Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengadilan Kloset

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUTINITAS pagi Barlina, 47 tahun, terasa kurang lengkap bila tidak ngapel di WC kamar mandi Juharni, 24 tahun. Meski kakus tetangganya itu hanya beratap seng dan berlantai semen, ek-ek di sana bagi Barlina senyaman di toilet hotel bintang lima. Yang penting, ia tak harus jongkok di semak yang banyak nyamuk dan ular serta diintip anak-anak. Maklum, suaminya hanya tukang ojek, dan membuat jamban adalah suatu kemewahan bagi mereka.

Saking keenakan duduk, warga Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, itu lupa berdiri. Bahkan acara be'ol-nya bisa diteruskan mandi hingga satu jam. Malah, kata Juharni, "Ia pernah menggedor-gedor pintu WC saat suami saya sedang di dalam. Alasannya, sudah tak tahan." Lebih parah, Barlina tak mau mengisi kembali bak air yang sudah dikurasnya.

Tabiat buruk Barlina selama empat bulan itu akhirnya berakhir juga, setelah pecah "insiden". Ceritanya, pada 11 Agustus lalu, ia memburu ke rumah Juharni dan langsung menyerobot ke kamar mandi. Akibatnya, Idris, suami Juharni, pergi berjualan ke pasar tanpa mandi lebih dulu. "Orang tua tak tahu diri. Tiap hari buang hajat di sini. Bikin habis air di bak saja," gerutu Juharni.

Mendengarnya, urusan buang air Barlina menjadi tak "kondusif". Akibatnya, batang-batang tinja yang siap meluncur ateret kembali. Keluar dari WC sambil menenteng ember plastik, ia langsung melemparkannya ke punggung Juharni… brak! Perempuan muda ini terperanjat dan mengaduh kesakitan.

Tak terima, Juharni memungut batu dan plok…! Tepat mengenai kaki kanan Barlina. Saling lempar ini dilanjutkan dengan baku pukul dan bersitarik rambut. Untung, para tetangga datang melerai "Perang Teluk" part three itu.

Selasai? Tidak. Dengan terpincang-pincang, Barlina melaporkan ulah Juharni ke polisi. Pekan ini kasus kakus itu digelar di Pengadilan Negeri Kendari.

Masih terus harus menggelontorkan ampas perutnya saban pagi, Barlina tidak lagi ke WC Juharni, tentu. Ia rajin mengumpulkan kantong plastik bekas belanjaan, untuk tempat berbuang hajat. "Kalau hari sudah agak gelap, baru dibuang ke semak-semak belakang rumah," kata Barlina tersipu-sipu. "Harum semerbak", dong.

Jalan Kambing

KAMBING tampaknya harus protes kepada manusia. Meski rata-rata orang menyukai satai dan gulai kambing, hewan berkaki empat ini acap dipakai untuk mencemooh: kambing hitam, kambing congek, kelas kambing. Kini malah ada "jalan kambing", yang bertujuan menyindir janji pejabat. Untungnya, setelah janji direalisasi, berjalan merangkak ala kambing berbalik menjadi wahana rasa syukur.

Berjalan seperti itu dilakukan Broto Atmojo, 44 tahun, warga Desa Doho, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Ceritanya berawal 17 tahun lalu, saat ada janji pengaspalan 2,5 kilometer jalan di desanya, yang menghubungkan kota kecamatan dengan desanya. Janji itu—biasanya menjelang pemilu—tentu dari pejabat setempat.

Namun, sudah tiga bupati naik dan lengser, janji tinggal janji. Untuk mengolok-oloknya, Broto bertekad mbrangkang—merangkak seperti kambing—kalau jalan di desanya benar-benar diaspal, nantinya. Ketika bupati terakhir, Begug Purnomosidi, berkunjung ke Doho, ia menanyakan pengaspalan itu. Kali ini ditanggapi dan direalisasi, meskipun kurang sempurna.

Setelah jalan desa itu dilapisi aspal tipis—betul-betul jalan kelas kambing—Broto melaksanakan kaul atau nazarnya dua minggu lalu. Ia merangkak di barisan depan. Di belakangnya, ada sekitar 50 pemuda desa berpakaian merah-putih mengikutinya merangkak. Disertai pula tiga reog dan iring-iringan pemain drum band.

Begitu bendera start dikibaskan Bupati, Broto mulai merangkak ala embek. Setapak demi setapak, tangan dan kakinya yang dibalut pelindung itu menyusuri aspal siang yang panas. Wajahnya yang berewok memerah terpanggang matahari. Semangatnya terpacu olah tempik-sorak ribuan penonton di sepanjang jalan.

Sayangnya, para pengikutnya tidak setangguh Broto. Setiap 50 meter, mereka berhenti dan diganti rekannya yang menunggu di suatu tempat. Begitu seterusnya hingga menempuh 2,5 kilometer. Layaknya dongeng Si Kambing, eh Si Kancil, yang berlomba lari melawan keong.

Brojo yang merangkak hampir satu jam terlihat bangga. "Alhamdulillah, penantian kami 17 tahun berakhir. Merangkak salah satu olahraga termurah," ujarnya meringis kambing. Di belakang, sejumlah pengikutnya mengiyakan. Mbek…!

Agus S. Riyanto, Dedy Kurniawan (Kendari), Imron Rosyid (Wonogiri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus