Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mary Jane Veloso, terpidana mati kasus narkoba, akan dipulangkan dari Indonesia ke negara asalnya, Filipina. Kabar ini diungkapkan oleh Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr pada Rabu 20 November 2024. "Tujuannya bukan hanya agar dia dipindahkan, tetapi juga agar Presiden Marcos memberikan grasi," kata pejabat Kementerian Luar Negeri Filipina, Eduardo Jose de Vega, dalam konferensi pers di Manila.
Kilas balik kasus Mary Jane
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mary Jane adalah seorang pembantu rumah tangga dan ibu dari dua anak asal negeri Mutiara dari Laut Timur, sebutan Filipina. Dia ditangkap petugas Bea Cukai di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, karena membawa 2,6 kilogram heroin yang disembunyikan di dalam kopernya pada April 2010.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia pun digelandang polisi dan menghadapi persidangan. Dalam persidangan, ia membantah mengetahui keberadaan barang haram itu. Dia mengaku dijebak temannya, Maria Cristina Sergio. Maria, menurut dia, menjanjikannya pekerjaan di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun, setelah tiba di Kuala Lumpur, dia justru disuruh bepergian ke Yogyakarta.
Mary juga mengatakan bahwa Maria merupakan orang yang memberikan koper bermuatan heroin itu kepadanya. Dia menuturkan bahwa teman sekampungnya di Desa Esguerra, Distrik Talavera, Provinsi Nueva Ecija, tersebut juga memerintahkannya untuk menghubungi seseorang bernama Ibon setibanya dia di Yogyakarta.
Tetapi pembelaannya tak digubris oleh hakim. Enam bulan sejak penangkapan, pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, menjatuhkan hukuman mati kepada Mary sepuluh hari kemudian, Kedutaan Besar Filipina di Jakarta dilaporkan mengajukan banding ke Pengadilan Banding Yogyakarta.
Kedutaan Besar Filipina merekomendasikan untuk merekrut pengacara swasta untuk mendampingi Mary untuk tahap banding. Filipina mencairkan US$ 5.000 dari Dana Bantuan Hukum untuk menyewa jasa Kantor Hukum Rudyantho & Partners. Namun Pengadilan Banding Yogyakarta menguatkan hukuman mati bagi Veloso di 10 Februari 2011.
Pengacara Mary lalu mengajukan Memorandum Banding ke Mahkamah Agung atau MA Indonesia atas nama kliennya. Kedutaan Besar Filipina juga mengajukan banding atas kasus Mary Jane ke MA di Jakarta. Namun hukuman mati terhadap Mary Jane Veloso dikuatkan oleh putusan MA pada 31 Mei 2011.
Kasus Mary Jane pun menuai perhatian pemerintah Filipina. Pada 23 Agustus 2011, presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino III, turun tangan meminta grasi kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah menerima Surat Pengampunan Aquino, eksekusi Mary Jane pun ditunda pada 12 Oktober 2012.
Namun, pada 30 Desember 2014, permintaan grasi Mary ditolak oleh Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi yang menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden 31/G – 2014 yang menolak permohonan grasi. Penolakan itu tak membuat pemerintah Filipina patah semangat.
Pada 28 Januari 2015, Menteri Luar Negeri Filipina saat itu, Albert del Rosario, secara pribadi menyampaikan surat kepada mitranya dari Indonesia di pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Kola Kinabalu. Indonesia diminta memberikan tindakan hukum yang sewajarnya terhadap permohonan PK kasus Mary Jane.
Namun lagi-lagi upaya itu kandas. Pada 25 Maret 2015, MA Indonesia menolak permohonan PK. Mary Jane kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan pada 24 April 2015. Aquino pun kembali melobi Jokowi dalam pertemuan singkat selama lima menit di konferensi ASEAN di Malaysia.
Sementara itu, Maria menyerahkan diri kepada pihak berwenang Filipina. Ia kemudian didakwa dengan perekrutan ilegal perdagangan manusia. Karena alasan itulah, Mary disebut sebagai korban oleh pemerintah Filipina. Mary nyaris dieksekusi oleh regu tembak pada April 2015. Beruntung Jokowi memberikan penangguhan eksekusi.
Bukan tanpa alasan, Mary terhindar dari regu tembak pada menit-menit terakhir pada 2015 setelah pejabat Filipina meminta Jokowi untuk mengizinkan warga negaranya itu memberikan kesaksian melawan anggota jaringan penyelundupan manusia dan narkoba.
Pada Juni 2023, keluarga Mary mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meminta rekomendasi grasi. Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan pihaknya akan memberikan rekomendasi agar presiden mengabulkan permohonan grasi kepada Mary Jane.
“Nanti kuasa hukum akan mengajukan grasi kepada Presiden terkait kasus Mary Jane komnas akan memberikan rekomendasi agar ini diberikan grasi atas dugaan kuat dia sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” kata Anis dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Saat menjabat sebagai Presiden Filipina menggantikan Rodrigo Duterte, Ferdinand Marcos Jr. pada 31 Agustus 2022 mengatakan akan membahas kasus Mary Jane dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia. Dua tahun kemudian, Ferdinand menerima komitmen dari Jokowi bahwa kasus Mary Jane akan diperiksa ulang, menurut Kantor Komunikasi Kepresidenan Filipina.
Dalam pernyataannya pada 20 November 2024, Ferdinand mengatakan Manila dan Jakarta mencapai kesepakatan untuk mentransfer Mary Jane ke Filipina. Dia berterima kasih kepada Presiden Indonesia baru Prabowo Subianto dan pemerintahannya atas niat baik mereka. Namun belum ada perjanjian tertulis antara Filipina dan Indonesia mengenai pemulangan Mary Jane.
Pemulangan Mary Jane itu disambut bahagia oleh keluarganya. Namun keluarga masih khawatir sindikat internasional yang terlibat dalam kasus ini akan mencelakai Mary Jane dan keluarganya. “Kami gembira Mary Jane akan kembali ke rumah,” kata ibunya, Celia Veloso, kepada stasiun radio DWPM.
DEWI RINA CAHYANI | SITA PLANASARI | REUTERS