Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ancaman di Balik Putusan

Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka divonis bersalah karena memparodikan Akbar Tandjung. Kebebasan pers terganggu.

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH menarik dan lucu. Seorang lelaki gendut berwajah Akbar Tandjung bertelanjang dada dan bersimbah keringat. Gambar parodi ini dimuat di harian Rakyat Merdeka, 8 Januari 2002, untuk mendukung tulisan Akbar Sengaja Dihabisi, Golkar Nangis Darah. Saat itu Ketua Umum Golkar tersebut baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana Bulog. Namun, bagi Akbar, yang juga Ketua DPR, gambar itu tak lucu. Bahkan ia merasa dilecehkan dan dihina. Begitu pula pendapat Asnahwati, ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusannya Selasa pekan lalu, ia mengatakan bahwa berita yang dimuat tak relevan dan melanggar norma agama. Akibatnya, Karim Paputungan sebagai Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka dinyatakan melanggar Pasal 310 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pencemaran. Ia divonis lima bulan tanpa harus masuk penjara dengan masa percobaan sepuluh bulan. Artinya, bila ia melakukan tindakan pidana, kejaksaan akan menahannya. Tanggapan terdakwa? Karim berkeberatan dan langsung mengajukan banding. Ia mengaku tak bermaksud mendiskreditkan dan menistakan Akbar. Menurut dia, gambar tersebut justru sebagai tanda empati atas persoalan yang menimpa Akbar kala itu. Di mata Bachtiar Sitanggang, pengacara Karim, banyak fakta yang terungkap di persidangan tak ditanggapi hakim. Contohnya kesaksian J.A. Sahetapy, yang mengatakan bahwa dakwaan dan tuduhan harus sesuai dengan laporan polisi. Padahal laporan polisi hanya mempermasalahkan gambar parodi, sementara dalam dakwaan dan tuntutan ditambahkan judul artikelnya. Anehnya lagi, "Pembuat gambar juga tak diajukan ke pengadilan," ujar Bachtiar. Akibat vonis ini, menurut Hinca Pandjaitan, Direktur Eksekutif Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers, masa depan kebebasan pers di Indonesia terancam dan terganggu. Ia menyesalkan mengapa hakim mengadili perkara ini dengan KUHP. Seharusnya kasus ini ditelaah lewat aturan yang lebih khusus, UU No. 40/1999 tentang Pers. Di situ kebebasan pers amat dijamin, bahkan yang menghalangi kerja pers bisa dikenai hukuman pidana. "Ini menunjukkan hakim kurang memahami kebebasan pers," ujarnya. Sebenarnya pemuatan gambar parodi bukan hanya menimpa Akbar seorang. Hampir semua tokoh publik pernah dibuat gambar oleh media massa. Namun itu jarang dipersoalkan sampai ke meja hijau. Sebab, menurut pengamat hukum Albert Hasibuan, parodi adalah hal yang biasa. Parodi merupakan suatu alat bagi pencerahan masyarakat dalam kondisi yang tak menentu ini. Kalau yang diparodikan seorang tokoh, "Ya, itu risiko sebagai public figure," ucapnya. Di negara maju, hal semacam itu dianggap lumrah saja. Sebagai contoh, Dick Cheney, Wakil Presiden Amerika Serikat, pernah mengirim surat kepada John A. Wooden, pengelola situs whitehouse.org, pelesetan situs milik pemerintah, whitehouse.gov. Cheney kesal karena gambar-gambar istrinya diparodikan di dalam situs itu. Namun ia cuma bisa mengeluh, tak bisa membawa Wooden ke pengadilan. Justru dengan surat itu Wooden semakin berani. Ia menambahkan hidung merah pada foto Nyonya Cheney dan menuliskan "Censored". Pengelola situs ini tak mau menggubris surat Cheney. "Jika dibaca, surat itu berupa permintaan. Tapi tak ada yang namanya permintaan dari kantor wakil presiden. Itu adalah surat ancaman," kata Wooden kepada pers, awal Maret lalu. Sindiran lewat gambar memang mendapat perlindungan Amendemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat. Menurut Kelompok Kebebasan Sipil, parodi satir dari tokoh publik, seberapa pun palsu dan gilanya, tetap tidak bisa disalahkan. Kebalikannya di Indonesia, seperti yang terjadi dalam persidangan kasus Rakyat Merdeka: parodi gambar Akbar dianggap sebagai sebuah pelecehan. Tidak ada pertimbangan bahwa Akbar Tandjung merupakan tokoh publik dan sewajarnya mendapat kritikan dan sindiran pers. Itu sebabnya, menurut Hinca Pandjaitan, kelak hakim pengadilan banding dan juga tingkat kasasi perlu mencermati putusan tersebut. Apalagi, "Putusan ini bisa dijadikan patokan untuk kasus serupa yang kini tengah marak," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus