Iyum tak kuasa menahan haru. Mata warga Mandalasari, Garut, Jawa Barat, ini berkaca-kaca dan bibirnya mendaras syukur. Aroma kebahagiaan juga muncul dari ratusan pengunjung sidang gugatan warga Garut terhadap PT Perhutani Unit V Jawa Barat, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Garut, dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang berlangsung Kamis dua pekan lalu. Sumber kebahagiaan ini tak lain adalah vonis ketua majelis hakim, Dedi Sobandi, yang menyatakan para tergugat bersalah dan harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp 30 miliar.
Vonis ini merupakan puncak proses pengadilan tingkat pertama yang digelar, sejak 275 penduduk yang menjadi korban longsor mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Bandung pada pertengahan Februari silam. Para penggugat menuntut Perhutani membayar ganti rugi Rp 50,4 miliar, Rp 30 miliar berupa kerugian materiil dan selebihnya kerugian imateriil. Longsor yang terjadi pada akhir Januari 2003 itu menimpa Desa Mandalasari, Karang Mulya, dan Bojong Jambu di Kecamatan Kadu Ngora, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Akibat longsor itu, 21 orang warga tiga desa tewas, ratusan rumah terbenam lumpur dan tanah, dan ribuan orang terpaksa mengungsi.
Penduduk yang menjadi korban ataupun pencinta lingkungan kemudian menudingkan telunjuk pada Perhutani, yang dianggap gagal mengelola hutan konsesinya. Tudingan itu dibalas Perhutani dengan menyebut bahwa bencana longsor merupakan gejala alam di luar kuasa manusia. Suherlan, kuasa hukum Perhutani yang juga Kepala Sub-Seksi Hukum Perhutani, mengatakan bahwa Perhutani tidak pernah menebang pohon di hutan seluas 400 hektare tersebut. Perhutani balik menuduh warga yang dengan sengaja merambah hutan dan mengubahnya menjadi lahan pertanian, yang justru menjadi penyebab kerusakan hutan.
Silang pendapat ini berlanjut ke pengadilan. Para saksi dan ahli justru memberikan keterangan di pengadilan mengenai penyebab terjadinya longsor yang saling bertolak belakang. Simak kesaksian Sekretaris Desa Mandalasari. Dia menyebut penebangan pohon di Gunung Mandalawangi dilakukan Perhutani sejak tahun 1999. Akibatnya, jumlah tegakan pohon yang ada sudah jauh berkurang. Keterangan ini bertolak belakang dengan saksi Suryana, penduduk Desa Mandalasari. Suryana bertutur bahwa hutan di sana masih ijo royo-royo dan tidak berubah sejak dulu.
Kesaksian para ahli pun saling berbeda. Dr. Chay Ashdak, peneliti di Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran, Bandung, mengatakan bahwa ada atau tiadanya hutan di lereng Mandalawangi tidak akan berpengaruh banyak menghadapi hujan ekstrem yang terjadi ketika itu. Curah hujan pada saat itu 12 kali lebih tinggi dari curah hujan normal, yang hanya 10 milimeter. Peristiwa longsor ini, ujar Chay, didahului curah hujan sebanyak 121 milimeter yang berlangsung selama lima jam. Chay yakin bahwa longsor tersebut merupakan bencana alam murni.
Apa yang diuraikan Chay ini berbeda 180 derajat dengan keterangan saksi ahli lainnya. Bambang Heru, ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menuturkan bahwa longsor itu terjadi akibat kurangnya tegakan pohon. Permukaan tanah pun menjadi terbuka dan berpotensi tinggi mengalirkan air dan mengurangi peluang penyerapan air. Kawa-san dengan spesifikasi begini, kata Bambang, teramat rentan dilahap banjir ataupun longsor.
Akibat kesaksian yang saling bertolak belakang ini, majelis hakim sempat melakukan sidang di lokasi longsor. Hakim rupanya ingin menanyai langsung penduduk yang menjadi korban. Majelis hakim juga ingin melihat langsung lokasi bencana. Ternyata, dari sidang lokasi yang dilakukan pada 19 Juni lalu, hakim tetap saja mendapatkan keterangan yang berbeda satu sama lain.
Pertentangan kesaksian antar-saksi inilah yang membuat Dedi Sobandi dan anggota majelis hakim lainnya membuat terobosan. Putusannya tidak lagi didasarkan pada pertimbangan adanya perbuatan melawan hukum (liability base on fault) sebagaimana dituduhkan penggugat, tetapi ia berijtihad (melakukan terobosan) dengan mendasarkan putusannya pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
Dalam pandangan Hakim Dedi, dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling menihilkan, sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, pengadilan harus memilih dan berpedoman pada prinsip hukum lingkungan yang dikenal sebagai precautionary principle. Ini merupakan prinsip ke-15 dalam Asas Pembangunan Berkelanjutan, atau dikenal sebagai Konvensi Rio de Janeiro, yang ditetapkan pada 12 Juni 1992. ”Walau prinsip ini belum masuk dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup kita, karena kita menjadi anggota konvensi waktu itu, prinsip ini bisa dijadikan dasar,” kata Dedi.
Itu sebabnya, majelis hakim mengabulkan gugatan class action korban longsor Mandalawangi. Palu pun diketuk dan Perhutani beserta tergugat lain dihukum memberikan ganti kerugian pada korban longsor senilai Rp 30 miliar secara tanggung renteng. Rinciannya, Rp 10 miliar buat korban yang meninggal. Sisanya untuk rehabilitasi lingkungan yang porak-poranda akibat longsor. Putusan ini juga ditetapkan sebagai putusan serta-merta (uitvoerbaar bij vooraad). Artinya, putusan harus dilaksanakan, meski tergugat melakukan upaya hukum lanjutan.
Mendapati putusan pahit ini, Suherlan gusar. Ia menilai putusan majelis hakim tidak relevan karena tidak sesuai dengan tuntutan penggugat. ”Jika tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum seperti yang dituduhkan, kenapa harus diputus dengan pertimbangan lain yang tidak relevan?” ujarnya kesal. Prinsip kehati-hatian yang dipakai majelis hakim disebut Suherlan hanya berlaku bagi peristiwa kerusakan lingkungan akibat limbah industri yang tergolong B3 (bahan berbahaya dan beracun). ”Jadi, tidak ada kaitannya dengan longsor,” kata Suherlan lagi.
Sebaliknya, Anwar Sulaeman, kuasa hukum penggugat, menyatakan puas dengan keputusan hakim tersebut. Menurut dia, putusan ini bisa menjadi yurisprudensi karena merupakan putusan class action pertama di Indonesia yang mengabulkan permohonan penggugat. Dia juga berharap pihak tergugat bisa segera melaksanakan keputusan tersebut agar puluhan warga yang masih tinggal di pengungsian bisa segera punya tempat tinggal.
Pengamat hukum lingkungan, Mas Achmad Santosa, menyebut apa yang dilakukan majelis hakim merupakan terobosan yang tepat. Dia mengatakan bahwa penggunaan prinsip kehati-hatian sudah dijadikan pijakan untuk memutus perkara lingkungan di pengadilan luar negeri, seperti di Australia dan Pakistan. Mas Achmad juga menegaskan bahwa prinsip liability base on fault dan precautionary principle bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. ”Saya bersyukur majelis hakim punya referensi luas dalam mengadili persoalan lingkungan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini