. Tiga kapal Bea-Cukai kemudian mengawal perjalanan itu. "Kami kirim kapal patroli untuk dukungan pengamanan," kata Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Bea dan Cukai Robert Leonard Marbun.
Setelah MV Min Lian Yu Yun 61870 tiba di Pelabuhan Sekupang, tim dibantu anjing pelacak menggeledah seluruh isi kapal itu. "Kami temukan sabu-sabu 1,662 ton," ujar Brigadir Jenderal Eko. Serbuk kristal itu dikemas dalam 81 karung goni berwarna hijau. Karung-karung itu ditutupi ratusan alat pancing kepiting.
Temuan sabu itu kasus kedua sepanjang tiga pekan terakhir. Sepekan sebelumnya, tim Badan Narkotika Nasional bersama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menggagalkan penyelundupan sabu 1,036 ton yang disamarkan dengan tumpukan berkarung-karung beras di Selat Philips, dekat Pulau Nipah, Batam. "Sabu-sabunya berasal dari Myanmar," kata Komisaris Jenderal Budi Waseso pada Jumat dua pekan lalu ketika masih menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional.
Tim gabungan ini pada Jumat dua pekan lalu juga menangkap kapal MV Win Long berbendera Taiwan. Mereka mencurigai kapal ikan berukuran 476 gross tonnage yang ditangkap di perairan Kepulauan Riau itu memuat narkotik. Tiga hari menggeledah kapal bernomor BH-2998 itu, tim gabungan ternyata tidak menemukan barang yang dicari.
PERGERAKAN kapal berbendera Taiwan memang sudah dipantau lama oleh Badan Narkotika Nasional. Menurut Budi Waseso, BNN menerima informasi adanya pergerakan sabu sebanyak tiga ton menggunakan kapal Shun De Man 66 sejak Desember tahun lalu.
Sadar tak punya cukup armada, ia meminta bantuan TNI Angkatan Laut. Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman segera meminta timnya membuat key recognition alias cara identifikasi kapal berdasarkan kerangka dan bentuknya, lalu disebarkan ke semua kapal patroli.
Setelah penyebaran itu, salah satu kapal patroli berhasil mendeteksi sensor Shun De Man 66. Pada Desember 2017 itu, posisi kapal yang tercatat milik Lu Dong Jin, warga Shengwang, Kota Kaohsiung, Taiwan, tersebut berada di sebelah barat Sumatera. Kapal buatan tahun 1989 itu lalu masuk ke selatan Jawa, tapi jauh dari pantai. "Saat itu kami menggerakkan kapal dari Selat Sunda, tapi secara taktis tidak menguntungkan karena terlalu jauh," ujar Taufiq.
Kapal Shun De Man terdeteksi terus menuju arah timur dan menjauh dari perairan Indonesia. Setelah itu, TNI Angkatan Laut tak bisa lagi melacaknya. Mereka kehilangan sinyal karena diduga sistem identifikasi otomatis kapal dimatikan. Beberapa hari kemudian, BNN mendapat informasi kapal itu merapat di daratan Australia dan menurunkan 1,3 ton sabu.
Meski kapal diketahui di Negeri Kanguru, Taufiq tetap meminta prajuritnya berpatroli. Tapi pergerakan kapal ini begitu cepat. Shun De Man ternyata telah merapat ke Pulau Jurong, Singapura, pada 18 Januari 2018. Saat masuk ke Negeri Singa, kapal berubah nama menjadi Phantom Ship dan mengibarkan bendera Singapura. Dua hari kemudian, kapal bergerak ke Penang, Singapura. Kapal bersandar di sana selama sembilan hari. Dari pengakuan keempat tersangka, awak kapal selalu berganti-ganti.
Keempat awak kapal warga negara Taiwan itu baru tiba di Singapura pada 17 Januari. Keterangan itu cocok dengan stempel kedatangan di Imigrasi Bandar Udara Changi, Singapura. Nakhoda dan anak buah kapal itu diterbangkan dari Taiwan ke Bandara Changi dan langsung diangkut ke Pulau Jurong. Keempat orang itu mengklaim tak saling kenal. "Modus seperti ini biasa, untuk memutus arus informasi," ucap Taufiq.
Setelah berpindah dari Jurong ke Penang, empat warga Taiwan itu diperintahkan mengecat kapal dan mengubah namanya menjadi MV Sunrise Glory. Ada empat bendera di kapal dengan nomor registrasi CT4-1920 itu, yakni Singapura, Taiwan, Indonesia, dan Myanmar.
Setelah pengecatan selesai, empat orang itu diarahkan menuju Selat Philips, dekat Pulau Nipah, Kepulauan Riau. Ketika di sana, prajurit Kapal Perang Republik Indonesia Sigurot yang sedang melakukan patroli perbatasan melihat siluet Sunrise Glory itu mirip dengan identifikasi Shun De Man 66. Setelah didekati, awak kapal menunjukkan fotokopi dokumen Indonesia. Namun pejabat yang menandatangani sudah pensiun sejak 2014. Padahal izin diterbitkan pada 2017. "Curigalah anak-anak ini. Makanya kami bawa ke Batam," kata Taufiq.
Setelah dicek BNN, kapal tersebut hanya memuat sabu 1,023 ton. Padahal, menurut informasi awal, sabu dari Myanmar itu sebanyak tiga ton dan diturunkan di Australia 1,3 ton. "Seharusnya masih ada 1,7 ton. Ini yang masih didalami," ujar Taufiq.
Modus jaringan ini menggunakan kapal ikan disertai alat pancing. Mereka juga masuk ke jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Di kawasan Selat Malaka, Selat Karimata, serta pantai timur dan selatan Indonesia ini, banyak kapal ikan dari berbagai negara yang menuju dan dari Samudra Hindia guna menangkap ikan di sana. Kapal-kapal ini menggunakan rute pelayaran internasional.
Perairan di perbatasan Singapura, Indonesia, dan Malaysia merupakan "surga" para sindikat penyelundupan narkotik. Kapal-kapal dari Cina, Taiwan, ataupun Thailand biasanya berlalu-lalang di sana.
Ini juga yang terjadi pada kapal Taiwan MV Min Lian Yu Yun 61870. Kapal berbendera Singapura dan Cina itu memilih jalur Selat Karimata untuk menyelundupkan narkotiknya masuk ke Tanah Air. Mereka juga memiliki modus yang sama, yakni gonta-ganti bendera, serta hanya mempunyai salinan dokumen yang seolah-olah diterbitkan pemerintah Indonesia.
Menurut Brigadir Jenderal Eko Daniyanto, satu nakhoda dan tiga awak kapal berangkat dari Pelabuhan Zhanjiang, Guangzhou, Cina, sejak 30 Januari lalu. Dari informasi awal, sabu itu akan mendarat di Anyer, Banten. Modusnya hampir sama dengan penyelundupan satu ton sabu asal Taiwan pada Juli tahun lalu.
Kapal ikan itu akan berhenti di koordinat tertentu di tengah laut Tanjung Lesung, Banten. Kemudian transporter yang diterbangkan dari Taiwan, yang lebih dulu tiba di Tangerang, bertugas menjemput sabu itu. Mereka akan menggunakan kapal nelayan melalui Dermaga Marina, Anyer.
Rencana sindikat ini, para transporter akan diinapkan semalam di Hotel Orchardz di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, sebelum penjemputan barang haram tersebut. Tapi rencana itu berubah sepekan terakhir. "Akhirnya kami menyimpulkan kapal akan melalui perairan Anambas di Natuna," tutur Eko.
Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman mengatakan kapal-kapal tersebut memang hanya akan berhenti di tengah laut, masih di jalur ALKI, untuk menurunkan barang selundupan. Hal ini untuk mengelabui para aparat. Sebab, jika kapal asing itu merapat ke daratan langsung, hal tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran. "Kalau lebih dari 12 mil boleh. Makanya mereka pakai kapal-kapal nelayan," ujarnya.
Menurut Budi Waseso, jaringan pemasok narkotik saling menunggu situasi di tengah laut untuk masuk ke Indonesia. Begitu ada satu kapal yang tertangkap, jaringan lain akan berbondong-bondong menyelinap ke Tanah Air. "Ketika ada satu kasus, aparat akan berfokus di situ. Jadi mereka memanfaatkan celah itu," ujarnya.
Saat ini ada 72 jaringan internasional yang memasok narkotik ke Indonesia. Barang haramnya berasal dari 11 negara, di antaranya Cina, Taiwan, Thailand, Myanmar, Afrika, India, Pakistan, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa. Jaringan ini ada pemodal besarnya, yang tinggal di Singapura dan Malaysia. Sebagian besar dari mereka memasok narkotiknya ke Indonesia melalui jalur laut. "Mereka satu sama lain tahu mau mengirim," kata Budi. "Yang tertangkap selama ini hanya 20 persen dari total penyelundupan."
Para sindikat ini juga saling mengetahui jadwal keberangkatan pengiriman narkotik. Saat jalur utama ramai dijaga petugas, jaringan internasional ini akan menyelundupkan ke jalur lain yang sifatnya masih rintisan. Menurut Budi, pergeseran aliran masuk narkotik jalur ujung timur Indonesia atau perbatasan Timor Leste menjadi tujuan favorit mereka kendati jalannya harus memutar.
Salah satu jaringan yang menggunakan rute rintisan ini tertangkap pada awal Februari lalu. Kepolisian Timor Leste menggagalkan penyelundupan bahan baku narkotik (prekursor) sebanyak 162 ton di pelabuhan Dili. Sembilan kontainer zat kimia itu rencananya akan dikirimkan ke Jakarta dan daerah lain di Pulau Jawa melalui Nusa Tenggara Timur.
Anggota Badan Reserse Kepolisian Nasional Timor Leste, Inspektur Almerio Dias Quintus, mengatakan kapal ikan berbendera Indonesia itu mengangkut bahan paracetamol caffeine carisoprodol (PCC) dari Cina dan India. Ada 15 jenis zat kimia. "Kapal sudah bersandar sebulan di pelabuhan Dili," ujarnya.
Awak kapal dan pemilik yang juga warga Bima itu sempat membongkar bahan baku PCC di Dili. Namun, karena tingginya pajak di sana, pemilik kapal memilih masuk ke Nusa Tenggara Timur melalui jalur laut lagi, baru menyeberang ke Jawa menggunakan kontainer-kontainer tadi. Mereka menunggu petugas lengah untuk membawa barang-barang itu masuk ke Indonesia. "Mereka tidak punya dokumen impor," kata Almerio.
Bahan zat kimia dari India itu dipasok oleh perusahaan Verdant Life Sciences Private Limited di Hyderabad, India. Sedangkan bahan baku lain diambil di Cina. Dari pengakuan para tersangka, menurut Almerio, barang tersebut akan dikirim ke jasa ekspedisi, yang kantor utamanya di Jakarta Pusat. "Dari ekspedisi ini bisa diketahui pemesannya, tapi kami tidak sampai ke sana," ujarnya.
Kepolisian Timor Leste sudah menetapkan tiga tersangka kasus ini. Mereka adalah satu orang pemilik kapal yang merupakan warga Indonesia, satu nakhoda dari Indonesia, dan satu orang lagi warga Timor Leste.
Linda Trianita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo