Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di Selatan Mereka Bebas

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe divonis bebas. Jaksa menyebut hakim telah membelokkan pengertian unsur kerugian negara.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EDUARD Cornelis William Neloe tak henti-hentinya menebar senyum saat digiring menuju ke r-uang tahanan Pengadilan Ne-geri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Wajahnya sumringah meski terimpit di tengah puluhan wartawan, keluarga, dan sejumlah koleganya. Handai taulan tampak serabutan menjulurkan ta-ngan, menyampaikan rasa ikut gembira setelah hakim memvonisnya bebas. ”Selama ini saya mencari keadil-an dan hari ini saya menerima keadilan itu, mesti belum selesai,” kata bekas Direktur Utama Bank Mandiri ini.

Hari itu, majelis hakim yang dike-tuai Gatot Suharnoto memutuskan Neloe dan dua direktur Bank Mandiri, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan, tak bersalah sehingga harus dibebaskan. Bagi sebagian orang ramai, putusan ini sa-ngat mengejutkan mengingat sebelumnya jaksa menuntut ketiganya dengan pa-sal korupsi karena pemberian kredit bridging loan Rp 160 miliar dan kredit investasi US$ 18,5 juta kepada PT Cipta Graha Nusantara. Jaksa menjerat ketiganya dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Menurut Gatot, dalam kasus ini, setidaknya, ada tiga delik utama yang didak-wakan jaksa. Pertama, perbuatan mela-wan hukum; kedua, menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi;- dan ketiga, dapat merugikan keuangan negara. Unsur delik yang pertama, kata Gatot, sudah terbukti karena pemberian kredit itu menyimpang dari standard operation procedure (SOP). Misalnya, agunan yang seharusnya diikat, tak dilakukan secara sempurna. ”Padahal, di KPPBM (Kebijakan Perkreditan PT Bank Mandiri), itu harus juga dilakukan pengikatan,” kata dia.

Kedua, soal unsur memperkaya orang lain. Ini pun menurut Gatot juga terbukti. Sebab, dengan adanya kredit, uang yang dimiliki CGN bertambah sehingga akhirnya bisa membeli aset kredit PT Tahta Medan.

Adapun unsur ketiga, soal keuangan- negara, ini yang menurut Gator tidak ter-bukti. ”Berdasarkan keterangan saksi ahli, kerugian negara ini belum ada,” kata dia. Dalam soal ini, majelis hakim me-rujuk kepada Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara. ”Di situ disyaratkan kerugian harus memenuhi un-sur riil, nyata, dan jumlah yang pasti,”- ujarnya. Gatot menegaskan, keputusan kasus ini bulat, tak ada dissenting opinion atau pendapat yang berbeda.

Putusan bebas untuk Neloe mengejut-kan sejumlah pihak. Apalagi, jika mengingat jaksa menuntut Neloe tiga tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. ”Saya ke-cewa berat,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Baringin Sianturi, jaksa dalam kasus Neloe ini, menyebut h-akim telah melakukan pembelokan tajam d-a-lam menggunakan acuan menafsirkan un-sur ”dapat merugikan keuangan negara”. Saat membuktikan unsur ”perbuat-an melawan hukum” dan ”memper-kaya orang lain”, kata Baringin, h-akim menggunakan Undang-Undang Pem-be-ran-tas-an Korupsi. ”Tapi begitu menyang-kut ke-ru-gian negara, berbelok ke Undang-Un-dang Perbendaharaan Nega-ra,” kata dia.

Menurut Baringin, dalam Undang-Un-dang Pemberantasan Korupsi (UU Nomor 31/1999) dinyatakan, korupsi itu de-lik formil. Artinya, bila terpenuhi unsur-unsur melawan hukum dan memper-kaya orang lain, maka unsur dapat meru-gikan negara itu tak perlu nyata bentuk kerugian negaranya. Kata Baringin, cukup dengan adanya kecenderungan timbulnya kerugian negara.

Pengacara Neloe, Rocky Awondatu tak sependapat dengan Baringin. Menurut dia, hal yang lumrah jika hakim menggunakan Undang-Undang Perben-daharaan Negara. ”Kalau pun UndangUndang Pemberantasan Korupsi meng-atur soal kerugian negara, tak berarti bisa menepis undang-undang yang lain,” kata Rocky.

Rocky yakin negara memang tak dirugikan dalam kasus ini. Ia lantas menyebut adanya surat dari Bank Mandiri kepada Direksi Bank Mandiri, Sholeh Tasripan, pada 21 Desember dan 30 Desember 2005. Surat itu menyatakan bahwa pada kredit PT CGN itu tidak ada tunggakan bunga, denda, dan utang pokok berjalan lancar dan tersisa tagihan yang belum jatuh tempo karena tenggat-nya 2007.

Gatot mengatakan, memang tidak ada penjadwalan kembali utang dalam kasus ini. Sebab, jatuh tempo kredit itu se-mula memang sampai 2007. Namun, dia mengakui memang ada penangguh-an pembayaran bunganya, tapi, menurut hakim Gatot, itu bukan penghapus-an. Apalagi, pembayaran cicilannya lancar. ”Kreditnya tak bermasalah sehingga belum bisa disebut ada kerugian negara,” kata Gatot. Jaksa Baringin tak sependapat. Kalaupun sekarang masih mencicil, kata jaksa ini, itu merupakan tindak lanjut penyelesaian. ”Itu setelah kita tahan debitornya,” kata Baringin.

Pandangan jaksa Baringin sejalan de-ngan sikap Johanes Suhadi, salah satu hakim dalam kasus Bank Mandiri lainnya, yang mengadili pejabat PT CGN, yakni Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan. Majelis hakim yang dipim-pin Sri Mulyani ketika itu membebaskan ketiganya karena dinilai tidak terbukti merugikan keuangan negara. Putusan ini tidak bulat karena saat itu Suhadi mengajukan dissenting opinion.

Menurut Suhadi, sejak semula sudah- terdapat perbuatan melawan hukum da-ri proses pengajuan yang cepat—cuma se-hari—hingga pencairan kredit yang tan-pa memperhatikan analisis dan kemampuan debitor. Ini tidak sesuai de-ngan pedoman kerja Bank Mandiri dan aturan perbankan lainnya. ”Ini sudah melanggar prinsip kehati-hatian, sehing-ga rescheduling, aset yang tidak pernah di-ikat, dan kerugian negara sudah terjadi pada saat pemberian kredit,” kata Suhadi.

Mantan anggota Komisi Hukum DPR periode 1999–2004, Firman Djaya Daeli, juga menguatkan pandangan ini. Firman merujuk kepada semangat penyusunan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Menurut Ketua Bidang Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, Undang-Undang Pembe-rantasan Ko-rupsi memberikan perluasan terminologi terhadap unsur ”merugikan keuang-an negara”. ”Sehingga yang berpotensi merugikan negara juga bisa kena pasal tersebut,” katanya.

Menurut pakar hukum pidana dari Uni-versitas Indonesia, Rudi Satryo, da-lam kasus Bank Mandiri ini m-emang ter-dapat perbedaan penggunaan u-n-dang-undang antara hakim dan j-aksa. Me-nurut kaidah Undang-Undang Pem-be-rantasan Korupsi, kata Rudi, kata ”da-pat” tak harus menunjukkan ada unsur kerugian yang nyata. Namun, masalah-nya, kata Rudi, hakim selalu mencari rujukan untuk sesuatu yang pasti. Dalam soal kerugian negara, kata dia, UU Perbendaharaan Negara memberikan rumusan yang lebih jelas.

Lolosnya Neloe cs dari jerat hukum, di mata Wakil Koordinator Indon-esia Corruption Watch, Danang Widy-oko, memperkuat pandangan orang ba-hwa Peng-adilan Negeri Jakarta Selat-an me-rupakan kuburan bagi pemberantasan korupsi. Menurut data ICW, setidaknya ini dibuktikan dalam kasus Nurdin Halid, Pande Lubis dan Tjoko Tjandra, Ricardo Gelael dan Tomy Soe-har-to serta Su-djiono Timan. ”Kalaupun ada pelaku kasus Bank BNI dihukum berat, itu le-bih karena dipantau ketat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Danang.

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Andi Samsan Nganro menolak me-nanggapi kasus ini. Menurut dia, putus-an bebas itu sebenarnya hal yang tidak tabu dalam dunia peradilan. Cuma kare-na ulah sejumlah hakim yang tidak pro-fesional selama ini membuat masya-ra-kat sulit mempercayai putusan itu mur-ni berdasarkan hukum. ”Jadi, saya bi-sa paham perkara besar seperti Bank Mandiri mengundang reaksi,” katanya.

Abdul Manan, Dian Yuliastuti, Maria Hasugian


Jejak Neloe di Tangan Jaksa

SETELAH lebih kurang mendekam 10 bulan di tahanan, E.C.W. Neloe kini bernapas lega setelah hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya tak bersalah. Jaksa sendiri menyatakan akan melakukan upaya hukum kasasi atas putusan.

11 April 2005 Kejaksaan Agung mulai menyidik kasus kredit macet di Bank Mandiri, termasuk kredit ke PT Cipta Graha Nusantara Rp 160 miliar.

17 April 2005 Kejaksaan menangkap direksi Cipta Graha di Medan, yakni Saipul (komisaris), Edyson (direktur utama), dan Diman Ponijan (direktur).

27 April 2005 Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, diperiksa 11 jam sebagai saksi.

11 Mei 2005 Kejaksaan Agung menetapkan Wakil Direktur Bank Mandiri I Wayan Pugeg, Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan dan Neloe sebagai tersangka. Mereka juga dicekal.

12 Mei 2005 Pengacara Neloe dkk. minta pemeriksaan yang sedianya dilakukan Senin (16 Mei 2005) ditunda karena kliennya akan menghadiri rapat umum pemegang saham (RUPS).

16 Mei 2005 Neloe dkk. diperiksa di Kejaksaan Agung sebelum menghadiri RUPS. Salah satu keputusan RUPS: Neloe, Pugeg, dan Tasripan diberhentikan dengan hormat. RUPS memilih Agus Martowardojo sebagai direktur utama.

17 Mei 2005 Setelah diperiksa di Gedung Bundar, Neloe dkk. langsung ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung.

6 Juni 2005 Penahanan Neloe dkk. diperpanjang.

27 September 2005 Kejaksaan Agung melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

20 Februari 2006 Hakim menvonis bebas Neloe, Pugeg, dan Tasripan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus