Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batu itu hanya sebesar ibu jari orang dewasa. Warnanya hitam, per-mukaannya mulus. Hampir- tia-da beda dengan batu kali. Ta-pi air muka Ryaas Rasyid, man-tan Menteri Negara Pendayaguna-an Aparatur Negara, amat serius. Ia men-je-pit sang batu di antara ibu jari dan te-lunjuknya, lalu mencemplungkan-nya ke dalam gelas berisi air putih.
”Keanehan” terjadi setelah Ryaas- membubuhkan garam dan mengaduk-nya hingga larut. Batu yang sudah ber-ada di dasar itu perlahan naik, seolah-olah ada energi yang menariknya ke atas. ”Katanya ini fosil tumbuhan yang meng-alami proses alam dan menjadi batu. Dia akan mengapung kalau ber-ada di air asin,” ucapnya, pertengahan bulan ini.
Ryaas tidak berbicara tentang otonomi daerah, tapi tentang pengetahuannya mengenai batu akik—batuan alam, biasa digunakan untuk mata cincin. Ho-bi ini sudah dilakoni sejak ia menjadi asisten dosen di Institut Ilmu Pemerin-tah-an (IIP), awal 1980-an. Dan kini -ma-ta-nya pintar memilah-milah batuan itu. Adalah seniornya, Sumarsaid Murtono, dosen di IIP, yang menularkan rasa cinta itu. ”Dia selalu- mengenakan cincin. Tapi mata cin-cinnya tidak pernah sama setiap hari,” tuturnya mengenang. Dari situ ia memetik pelajaran: motif itu se-perti sidik jari manusia. Satu batu berbeda dengan batu lainnya.
Kini, di rumahnya di Pondok La-bu, Jakarta Selatan, terdapat sebuah ko-tak yang berisi batu koleksi-nya. Salah satunya pemberian Wi-ran-to, Panglima ABRI pada era pemerintahan Soeharto. Motifnya mendekati kepala wanita yang mengenakan mahkota. Tapi, k-arena ukurannya cukup besar, -Ryaas le-bih suka menjadikan batu itu bandul ka-lung. Selain itu, ada lagi pemberian- kawannya di Lampung. Warnanya me-rah tua, bagian tengahnya ada ga-ris-garis emas membentuk relief. Ji-ka di-amat-amati dengan seksama, relief ta-di mirip dengan tulisan Arab, bismillah. ”Ini sangat langka. Hampir tidak ada yang punya.”
Motif adalah pusat daya tarik, se-te-lah itu perhitungan soal bentuk atau asal-muasal—semua yang kemudian berakhir- pada satu muara: eksklusivitas. Totot Su-tanto, kolektor batu akik yang ting-gal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, sangat bangga memiliki batu merah-putih. ”Mirip bendera Indonesia,” katanya. Karena keunikannya itu, Totot memperlakukan batu itu secara khusus. Dia bukan saja mengikat ”sang merah putih” dengan emas murni, tetapi juga menyimpannya dalam safe deposit di bank.
Totot mulai mengagumi tekstur batu sejak masih duduk di bangku SMP. Awal-nya ia menyimpan sembarang ba-tu. Patokannya cuma satu: bentuk yang unik. Namun lama-kelamaan dia mulai selektif. ”Motif dan bentuk gambar di dalam batu yang menarik minat saya,” kata-nya, seraya memperlihatkan batu yang memiliki motif menyerupai lambang Mercedes.
Totot berbeda dengan Ryaas. Ia sa-ngat jarang menggunakan batu itu untuk menghias jari. ”Kalau bertemu- orang yang tidak mengerti batu, malu juga memakainya. Nanti dikira dukun,”- katanya. Lain halnya dengan Mohammad- Amin, kolektor batu akik dari Pasuruan, Jawa Timur. Ketua Partai Bintang Reformasi Kota Pasuruan ini justru ham-pir setiap hari memamerkan batu akik kebanggaannya, batu akik hijau- dengan gurat-gurat hitam di seluruh permukaannya. Batu itu selalu setia menemani ke mana pun dia pergi. Tapi batu kebanggaannya itu bukan menghias jari. ”Di ikat pinggang,” kata dia. ”Barangkali, di Indonesia, hanya saya yang punya.” Dia memperlihatkan batu yang menempel di kepala ikat pinggangnya.
Batu itu dia beli dari seorang kolektor di Martapura, Kalimantan Selatan. Awalnya sang pemilik menyodorkan- harga Rp 10 juta. Setelah terjadi ta-war-menawar yang alot, Amin akhir-nya bi-sa membawa pulang batu indah itu dengan harga Rp 4 juta plus salah satu koleksinya yang harganya sekitar Rp 3,5 juta. ”Banyak kolektor yang bermi-nat dengan batu ini, termasuk Pak Ryaas- Rasyid-,” katanya.
Ryaas membenarkan ketertarikannya- memiliki batu kebanggaan Amin tadi. Selain batu itu, ada dua batu lain yang saat ini masih ia incar untuk menambah- koleksinya. Satu ber-motif wajah manusia dan satunya lagi batu hijau jernih de-ngan garis-garis kuning- di dalamnya. Untuk motif yang terakhir ini Ryaas- mengaku pernah melihatnya di dalam mimpi. ”Tapi sudah setahun saya cari belum ketemu,” ujarnya.
Obsesi akan batu tertentu tak lekas luntur. Ryaas pernah menempuh aneka cara untuk mendapatkan batu akik milik seorang pejabat di Sulawesi. Tapi, hingga pejabat itu meninggal dunia, ba-tu yang dia idam-idamkan belum juga diperoleh. Dan ia sabar. ”Belakangan, anak almarhum menemui saya dan mem-berikan batu itu. Penantian saya ternyata tidak sia-sia.” Meski tergilagila terhadap keindahan batu akik, Ryaas- ti-dak memiliki bujet khusus untuk ho-binya itu. Hanya- ada satu koleksi-nya yang dibeli -de-ngan- harga Rp 1 juta. Kalau harganya lebih dari itu, ia akan berpikir ulang.
Tapi Mohammad Amin tak berhenti- sampai di situ. Satu kali ia menemukan- batu akik yang sudah lama dicari di sa-tu toko di Banjarmasin. Batu yang dijual Rp 1,5 juta itu ditawar Amin Rp 1 juta. Karena si pemilik ber-geming, ia pun meninggalkan tempat itu. Tapi, sepanjang perjalanan pikiran Amin tidak bisa lepas dari batu itu. Ia akhirnya kembali ke toko tadi, namun barang itu sudah terjual. ”Beberapa hari saya tak bisa tidur memikirkan batu akik itu.”
Di lain waktu, ia berkunjung ke Solo bersama istri dan anak-anaknya. Di pasar batu akik Kota Solo, ia membeli lima batu yang juga sudah lama dicari-nya. Karena tak membawa uang lebih, ia menawarkan si pedagang untuk menukar lima buah akik itu de-ngan mobilnya, Fiat 124 keluaran tahun 1974. Si pedagang tentu saja setuju. Alhasil, dia pun mem-boyong keluarganya pulang ke Pasuruan dengan bus umum. ”Istri- saya marah-marah terus sepanjang perjalanan,” katanya tertawa-tawa.
Cerita batu dari Solo itu belum berakhir. Dua minggu setelah tiba di Pasuruan, dia bertemu kolektor yang berprofesi sebagai dokter. Ketika Amin memamerkan hasil buruannya, ternyata dokter itu menaruh hati. Dia berminat untuk memiliki dua dari lima batu tadi. Bahkan sang dokter bersedia menukarnya dengan mobil Toyota Corona keluaran tahun 1974. Tanpa ba-nyak berpikir, A-min pun meng-anggukkan kepala.
Baik Ryaas, Amin, maupun Totot- sa-ma-sama tidak percaya dengan ceritacerita- klenik seputar batu akik. Mereka hanya mengagumi- keindah-an yang dimiliki batu-batu itu. ”Saya sering memperhatikan batu-batu itu dan mem-bayangkan bagaimana proses pemben-tukannya,” kata anggota DPR dari Frak-si Partai Demokrasi Kebangsaan ini. Begitu juga dengan Amin. Dia meng-anggap motif yang dimiliki batu-batu itu sebagai sebuah keajaiban. ”Batu kok- bisa ada motif dan gambarnya,” kata dia. Keajaiban-keajaiban itulah yang selalu menggoda dia untuk terus berburu batu akik.
Suseno, Dewi Rahmarini, Bibin Bintariadi (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo