KALI ini polisi Komres 911 Banyumas benar-benar apes. Seorang
tersangka yang pernah digarap dan kemudian disidangkan di
Pengadilan, ternyata dibebaskan hakim. Bukan itu saja. Sang
terdakwa, Harsono Badai Samodra setelah dinyatakan bebas lantas
menggugat polisi agar membayar ganti rugi macam-macam yang
jumlahnya Rp 150 juta lebih. Tergugat pertama adalah Kepolisian
RI, yaitu Komres 911, ditambah 6 tergugat lagi yang terdiri dari
Kepala Bagian Reskrim, perwira Reskrim dan beberapa petugas
lainnya. Sidang gugatan yang jarang terjadi macam ini akan
dimulai awal bulan ini di Pengadilan Negeri Purwokerto.
Kisahnya dimulai ketika Abdul fatah yang memiliki dua buah
sertifikat tanah tertarik untuk bekerjasama dengan Harsono.
Terutama karena yang belakangan ini bekas anggota DPRGR/MPRS di
Jakarta, yang dengan demikian punya relasi baik di bank. Cuma
walaupun itu dinamakan kerjasama kredit Rp 3,5 juta yang didapat
berkat jaminan sertifikat Fatah tersebut, hanya diterima sendiri
oleh Harsono. Itulah sebabnya Jaksa M. Soewito menuntut Harsno
dihukum 5 bulan 7 hari.
Tapi Hakim Kasto Waloejo punya penilaian sendiri. Sebab
Abdulfatah dan Bank Dagang Negara cabang Purwokerto tidak merasa
dirugikan. Kedua sertifikat Abdulfatah toh cuma urusan intern
antara dia dengan Harsono -- yang telah sama-sama sepakat
bekerjasama. Pada waktu pengajuan kredit nama Abdulfatah tidak
dibawa dan hakim memaklumi anggapan terdakwa bahwa kredit itu
atas nama Harsono sendiri. Lagipula jaminan bank berupa
sertifikat Abdulfatah kemudian diganti dengan sertifikat Harsono
sendiri yang nilainya Rp 6 juta. Pokoknya hakim tidak melihat
tindak pidana yang dilakukan Harsono. Maka terdakwa yang sudah
ditahan sejak 25 Desember 1974 sampai 2 Juni tahun berikutnya
dinyatakan bebas, dari semua tuduhan oleh hakim pada 25 Nopember
yang lalu. Barang bukti supaya dikembalikan kepada terdakwa.
Nyumbag Komes
Rupanya selama proses pemeriksaan pendahuluan Harsono merasa
dirugikan oleh polisi. Barang-barang, uang milik Harsono,
isterinya dan mertuanya serta milik orang lain yang ada di
rumahnya diangkut polisi baik secara resmi maupun tidak.
Sebagian barang itu, menurut Harsono seperti diterangkannya
dalam surat gugatan ke pengadilan, digunakan oleh dua orang
letnan polisi untuk membangun rumah mereka pribadi. Salah satu
dari dua letnan itu juga meminta uang pribadi Ny. Harsono.
Bahan bangunan milik Harsono, katanya, juga dibawa sang letnan
dengan dalih "untuk nyumbang Komres". Barang dan uang itu dibawa
tanpa diikuti surat perintah. dinas dan tanda terima.
Masih ada hal yang tidak mengenakkan Harsono. Katanya, ada dua
letnan penyidik yang menagih pada orang-orang yang mempunyai
pinjaman kepada Harsono. Penagihan ini tanpa diketahui Harsono
dan tidak dibuatkan surat penyitaan. Hasil tagihan itu malahan
dipakai oleh dua perwira pertama tadi kata Harsono. Penagihan
ini baru diketahui Harsono setelah ia ditahan luar. Perintah
jaksa untuk melengkapi barang bukti agak seret karena penagihan
yang tidak dimasukkan dalam berita acara harus dibereskan dulu.
Maklum terlanjur terpakai oleh polisi penyidik.
Sepeda Mini
Akibat penahanan atas dirinya, Harsono merasa kehilangan relasi
dagang, kepercayaan dan macam-macamlah. Sedangkan Harsono justru
sedang berjuang untuk mengangsur pinjamannya kepada bank. Sampai
sekarang pinjaman tadi makin meningkat, belum terhitung pinjaman
lain di luar bank. Harsono merasa ternoda nama baiknya, selain
menderita kerugian harta benda, akibat penyekapan atas dirinya
Yang disesalkan Harsono adalah penyitaan dokumen-dokumen
berharga yang tidak ada hubungan dengan perkara. Bila benar
tuduhan Harsono untuk soal ini maka hal itu patut disesalkan.
Begitu komentar Brigadir Jenderal Polisi drs. Hudioro, Kepala
Dinas Penerahgan MABAK kepada TEMPO. Penyitaan barang seharusnya
yang ada kaitannya dengan perkara dan yang besar-besar saja.
"Masak sepeda mini anaknya Budiaji juga disita", Hudioro
mengambil contoh proses tokoh Dolog Kaltim, bahwa barang-barang
kecil tidak perlu ikut disita, meskipun "mungkin sepeda mini itu
didapat dari hasil kejahatan". Tentu ada kekecualian bila
barang-barang kecil yang disita ternyata menjadi mata rantai
suatu tindak pidana.
Menurut Hudioro, tindakan Harsono menggugat polisi ke pengadilan
ada gunanya juga bagi tubuh kepolisian. "Ya untuk introspeksi
kita. Bukan hanya untuk Komres sana, tapi juga untuk kepolisian
secara keseluruhan", katanya. Supaya orang-orang yang dirugikan
alat-alat pemerintah bisa mengambil sikap, maka undang-undang
tentang Peradilan Administrasi perlu segera dibentuk. Hal ini
pernah disinggung Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi drs.
Widodo Budidarmo dalam "dengar pendapat" dengan DPR beberapa
waktu berselang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini