Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lama lautan menjadi tempat pembuangan. Ia menjadi wilayah yang jauh dan di sana kita menjadi terasing dan terhukum. Jika tidak suka terhadap perilaku seseorang, kita bisa meneriakinya, "Ke laut aja!" Itu artinya dia tidak punya lagi tempat di antara kita di daratan dan layak terkatung-katung, jika perlu tenggelam, di lautan yang sunyi.
Itu semua terjadi karena kita memandang lautan dari daratan, dengan kesadaran bahwa daratan lebih utama dan lebih nyaman ditinggali ketimbang lautan. Sedangkan orang Laut-yang dikenal dengan sebutan "orang Sama" atau "orang Bajau"-melihat yang sebaliknya. Lautan adalah segala-galanya. Tanpa lautan, tidak ada kehidupan.
Mereka benar. Indonesia adalah negara kepulauan. Menurut Adrian B. Lapian dalam bukunya, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (2009), istilah "negara kepulauan" (archipelagic state) untuk Indonesia mengandung pengertian "’negara laut utama’ yang ditaburi pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut".
Budaya maritim di zaman bahari membuktikan bahwa lautan menjadi bagian sangat penting dari perkembangan Nusantara. Ia menghubungkan pulau dan manusia yang satu dengan pulau dan manusia yang lain. Ia telah mengantarkan para penjelajah Nusantara hingga ke Madagaskar dan Afrika Selatan. Namun lautan pula yang melayarkan serbuan kolonialisme Eropa ke Nusantara.
Dalam khazanah peribahasa kita, lautan mengandung pengertian yang mulia. Misalnya, "laut budi tepian akal", yang bermakna "orang cerdik pandai", atau "tak keruh laut oleh ikan, tak runtuh gunung oleh kabut", yang berarti "yang mutlak dalam adat akan tetap sekalipun banyak aturan baru yang masuk".
Lautan selalu dilawankan dengan daratan; daratan hampir tidak bermakna tanpa lautan. Sebab, tanpa lautan, tanpa budaya maritim yang kuat, tidak akan ada hubungan antara manusia dari satu pulau dan manusia di pulau lain, tidak ada perdagangan antarpulau, tidak ada penyebaran bahasa, agama, dan ilmu pengetahuan.
Karena itu pula kekuatan angkatan perang di lautan sama pentingnya dengan persatuan manusia di daratan. Peribahasa "di laut angkatan di darat kerapatan" bermakna "kekuatan di laut bergantung pada angkatan perang, kekuatan di darat bergantung pada persatuan".
Dalam sejarah, kota-kota pantai-sebutlah Pasai dan Batavia-lebih dulu mencerap kemajuan ketimbang kota-kota yang berkembang di pedalaman. Sepanjang transportasi darat belum maju, daerah pedalaman hanya bisa tertolong oleh sungai yang menghubungkannya dengan kawasan pesisir, untuk selanjutnya lautan menghubungkannya dengan kawasan lain di luar pulau.
Itulah mengapa sebutan "masyarakat pedalaman" selalu mengandung pengertian peyoratif: terkesan mereka lebih terbelakang jika dibandingkan dengan "masyarakat pesisir". Ia semakna dengan sebutan "udik" yang berarti "selatan" (karena kota pantai berada di utara) dan identik dengan orang yang belum modern alias kampungan. Kondisi ini tergambar dalam peribahasa "seperti orang darat jolong menurun", yang berarti "tercengang seperti orang dusun masuk ke kota besar" (di pesisir).
Satu ungkapan tentang pentingnya daratan adalah "lupa daratan", yang bermakna "berbesar hati karena mendapatkan apa yang diharapkan sehingga lupa akan petuah-petuah lain". Ia sejajar dengan "sebagai di kayangan", yang bermakna "merasa senang sekali" (sehingga lupa daratan). Namun yang "lupa daratan" tidak serta-merta menjadi "ingat lautan". Lautan tetaplah hilang dalam bawah-sadar mereka.
Merosotnya budaya maritim kita membuat penghargaan terhadap laut ikut-ikutan merosot. Lautan, sebagaimana sungai, menjadi "halaman belakang" dan bukan "halaman depan" rumah kita. Ia menjadi tempat pembuangan sampah dan segala limbah. Lautan menjadi wilayah asing dan tempat pembuangan atau hukuman.
Namun ungkapan "ke laut aja" yang bermakna pengusiran atau hukuman itu bisa juga kita tanggapi lebih positif. "Ke lautan" berarti mengakrabi kembali potensi dan kebesaran lautan. Bukan dengan menambah produksi peribahasa tentang lautan, melainkan lebih pada memperbesar kepedulian kita kepadanya, yang di masa lalu pernah-dan akan tetap-menjadi wilayah yang mengantarkan kemajuan dan petualangan.
Jika ajakan menuju lautan sudah terlalu banyak dan terkesan sebagai jargon tanpa makna, baiklah kita kembali kepada puisi. Dalam puisi, lautan hadir dengan penuh glorifikasi, baik karena kepedihan maupun kecemerlangannya. Penyair J.J. Slauerhoff menyebut lautan sebagai "kubur terhormat bagi pelaut". Sedangkan Asrul Sani menabalkan "semangat bahari" dalam larik "Pergi ke laut lepas, anakku sayang/ pergi ke alam bebas!".
Ini sebenarnya ajakan Ibu Pertiwi. Ibu yang lebih dari separuh tubuhnya adalah air. l
Zen Hae
Penyair, Kritikus Sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo