Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di Tengah Hutan Korupsi Jurus Baru Melawan Korupsi?

Beberapa kasus korupsi di proyek reboisasi, dan penindakannya. Apel tgl 17 di beberapa departemen sebagai salah satu upaya penertiban aparatur negara. (hk)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA bukan hanya seorang kontraktor yang memimpin sebuah perseroan. Lebih dari itu, ia adalah anggota lembaga tertinggi negara, MPR, yang punya suara dalam menilai Presiden. Tapi kini martabatnya terguncang. H. Rusland Kasmiri, 40 tahun, dituduh terlibat dalam perkara korupsi proyek reboisasi Kalimantan Selatan. Kejaksaan bahkan sudah beranjak jauh: meminta izin dari presiden untuk memeriksanya. Izin presiden diberikan, seperti diumumkan Jaksa Agung Ismail Saleh minggu lalu, bersamaan dengan permintaan jaksa untuk memeriksa Najoan Willy Arnold. Apabila Rusland adalah wakil Persatuan Pembangunan Kalimantan Tengah di MPR, Ir. Najoan adalah wakil Golkar dari Sulawesi Utara. Tapi persoalan mereka sama: Najoan, bekas kepala Dinas Pertanian itu, juga diperiksa jaksa dalam perkara penyelewengan dana penghutanan kembali areal gundul di Sulawesi Utara. Tonjokan Jaksa Agung, yang dimulai akhir tahun lalu sampai dengan hari ini, masih diarahkan kepada orang-orang yang menciptakan "hutan-hutan hantu" areal yang menurut laporan sudah "hijau" tapi ternyata tetap gundul. Maka tercapailah, untuk kesekian kalinya, kehangatan baru semangat antikorupsi. Apalagi ketika Pangab/Pangkopkamtib Jenderal Benny Murdani mencanangkan kembali perlunya "kampanye nasional antikorupsi". Ia Senin pekan ini bahkan dikutip mengatakan: "Saya tidak sekadar bicara!" Sebetan Jaksa Agung di sektor kehuunan menampilkan puluhan tersangka koruptor yang terdiri dari kepala-kepala Dinas Kehutanan dan pemborong-pemborong dari berbagai daerah. Kegelisahan orang-orang yang terlibat "makan" uang negara dalam rangka reboisasi agaknya telah sampai puncaknya. Seorang Bendaharawan Proyek Reboisasi Dinas Kehutanan Lampung, Bustami Ismail, melarikan diri ketika diperiksa kejaksaan, 18 Maret lalu. Sampai sekarang Bustami masih buron bersama keluarga dan anak-anaknya. Peristiwa yang lebih tragis lagi terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat. Seorang pemborong proyek reboisasi, Kepala Cabang CV Sinar Teknik, Ir. Sri Hartoyo, nekat membuang diri dari jembatan setinggi 11 meter di kou itu, 10 April lalu. Mayat ayah dua orang anak itu baru ditemukan dua hari kemudian dalam keadaan membusuk. Ceritanya pada minggu itu, Yanto, sopir Hartoyo, diajak jalan-jalan oleh bosnya keliling Kota Pontianak. Yanto tidak curiga sedikit pun, walau Daihatsu Taft KB 1280 yang dikendarainya telah 2 jam berkeliling kota, tanpa perintah yang jelas dari tuannya. Begitu juga ketika Sri Hartoyo memintanya melewati dua buah jembatan ke arah Siantan. Sebelum sampai di jembatan kedua, Hartoyo mampir di sebuah bengkel, untuk menulis sesuatu di kertas memo. Ternyata itulah surat terakhir Hartoyo untuk Direktur Utama CV Sinar Teknik di Jakarta, Yulius Edward Sierang, dan kepada dua anaknya yang kini tinggal di Malang. Beberapa meter dari jembatan, Hartoyo meminta sopirnya menghentikan kendaraan. Ia turun dan berpesan: "Nanti jemput saya di sini," kata Hartoyo, 37 tahun, agaknya memilih jalan pendek: membunuh diri. Semula, begitu lompat ke sungai, ia sempat ditolong dua orang penduduk yang tinggal dekat jembatan itu. Tapi, "ia memberontak dan kembali menerjunkan diri," ujar Ramli Yasin, yang mencoba menolongnya. Pada penerjunan yang kedua, insinyur lulusan IPB itu tak tertolong lagi Selain surat untuk atasan dan anaknya, ia berwasiat: minta dikuburkan di samping makam istrinya, yang juga bunuh diri, Agustus tahun lalu. Padahal kesalahan Sri Hartoyo, menurut pemeriksa di kejaksaan Pontianak, tidak begitu besar - karena ia belum lama menjabat sebagai pimpinan cabang CV Sinar Teknik. Namun, perusahaannya itu merupakan kontraktor terbesar proyek reboisasi di Kalimantan Barat. Porsinya tidak kurang Rp 8 milyar dari Rp 13,4 milyar anggaran reboisasi daerah itu sejak 1978. Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Masydulhak Simatupang, membenarkan bahwa Sri Hartoyo termasuk daftar tersangka bersama direktur utama CV Sinar Teknik, Saerang, dari 13 orang yang mungkin akan duduk di kursi terdakwa. Manipulasi reboisasi itu, kata Masydulhak, melibatkan semua tingkatan pejabat di Kantor Dinas Kehutanan daerah itu. Mulai dari penyiapan lahan, pengolahan tanah, pembibitan, penanaman sampai ke pemeliharaan, pokoknya setiap tahap pekerjaan, "punya urif tertentu," ujar Masydulhak. Bukti-bukti sementara yang diperoleh, menurut jaksa tinggi ini, telah cukup untuk menyeret para tersangka ke pengadilan. Seperti juga yang terjadi di daerah-daerah lain, modus operandi manipulasi reboisasi di Kalimantan Barat, juga berupa laporan-laporan fiktif. Misalnya, pohon pinus yang disetujui kontrak, oleh pemborong diganti dengan sungkai, salah satu bibit lokal. Musydulhak sendiri yang mempimpin timnya, terdiri dari 30 orang jaksa, turun ke lapangan. Pengecekan langsung ke hutan-hutan sebelumnya juga telah dilakukan oleh tim kejaksaan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah - beberapa tersangka di kedua daerah ini telah disidangkan. "Ini tugas terberat yang pernah dilakukan kejaksaan dalam mengusut korupsi," ujar Baharuddin Lopa, yang berhasil mengungkapkan korupsi sebanyak Rp 7 milyar dalam proyek reboisasi di daerahnya. Petugas ke)aksaan, katanya, terpaksa menelusuri gunung dan lembah-lembah untuk menyaksikan sendiri keadaan lapangan. Adakalanya, kata Lopa petugas terpaksa jalan kaki selama 8 hari untuk mencapai suatu lokasi reboisasi. Hamzah Patangri, petugas Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, juga mengatakan: "Tujuh hari tujuh malam kami jalan kaki dan naik kuda untuk sampai ke lokasi." Repotnya, penunjuk jalan terpaksa rninta dari dinas kehutanan setempat, yang biasanya terlibat dalam manipulasi itu. "Mereka sering mengalihkan arah perjalanan agar tidak sampai ke tempat lokasi," kata Hamzah. Untungnya kejaksaan sudah siap menghadapi segala macam tipudaya. Sebelum berangkat, kata Hamzah, petugas pemeriksa sudah diajari mengenal jarak, titik koordinat lokasi, sehingga "tipudaya mereka gagal," tambah Hamzah puas. Rivai Bulu, petugas lain, pernah hampir terJebak perangkap yang dipasang oknumoknum dinas kehutanan. Diam-diam ia digiring menempuh jalan yang sangat berbahaya. "Kalau ajakan itu saya ikuti, tidak tahu apa saya bisa kembali," ujar Rivai. Namun, cerita Rivai, ia "mendapat firasat" sehingga selamat. Rivai akhirnya dapat menemukan bukti-bukti yang berguna untuk sidang pengadilan: Suatu lokasi, yang sebelumnya dilaporkan terbakar, ternyata tidak benar. Rivai tidak menemukan bekas-bekas kebakaran seperti yang dilaporkan. Menurut Rivai, manipulasi reboisasi itu sudah diatur oleh pejabat-pejabat dan kontraktor sedemikian rapi. Daerah yang lebih gampang dijangkau pemeriksa, pelaksanaan reboisasinya lebih baik. Tambah sulit lokasi itu didatangi, pelaksanaan proyek reboisasinya tambah kurang. "Di daerah yang paling sulit, didapati hasil keria nol persen," katanya. Hutan reboisasi yang tetap gundul, seperti di Sul-Sel itu, juga ditemukan jaksa di Lampung - yang pernah mendapat penghargaan karena proyek reboisasinya paling berhasil di Sumatera. Percaya atau tidak, proyek reboisasi di daerah ini dilaksanakan sendiri oleh kantor Dinas Kehutanan dengan unit-unitnya di daerah tingkat II. Setiap unit yang melaksanakan pekeriaan itu menurut Kepala Kejaksaan Tinggl Lampung, Murni Rauf, hanya mendapatkan anggaran 77,5%. Sisanya, menurut kejaksaan, telah dipotong oleh Kepala Dinas Kehutanan Lampung, Ir. Suhardjo Tjotrowinoto, sebesar 10% dan bagi kepala cabang di daerah tingkat II, 12,5%. Namun tuduhan itu dibantah Ir. Suhardjo: "Saya tidak tahu menahu tentang pemotongan itu - apalagi menerima 10%." Yang jelas Kejaksaan Tinggi Lampung sekarang tengah sibuk mengusut bocornya anggaran reboisasi sebesar Rp 2,5 milyar sejak tahun 1978 - dalam kasus inilah Bendaharawan Proyek Kehutanan Lampung, Bustami Ismail, buron. "Sebenarnyalah, pelarian itu hanya menyulitkan ia sendiri, karena kami telah menyebarkan foto-fotonya ke seluruh Indonesia," ujar Murni Rauf. Melihat desakan-desakan jaksa, sulit bagi dinas kehutanan yang memainkan dana reboisasi akan selamat. Sebab kerja sama masih akan tetap mengarahkan aparatnya ke sana. Apalagi, sebuah sumber menyebutkan, kebocoran anggaran reboisasi di seluruh Indonesia mencapai 30%. Setiap tahun pemerintah memang meningkatkan anggaran serta areal reboisasi dan penghijauan. Dari 1978 sampai 1981, menurut APBN sekitar 1.985.000 hektar tanah dihijaukan. Dan 776 hektar hutan-hutan yang rusak disulam kembali. Namun sumber TEMPO menyebutkan pula l.ahwa setiap tahun tidak kurang dari 200 rib. hektar lahan kritis bertambah. Untuk mengatasi kegawatan itu pemerintah tidak tanggung-tanggung membuat anggaran. Tahun 1980/1981, misalnya, sekitar Rp 20 milyar uang negara dihabiskan untuk penghutanan kembali. Anggaran sebesar itu rupanya merupakan incaran para koruptor. Namun, Menteri Kehutanan Sudjarwo, yang sebelumnya menjabat Dirjen Kehutanan, tidak melihat instansi yang dipimpinnya memecahkan rekor angka kebocoran. "Urusan kehutanan itu selalu paling banyak dibicarakan. Dari HPH, industri kayu, sekarang reboisasi," ujar Sudjarwo. Penyelewengan di kehutanan, menurut Sudjarwo, bisa saja terjadi, tapi jumlah yang pasti be!um diketahui. "Pengadilan saja belum blsa mengungkapkan berapa persisnya kebocoran itu," ujar Sudjarwo lagi. Ia melihat penyebab penyelewengan itu hanya karena mental generasi sekarang. "Di aman Belanda, menyelewengkan satu gulden pun takut," ujar Sudjarwo, tamatan sekolah kehutanan, Middlebare Bosbosno School. Sudjarwo, yang pengalamannya sudah berakar di bidang kehutanan itu membantah bahwa ada orang-orang pusat yang terlibat dalam manipulasi sekarang ini. "Itu hanya di daerah," katanya. Ia juga membantah sistem pengawasan di instansinya lemah. "Kita selalu mendapat laporan, di mana proyek yang berhasil atau tidak berhasil. Jika tidak berhasil harus diteliti apa karena kebakaran atau memang penyelewengan," u)ar Sud)arwo lagi, sambil mengingatkan bahwa kebocoran bukan hanya terjadi di instansinya sa)a. Pendapat Sudjarwo itu memang dibuktikan oleh Jaksa Agung Ismail Saleh yang memerintahkan semua kepala ke)aksaan tinggi mengamati kebocoran-kebocoran di berbagai sektor. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur boleh ditengok pertama sekali. Bekas jaksa pengusut kasus Tampomas, Bob Nasution, yang sejak awal tahun ini menjadi Asisten Intelijen di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, cukup sibuk melacak berbagai tempat yang diduga sebagai sumber kebocoran. Dalam waktu dua bulan ini, kejaksaan menemukan milyaran uang negara bocor. Kasus yang tengah diusut terjadi di dinas transmigrasi, agraria, Bank Pacific, Perumnas, Dolog, dinas perikanan sampai ke KUD-KUD nelayan. Di sektor transmigrasi, tersebutlah "orang kuat" bernama Boenarto Tedjoisworo alias The Boen Hwa, 36 tahun, direktur PT Repelita Karya, dan Frans Bakery. Menurut sumber TEMPO, Boen ini berhasil menguasai semua tender untuk keperluan transmigrasi, berupa pengadaan makanan, pengepakan barang, angkutan, dan pengadaan barang sejak tahun 1978. "Setiap bagian itu ratarata ditenderkan Rp 700 juta per tahun," ujar sumber tadi. Cara kerja Boen Hwa cukup unik. "Sebanyak 20 perusahaan yang berhasil mendapatkan tender ternyata kepunyaan Boen juga," kata sumber itu. Sebab semua perusahaan itu dipimpin "direktur boneka" yang didalangi Boen Hwa. Karena itu Boen Hwa berhasil melakukan manipulasi setiap tahun, yang diperkirakan, semuanya mencapai angka Rp 3 milyar. Strategi Boen Hwa memenangkan persaingan sangat lihai. Ia menawarkan barang paling murah, ketika instansi yang mengurus transmigrasi memerlukan cangkul "cap mata" untuk para transmigran. "Tapi yang dilakukannya kemudian hanya membeli cangkul buatan kampung dan kemudian dibubuhinya cap sendiri," kata sumber itu. Begitu juga ketika dinas transmigrasi membuka penawaran pengadaan gergaji cap "roda terbang". Tak seorang rekanan pun yang mampu ikut tender, kecuali Boen Hwa. Sebab cap yang diminta dalam tender itu tidak pernah dikenal. Tapi Boen Hwa berhasil mengadakan gergaji yang diminta. Caranya: "Ia menyiapkan sapi dengan tanduk kuda dan orang transmigrasi menganggap itu benar-benar tanduk kuda," tambah sumber itu lagi. Artinya gergaji itu dibikinnya sendiri. Boen Hwa, yang memang diperiksa terus menerus oleh Kejaksaan Tinggi, pekan lalu membantah punya puluhan perusahaan dan selalu memenangkan tender dengan nilai milyaran rupiah sejak tahun 1978. "Laporan itu menyesatkan, orang yang melapor harusnya dituntut," ujar Boen Hwa. Namun ia membenarkan bahwa pernah membuat gergaji cap "roda terbang". "Saya memproduksi sendiri dan mutunya boleh bersaing," ujarnya. Bob Nasution yang semula mengusut kasus itu tidak banyak komentar. "Tunggu saja, pelaku-pelakunya sedang diperiksa," ujar Bob. Ia bertekad akan menyelesaikan semua kasus korupsi di Jawa Timur sampai tuntas, walau bulan ini ia sudah ditarik kembali ke Jakarta, untuk menjabat sebagai kepala di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Bob pula yang mengusut permainan antara Dolog dengan rekanannya, Direktur PT Bama Indo, Tjahyono Soehardi, dalam rangka penyaluran jagung di Jawa Timur. Sejak 1980 Tjahyono mendapat jatah sekitar 130.000 ton jagung dari Dolog Ja-Tim. Jaminannya, hanya berupa "bank garansi" dari Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia), sebanyak Rp 5 milyar. Ternyata, ketika Dolog ingin mencairkan jaminan itu, 1982, PT Bama Indo tidak mempunyai dana. "Tapi kontrak dengan PT Bama Indo itu sudah merupakan ketentuan dari pusat," ujar Kepala Dolog Ja-Tim, Djafar, kepada TEMPO Sebab itu pula Dolog Ja-Tim, konon, tldak membenkan )atah )agung itu kepada PT Indocorn, walau pabrik minyak jagung "Sintanola" itu sangat membutuhkan bahan baku. Cara menggerogoti uang negara yang lain juga ditemukan oleh kejaksaan di Jawa Timur. Seorang eksportir udang dan kodok, Tan Si Ko, menurut pengusutan kejaksaan terbukti "memakan" devisa negara sebanyak US$1.445 ribu atau lebih dari Rp 1,4 milyar. Caranya, pihak importir di Hongkong, tanpa melalui Bank Indonesia mentransfer uang langsung seharga ekspor itu ke rekening Tan Si Ko di Bank Pacific Surabaya. Padahal Si Ko sudah menerima pembayaran ekspornya dalam bentuk rupiah dari BI. "Jadi devisa yang seharusnya masuk ke BI ditarik kembali oleh Tan Si Ko," ujar Kepala Kejaksan Tinggi Ja-Tim, Soesandi. Soesandi membenarkan, dalam kasus itu terlibat Kepala Cabang Bank Pasific Surabaya, Herman Suroto. Adakah jurus baru antikorupsi Ismail Saleh dan kampanye Benny Moerdani kali ini akan membuahkan hasil? Masyarakat menunggu. Yang skeptis juga banyak. Dalam suatu penerbitan ma)alah Amerika, Fortune, Indonesia pernah dinilai yang terburuk keadaan korupsinya di Asia - dan kanker itu meruyak ke mana-mana. Kalaupun niat memberantasnya cukup keras, prosesnya akan bertahun-tahun. Mungkin karena itu - apalagi di masa sulit ini - pemerintah menggodok sebuah badan baru dengan nama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan di bawah Menko Ekuin Ali Wardhana. Dirjen Pengawasan Keuangan Negara dipimpin Drs. Gandhi, yang disebut-sebut "sukses" membongkar penyelewengan pembangunan SD Inpres, akan menjadi pelaksana harian dari badan ini. Kalau badan ini terbentuk, sejarah antikorupsi di Indonesia akan bertambah panjang. Selain Polri, selama ini sudah ada kejaksaan yang mengurus berbagai penyelewengan. Kemudian dibentuk lagi Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dikoordinasikan Kejaksaan Agung. Setelah itu berbagai instansi seperti Irjenbang, Menpan, Irjen-Irjen Departemen, BPK, bahkan Opstib ikut turun tangan membenahi semua bentuk penyelewenan. Begitu panjangnya daftar itu sehinggaorang yang sinis bisa melucu seperti humoris Mark Twain tentang usahanya yang gagal untuk berhenti merokok: menghentikan korupsi itu mudah, buktinya kita melakukannya berkalikali. Apalagi kalau pengakuan tersangka Kepala BPP (Badan Pemeriksa Pekerjaan) Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, M. Tanos, bisa dipercaya, korupsi itu sudah bagaikan subversi langsung terhadap kepercayaan orang kepada pemerintah. Sebab sementara Tanos mengakui kantorya menyeleweng, ia uga bilang semua itu untuk menutup pos yang tidak ada dananya. Uang itu tak lain rupanya, menurut Tanos, untuk melayani berbagai pemeriksa, antaranya dari BPK, Bappenas, Kantor Pengawas Anggaran Negara, Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan seterusnya....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus