DIA bukan hanya seorang kontraktor yang memimpin sebuah
perseroan. Lebih dari itu, ia adalah anggota lembaga tertinggi
negara, MPR, yang punya suara dalam menilai Presiden. Tapi
kini martabatnya terguncang. H. Rusland Kasmiri, 40 tahun,
dituduh terlibat dalam perkara korupsi proyek reboisasi
Kalimantan Selatan.
Kejaksaan bahkan sudah beranjak jauh: meminta izin dari presiden
untuk memeriksanya. Izin presiden diberikan, seperti diumumkan
Jaksa Agung Ismail Saleh minggu lalu, bersamaan dengan
permintaan jaksa untuk memeriksa Najoan Willy Arnold.
Apabila Rusland adalah wakil Persatuan Pembangunan Kalimantan
Tengah di MPR, Ir. Najoan adalah wakil Golkar dari Sulawesi
Utara. Tapi persoalan mereka sama: Najoan, bekas kepala Dinas
Pertanian itu, juga diperiksa jaksa dalam perkara penyelewengan
dana penghutanan kembali areal gundul di Sulawesi Utara.
Tonjokan Jaksa Agung, yang dimulai akhir tahun lalu sampai
dengan hari ini, masih diarahkan kepada orang-orang yang
menciptakan "hutan-hutan hantu" areal yang menurut laporan sudah
"hijau" tapi ternyata tetap gundul.
Maka tercapailah, untuk kesekian kalinya, kehangatan baru
semangat antikorupsi. Apalagi ketika Pangab/Pangkopkamtib
Jenderal Benny Murdani mencanangkan kembali perlunya "kampanye
nasional antikorupsi". Ia Senin pekan ini bahkan dikutip
mengatakan: "Saya tidak sekadar bicara!"
Sebetan Jaksa Agung di sektor kehuunan menampilkan puluhan
tersangka koruptor yang terdiri dari kepala-kepala Dinas
Kehutanan dan pemborong-pemborong dari berbagai daerah.
Kegelisahan orang-orang yang terlibat "makan" uang negara dalam
rangka reboisasi agaknya telah sampai puncaknya. Seorang
Bendaharawan Proyek Reboisasi Dinas Kehutanan Lampung, Bustami
Ismail, melarikan diri ketika diperiksa kejaksaan, 18 Maret
lalu. Sampai sekarang Bustami masih buron bersama keluarga dan
anak-anaknya.
Peristiwa yang lebih tragis lagi terjadi di Pontianak,
Kalimantan Barat. Seorang pemborong proyek reboisasi, Kepala
Cabang CV Sinar Teknik, Ir. Sri Hartoyo, nekat membuang diri
dari jembatan setinggi 11 meter di kou itu, 10 April lalu. Mayat
ayah dua orang anak itu baru ditemukan dua hari kemudian dalam
keadaan membusuk.
Ceritanya pada minggu itu, Yanto, sopir Hartoyo, diajak
jalan-jalan oleh bosnya keliling Kota Pontianak. Yanto tidak
curiga sedikit pun, walau Daihatsu Taft KB 1280 yang
dikendarainya telah 2 jam berkeliling kota, tanpa perintah yang
jelas dari tuannya. Begitu juga ketika Sri Hartoyo memintanya
melewati dua buah jembatan ke arah Siantan. Sebelum sampai di
jembatan kedua, Hartoyo mampir di sebuah bengkel, untuk menulis
sesuatu di kertas memo. Ternyata itulah surat terakhir Hartoyo
untuk Direktur Utama CV Sinar Teknik di Jakarta, Yulius Edward
Sierang, dan kepada dua anaknya yang kini tinggal di Malang.
Beberapa meter dari jembatan, Hartoyo meminta sopirnya
menghentikan kendaraan. Ia turun dan berpesan: "Nanti jemput
saya di sini," kata Hartoyo, 37 tahun, agaknya memilih jalan
pendek: membunuh diri. Semula, begitu lompat ke sungai, ia
sempat ditolong dua orang penduduk yang tinggal dekat jembatan
itu. Tapi, "ia memberontak dan kembali menerjunkan diri," ujar
Ramli Yasin, yang mencoba menolongnya. Pada penerjunan yang
kedua, insinyur lulusan IPB itu tak tertolong lagi Selain surat
untuk atasan dan anaknya, ia berwasiat: minta dikuburkan di
samping makam istrinya, yang juga bunuh diri, Agustus tahun lalu.
Padahal kesalahan Sri Hartoyo, menurut pemeriksa di kejaksaan
Pontianak, tidak begitu besar - karena ia belum lama menjabat
sebagai pimpinan cabang CV Sinar Teknik. Namun, perusahaannya
itu merupakan kontraktor terbesar proyek reboisasi di Kalimantan
Barat. Porsinya tidak kurang Rp 8 milyar dari Rp 13,4 milyar
anggaran reboisasi daerah itu sejak 1978.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Masydulhak Simatupang,
membenarkan bahwa Sri Hartoyo termasuk daftar tersangka bersama
direktur utama CV Sinar Teknik, Saerang, dari 13 orang yang
mungkin akan duduk di kursi terdakwa. Manipulasi reboisasi itu,
kata Masydulhak, melibatkan semua tingkatan pejabat di Kantor
Dinas Kehutanan daerah itu. Mulai dari penyiapan lahan, pengolahan
tanah, pembibitan, penanaman sampai ke pemeliharaan, pokoknya
setiap tahap pekerjaan, "punya urif tertentu," ujar Masydulhak.
Bukti-bukti sementara yang diperoleh, menurut jaksa tinggi ini,
telah cukup untuk menyeret para tersangka ke pengadilan. Seperti
juga yang terjadi di daerah-daerah lain, modus operandi
manipulasi reboisasi di Kalimantan Barat, juga berupa
laporan-laporan fiktif. Misalnya, pohon pinus yang disetujui
kontrak, oleh pemborong diganti dengan sungkai, salah satu bibit
lokal.
Musydulhak sendiri yang mempimpin timnya, terdiri dari 30 orang
jaksa, turun ke lapangan.
Pengecekan langsung ke hutan-hutan sebelumnya juga telah
dilakukan oleh tim kejaksaan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tengah - beberapa tersangka di kedua daerah ini telah
disidangkan. "Ini tugas terberat yang pernah dilakukan kejaksaan
dalam mengusut korupsi," ujar Baharuddin Lopa, yang berhasil
mengungkapkan korupsi sebanyak Rp 7 milyar dalam proyek
reboisasi di daerahnya. Petugas ke)aksaan, katanya, terpaksa
menelusuri gunung dan lembah-lembah untuk menyaksikan sendiri
keadaan lapangan. Adakalanya, kata Lopa petugas terpaksa jalan
kaki selama 8 hari untuk mencapai suatu lokasi reboisasi.
Hamzah Patangri, petugas Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi
Sul-Sel, juga mengatakan: "Tujuh hari tujuh malam kami jalan
kaki dan naik kuda untuk sampai ke lokasi." Repotnya, penunjuk
jalan terpaksa rninta dari dinas kehutanan setempat, yang
biasanya terlibat dalam manipulasi itu. "Mereka sering
mengalihkan arah perjalanan agar tidak sampai ke tempat lokasi,"
kata Hamzah. Untungnya kejaksaan sudah siap menghadapi segala
macam tipudaya. Sebelum berangkat, kata Hamzah, petugas
pemeriksa sudah diajari mengenal jarak, titik koordinat lokasi,
sehingga "tipudaya mereka gagal," tambah Hamzah puas.
Rivai Bulu, petugas lain, pernah hampir terJebak perangkap yang
dipasang oknumoknum dinas kehutanan. Diam-diam ia digiring
menempuh jalan yang sangat berbahaya. "Kalau ajakan itu saya
ikuti, tidak tahu apa saya bisa kembali," ujar Rivai. Namun,
cerita Rivai, ia "mendapat firasat" sehingga selamat. Rivai
akhirnya dapat menemukan bukti-bukti yang berguna untuk sidang
pengadilan: Suatu lokasi, yang sebelumnya dilaporkan terbakar,
ternyata tidak benar. Rivai tidak menemukan bekas-bekas
kebakaran seperti yang dilaporkan.
Menurut Rivai, manipulasi reboisasi itu sudah diatur oleh
pejabat-pejabat dan kontraktor sedemikian rapi. Daerah yang
lebih gampang dijangkau pemeriksa, pelaksanaan reboisasinya lebih
baik. Tambah sulit lokasi itu didatangi, pelaksanaan proyek
reboisasinya tambah kurang. "Di daerah yang paling sulit,
didapati hasil keria nol persen," katanya.
Hutan reboisasi yang tetap gundul, seperti di Sul-Sel itu, juga
ditemukan jaksa di Lampung - yang pernah mendapat penghargaan
karena proyek reboisasinya paling berhasil di Sumatera. Percaya
atau tidak, proyek reboisasi di daerah ini dilaksanakan sendiri
oleh kantor Dinas Kehutanan dengan unit-unitnya di daerah
tingkat II. Setiap unit yang melaksanakan pekeriaan itu menurut
Kepala Kejaksaan Tinggl Lampung, Murni Rauf, hanya mendapatkan
anggaran 77,5%. Sisanya, menurut kejaksaan, telah dipotong oleh
Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Ir. Suhardjo Tjotrowinoto,
sebesar 10% dan bagi kepala cabang di daerah tingkat II, 12,5%.
Namun tuduhan itu dibantah Ir. Suhardjo: "Saya tidak tahu menahu
tentang pemotongan itu - apalagi menerima 10%."
Yang jelas Kejaksaan Tinggi Lampung sekarang tengah sibuk
mengusut bocornya anggaran reboisasi sebesar Rp 2,5 milyar sejak
tahun 1978 - dalam kasus inilah Bendaharawan Proyek Kehutanan
Lampung, Bustami Ismail, buron. "Sebenarnyalah, pelarian itu
hanya menyulitkan ia sendiri, karena kami telah menyebarkan
foto-fotonya ke seluruh Indonesia," ujar Murni Rauf.
Melihat desakan-desakan jaksa, sulit bagi dinas kehutanan yang
memainkan dana reboisasi akan selamat. Sebab kerja sama masih
akan tetap mengarahkan aparatnya ke sana. Apalagi, sebuah sumber
menyebutkan, kebocoran anggaran reboisasi di seluruh Indonesia
mencapai 30%. Setiap tahun pemerintah memang meningkatkan
anggaran serta areal reboisasi dan penghijauan. Dari 1978 sampai
1981, menurut APBN sekitar 1.985.000 hektar tanah dihijaukan.
Dan 776 hektar hutan-hutan yang rusak disulam kembali. Namun
sumber TEMPO menyebutkan pula l.ahwa setiap tahun tidak kurang
dari 200 rib. hektar lahan kritis bertambah. Untuk mengatasi
kegawatan itu pemerintah tidak tanggung-tanggung membuat
anggaran. Tahun 1980/1981, misalnya, sekitar Rp 20 milyar uang
negara dihabiskan untuk penghutanan kembali.
Anggaran sebesar itu rupanya merupakan incaran para koruptor.
Namun, Menteri Kehutanan Sudjarwo, yang sebelumnya menjabat
Dirjen Kehutanan, tidak melihat instansi yang dipimpinnya
memecahkan rekor angka kebocoran. "Urusan kehutanan itu selalu
paling banyak dibicarakan. Dari HPH, industri kayu, sekarang
reboisasi," ujar Sudjarwo.
Penyelewengan di kehutanan, menurut Sudjarwo, bisa saja terjadi,
tapi jumlah yang pasti be!um diketahui. "Pengadilan saja belum
blsa mengungkapkan berapa persisnya kebocoran itu," ujar
Sudjarwo lagi. Ia melihat penyebab penyelewengan itu hanya
karena mental generasi sekarang. "Di aman Belanda,
menyelewengkan satu gulden pun takut," ujar Sudjarwo, tamatan
sekolah kehutanan, Middlebare Bosbosno School.
Sudjarwo, yang pengalamannya sudah berakar di bidang kehutanan
itu membantah bahwa ada orang-orang pusat yang terlibat dalam
manipulasi sekarang ini. "Itu hanya di daerah," katanya. Ia juga
membantah sistem pengawasan di instansinya lemah. "Kita selalu
mendapat laporan, di mana proyek yang berhasil atau tidak
berhasil. Jika tidak berhasil harus diteliti apa karena
kebakaran atau memang penyelewengan," u)ar Sud)arwo lagi, sambil
mengingatkan bahwa kebocoran bukan hanya terjadi di instansinya
sa)a.
Pendapat Sudjarwo itu memang dibuktikan oleh Jaksa Agung Ismail
Saleh yang memerintahkan semua kepala ke)aksaan tinggi mengamati
kebocoran-kebocoran di berbagai sektor.
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur boleh ditengok pertama sekali. Bekas
jaksa pengusut kasus Tampomas, Bob Nasution, yang sejak awal
tahun ini menjadi Asisten Intelijen di Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur, cukup sibuk melacak berbagai tempat yang diduga sebagai
sumber kebocoran. Dalam waktu dua bulan ini, kejaksaan menemukan
milyaran uang negara bocor. Kasus yang tengah diusut terjadi di
dinas transmigrasi, agraria, Bank Pacific, Perumnas, Dolog,
dinas perikanan sampai ke KUD-KUD nelayan.
Di sektor transmigrasi, tersebutlah "orang kuat" bernama
Boenarto Tedjoisworo alias The Boen Hwa, 36 tahun, direktur PT
Repelita Karya, dan Frans Bakery. Menurut sumber TEMPO, Boen ini
berhasil menguasai semua tender untuk keperluan transmigrasi,
berupa pengadaan makanan, pengepakan barang, angkutan, dan
pengadaan barang sejak tahun 1978. "Setiap bagian itu ratarata
ditenderkan Rp 700 juta per tahun," ujar sumber tadi.
Cara kerja Boen Hwa cukup unik. "Sebanyak 20 perusahaan yang
berhasil mendapatkan tender ternyata kepunyaan Boen juga," kata
sumber itu. Sebab semua perusahaan itu dipimpin "direktur boneka"
yang didalangi Boen Hwa. Karena itu Boen Hwa berhasil melakukan
manipulasi setiap tahun, yang diperkirakan, semuanya mencapai
angka Rp 3 milyar.
Strategi Boen Hwa memenangkan persaingan sangat lihai. Ia
menawarkan barang paling murah, ketika instansi yang mengurus
transmigrasi memerlukan cangkul "cap mata" untuk para transmigran.
"Tapi yang dilakukannya kemudian hanya membeli cangkul buatan
kampung dan kemudian dibubuhinya cap sendiri," kata sumber itu.
Begitu juga ketika dinas transmigrasi membuka penawaran pengadaan
gergaji cap "roda terbang". Tak seorang rekanan pun yang mampu
ikut tender, kecuali Boen Hwa. Sebab cap yang diminta dalam tender
itu tidak pernah dikenal. Tapi Boen Hwa berhasil mengadakan gergaji
yang diminta. Caranya: "Ia menyiapkan sapi dengan tanduk kuda dan
orang transmigrasi menganggap itu benar-benar tanduk kuda,"
tambah sumber itu lagi. Artinya gergaji itu dibikinnya sendiri.
Boen Hwa, yang memang diperiksa terus menerus oleh Kejaksaan
Tinggi, pekan lalu membantah punya puluhan perusahaan dan selalu
memenangkan tender dengan nilai milyaran rupiah sejak tahun
1978. "Laporan itu menyesatkan, orang yang melapor harusnya
dituntut," ujar Boen Hwa. Namun ia membenarkan bahwa pernah
membuat gergaji cap "roda terbang". "Saya memproduksi sendiri
dan mutunya boleh bersaing," ujarnya.
Bob Nasution yang semula mengusut kasus itu tidak banyak
komentar. "Tunggu saja, pelaku-pelakunya sedang diperiksa," ujar
Bob. Ia bertekad akan menyelesaikan semua kasus korupsi di Jawa
Timur sampai tuntas, walau bulan ini ia sudah ditarik kembali ke
Jakarta, untuk menjabat sebagai kepala di Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat.
Bob pula yang mengusut permainan antara Dolog dengan rekanannya,
Direktur PT Bama Indo, Tjahyono Soehardi, dalam rangka
penyaluran jagung di Jawa Timur. Sejak 1980 Tjahyono mendapat
jatah sekitar 130.000 ton jagung dari Dolog Ja-Tim. Jaminannya,
hanya berupa "bank garansi" dari Bapindo (Bank Pembangunan
Indonesia), sebanyak Rp 5 milyar. Ternyata, ketika Dolog ingin
mencairkan jaminan itu, 1982, PT Bama Indo tidak mempunyai dana.
"Tapi kontrak dengan PT Bama Indo itu sudah merupakan ketentuan
dari pusat," ujar Kepala Dolog Ja-Tim, Djafar, kepada TEMPO
Sebab itu pula Dolog Ja-Tim, konon, tldak membenkan )atah )agung
itu kepada PT Indocorn, walau pabrik minyak jagung "Sintanola"
itu sangat membutuhkan bahan baku.
Cara menggerogoti uang negara yang lain juga ditemukan oleh
kejaksaan di Jawa Timur. Seorang eksportir udang dan kodok, Tan
Si Ko, menurut pengusutan kejaksaan terbukti "memakan" devisa
negara sebanyak US$1.445 ribu atau lebih dari Rp 1,4 milyar.
Caranya, pihak importir di Hongkong, tanpa melalui Bank
Indonesia mentransfer uang langsung seharga ekspor itu ke
rekening Tan Si Ko di Bank Pacific Surabaya. Padahal Si Ko sudah
menerima pembayaran ekspornya dalam bentuk rupiah dari BI. "Jadi
devisa yang seharusnya masuk ke BI ditarik kembali oleh Tan Si
Ko," ujar Kepala Kejaksan Tinggi Ja-Tim, Soesandi. Soesandi
membenarkan, dalam kasus itu terlibat Kepala Cabang Bank Pasific
Surabaya, Herman Suroto.
Adakah jurus baru antikorupsi Ismail Saleh dan kampanye Benny
Moerdani kali ini akan membuahkan hasil? Masyarakat menunggu.
Yang skeptis juga banyak. Dalam suatu penerbitan ma)alah
Amerika, Fortune, Indonesia pernah dinilai yang terburuk keadaan
korupsinya di Asia - dan kanker itu meruyak ke mana-mana.
Kalaupun niat memberantasnya cukup keras, prosesnya akan
bertahun-tahun.
Mungkin karena itu - apalagi di masa sulit ini - pemerintah
menggodok sebuah badan baru dengan nama Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan di bawah Menko Ekuin Ali Wardhana. Dirjen
Pengawasan Keuangan Negara dipimpin Drs. Gandhi, yang
disebut-sebut "sukses" membongkar penyelewengan pembangunan
SD Inpres, akan menjadi pelaksana harian dari badan ini.
Kalau badan ini terbentuk, sejarah antikorupsi di Indonesia akan
bertambah panjang. Selain Polri, selama ini sudah ada kejaksaan
yang mengurus berbagai penyelewengan. Kemudian dibentuk lagi Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dikoordinasikan Kejaksaan
Agung. Setelah itu berbagai instansi seperti Irjenbang, Menpan,
Irjen-Irjen Departemen, BPK, bahkan Opstib ikut turun tangan
membenahi semua bentuk penyelewenan. Begitu panjangnya
daftar itu sehinggaorang yang sinis bisa melucu seperti humoris
Mark Twain tentang usahanya yang gagal untuk berhenti merokok:
menghentikan korupsi itu mudah, buktinya kita melakukannya
berkalikali.
Apalagi kalau pengakuan tersangka Kepala BPP (Badan Pemeriksa
Pekerjaan) Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, M. Tanos, bisa
dipercaya, korupsi itu sudah bagaikan subversi langsung terhadap
kepercayaan orang kepada pemerintah. Sebab sementara Tanos
mengakui kantorya menyeleweng, ia uga bilang semua itu untuk
menutup pos yang tidak ada dananya. Uang itu tak lain rupanya,
menurut Tanos, untuk melayani berbagai pemeriksa, antaranya dari
BPK, Bappenas, Kantor Pengawas Anggaran Negara, Direktorat
Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan seterusnya....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini