BERLIAN seberat 280 karat akhirnya membawa musibah bagi bekas Konsul RI di Bombay, India, R. Bages Soegito. Dia dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan: menyelundupkan berlian yang diterimanya sebagai titipan dari Garuda, ketika kembali ke Indonesia. Di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara sampai Kamis pekan lalu, lika-liku penyelundupan itu belum terungkap tuntas. Berlian itu, kata saksi Rusdiana, berasal dari rekannya sesama pramugari Garuda, Maria Shinta Dewi. Baik Shinta maupun Rusdiana merupakan pramugari pesawat DC-10 Garuda yang melayani jalur Eropa-Indonesia di tahun 1977. Biasanya awak pesawat dari Eropa turun di Bombay untuk digantikan awak lain. Begitulah, 25 April tahun itu, merupakan hari naas bagi Shinta. Ia tertangkap basah oleh polisi di pelabuhan udara Bombay, karena membawa 2433 karat berlian dalam tasnya. Tapi ketika penangkapan terjadi, Shinta sempat mengoperkan sebuah dompet kepada Rusdiana yang sudah lolos pemeriksaan. "Pokoknya pegangin saja dulu," ujar Rusdiana menirukan Shinta. Saat itu juga Shinta ditahan, tapi Rusdiana berhasil meloloskan titipan itu. Di hotel Taj Mahal, Bombay, tempat awak pesawat menginap, dompet berisi tiga amplop berlian itu diserahkan Rusdiana kepada rekannya Subroto, flight engineer Garuda. Subroto menyampaikan barang itu kepada Kepala Perwakilan Garuda di Bombay, H.L. Lantang. Harta karun itu belakangan dititipkan Lantang ke Konsulat Rl di Bombay dan diterima Wakil Konsul, Situmorang, dengan berita acara penitipan. Situmorang menyerahkan titipan itu kepada Konsul Muda, Supaat. Tahun 1978 Supaat harus kembali ke Indonesia. Barang titipan itu diserahkannya kepada Konsul, Bagoes. Beberapa hulan kemudian, Agustus 1978, Bagoes juga dimutasikan ke Deplu di Jakarta. Ia tidak menitipkan barang itu kepada penggantinya, melainkan membawanya ke Jakarta. Menurut tuduhan Jaksa Adnan Paslyadja, berlian seharga Rp 16,5 juta itu dimasukkan Bagoes ke barang pindahannya yang dikirimkan melalui EMKL dari Bombay ke Jakarta. Tapi, kata jaksa, Bagoes sengaja tidak mencantumkan berlian itu di datar barang pindahan yang diketahui oleh Konsul atau Kepala Perwakilan RI di India. Bagoes juga dituduh tidak memberitahukan adanya berlian itu di barang pindahannya kepada EMKL PT Berti Setia yang mengurus barang pindahan itu di Tanjungpriok. Bagoes, 51 tahun, mengakui tuduhan itu, tapi ia merasa tidak bersalah. Ketika akan pindah ke Jakarta, katanya, ia menanyakan masalah berlian itu kepada Dubes RI di India. "Ada perintah lisan dari dubes agar berlian itu diselesaikan," ujarnya. Ia menanggapi perintah itu sebagai, harus membawa berlian itu dengan baik ke Jakarta. "Saya membawa ke Jakarta karena keadaan," ujar Bagoes lagi. Ia membenarkan tidak mendaftarkan berlian itu sebagai barang pindahan. "Saya mengambil keputusan untuk tidak mendaftarkan. Sebab kalau saya daftarkan apa akibatnya? Kan bisa menjadi masalah politis," ujar Bagoes lagi. Ia mengaku membawa berlian itu secara pribadi ke Jakarta dan tidak dimasukkan dalam diplomatic bag. "Agar tidak dianggap menyalahgunakan fasilitas," lanjutnya lagi. Maksud membawa berlian itu ke Jakarta, katanya, untuk diserahkannya ke Deplu. Berlian itu berhasil lolos dari Tanjungpriok tanpa diketahui bea cukai. Sebab bekas konsul itu mendapat fasilitas pembebasan memasukkan barang pindahan. Tetapi perbuatan Bagoes itu ternyata tidak bagus di mata tim Irjen Deplu yang April 1979 melakukan inspeksi ke Bombay. Tim itu curiga karena di Konsulat RI di Bombay ditemukan berita acara barang titipan itu, tapi tidak ada barangnya. Bulan Mei 1979, setelah dipanggil, Bagoes yang menjabat Kabag Umum Sekretariat Ditjenpol, Deplu, menyerahkan barang titipan itu ke tim pemeriksa (TEMPO, 11 Desember 1982. "Ini keteledoran saja, maksud saya baik tapi kurang mengerti peraturan," ujarnya. Ayah seorang anak ini dikenal punya reputasi baik di Deplu. Selain diadili, ia juga kena tindakan administrasi dari Irjen berupa larangan ke luar negeri. "Saya menyesal, tapi saya terima apa adanya," ujar Bagoes. Ia pernah bertugas di New Delhi, Stockholm dan Teheran, sebelum di Bombay. Shinta Dewi kunci persoalan itu, telah pulang ke Indonesia seeelah ditahan sejak 25 April 1977 sampai dengan 6 Februari 1978 di Bombay. Ia bisa pulang dengan membayar uang jaminan karena ibunya sakit keras di Malang. Tapi pramugari itu tidak muncul lagi di pengadilan Bombay sampai akhirnya dijatuhi hukuman dalam sidang in absentia. Anehnya dalam persidangan Bagoes, Shinta tidak dihadapkan sebagai saksi. "Shinta tidak diajukan sebagai saksi karena tidak ada sangkut pautnya dengan perkara Bagoes," ujar Jaksa Adnan. Pramugari yang konon ramah itu juga tidak akan diajukan sebagai terdakwa, karena dianggap sudah dijatuhi hukuman di Bombay. "Tanpa Shinta persidangan tak akan terganggu," tambah Adnan lagi. Namun sebuah sumber membenarkan, pihak penuntut khawatir Shinta akan diminta ekstradisi oleh pemerintah India, begitu tampil jadi saksi. "Kan tidak enak, kalau tidak diserahkan, kita seakan-akan melindungi kejahatan," ujar sumber itu. Tapi akibatnya -- seperti juga penyelundupan emas -- tidak pernah terungkap siapa sebenarnya yang punya berlian itu. Di amplop berlian itu ditulis nama dan alamat penerima di Indonesia H. Karim dan Sawarni di Jalan Marathon II No. 5, Tebet Utara, Jakarta. Tapi seperti lazimnya penyelundupan emas dan berlian, orang yang ditulis di alamat itu tidak pernah ada. Barangkali Shinta yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini