Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ditolak karena Lokasi

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lain ladang lain belalang, lain Bandung lain Surabaya. Sementara gugatan class action warga Garut dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, gugatan yang mirip dari warga Mojokerto malah kandas di tangan hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim Edy Tjahyono-lah yang mementahkan gugatan warga yang menjadi korban tanah longsor Pacet terhadap Perhutani Unit II Jawa Timur dan Bupati Mojokerto. Dalam amar putusannya pada Mei silam, Edy menilai gugatan tersebut tidak sah karena domisili Bupati Mojokerto bukan di Surabaya. ”Gugatan harusnya diajukan di pengadilan tempat tergugat tinggal,” kata Edy.

Keputusan ini kontan dipertanyakan oleh M. Ma’ruf Syah, pengacara para korban. Menurut Ma’ruf, dalam perkara perdata yang tergugatnya lebih dari satu, lokasi persidangan bisa dilakukan di wilayah hukum salah satu tergugat. Dalam hal ini, tergugat I, yakni Perhutani Unit II Jawa Timur, berlokasi di Surabaya. Dengan begitu, mestinya Pengadilan Negeri Surabaya bisa menyidangkan kasus ini. Karena itulah 24 pengacara yang membela warga Pacet mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Surabaya. Namun, hingga kini, keputusan banding belum juga turun.

Sembari menunggu keputusan banding tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengajukan gugatan yang sama terhadap Perhutani. Gugatan itu disidangkan pertama kali pada Senin dua pekan lalu. ”Kita menuntut agar fungsi hutan produksi terbatas dikembalikan ke fungsi semula sebagai hutan lindung,” kata Ketua Walhi Jawa Timur, Sardiyoko. Namun persidangan pertama ini gagal karena kuasa hukum Perhutani tidak hadir.

Gugatan tersebut bermula dari musibah tanah longsor di pemandian air panas Pacet, Mojokerto, pada pertengahan Desember lalu. Akibat longsor tersebut, 26 orang pengunjung tewas dan 17 orang lainnya raib. Dalam gugatan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Surabaya pada awal Maret 2003 tersebut, keluarga korban diwakili Patoyo, 51 tahun, Supriyo, 51 tahun, dan Supradianto, 50 tahun. Mereka menuntut ganti rugi materiil Rp 20 miliar.

Para penggugat menilai Perum Perhutani dan Bupati Mojokerto bertanggung jawab atas perubahan fungsi lahan lindung menjadi lahan produksi. Sistem pengelolaan ini mengakibatkan kebakaran hebat satu bulan sebelum kejadian. Dampaknya bukan hanya hutan menjadi gundul. Potongan-potongan kayu sisa kebakaran terbawa aliran sungai dan terkumpul di satu alur sehingga tidak mampu menjadi dam alami. Perbuatan itu dianggap telah melanggar UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

Selain itu, para tergugat dianggap melakukan kelalaian yang membahayakan masyarakat. Pada 4 Desember 2002, pemandian air panas itu sempat disapu banjir lumpur. Bisa dibilang, lokasi pemandian tersebut tenggelam di bawah lumpur. Tapi Perhutani bukannya menutup lokasi tersebut, malah membersihkan lumpur-lumpur tersebut dan membukanya kembali. Hanya berselang sepekan, longsor kembali menghantam Pacet dan kali ini membawa korban yang banyak.

Sayangnya, tak seperti di Bandung, jalan warga Pacet agaknya masih panjang.

Agus H., Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus