NAMANYA buyung. Ada juga yang menyebutnya sesawi langit. Orang Sunda bilang babatotan. Tapi ilmuwan secara seragam menyebutnya: Vernonia cinerea. Dia tumbuh liar di pinggir jalan atau dekat pagar. Tingginya lebih kurang dua jengkal. Daunnya kecil. Kalau berbunga warnanya ungu. Orang kampung sering menggunakannya untuk obat antimencret (diare). Akhir Januari yang lalu tanaman itu menjadi populer, dan naik derajatnya ketika sarjana farmasi dari Universitas Airlangga, Noor Cholies menyebutkannya sebagai tanaman yang mengandung komponen antikanker. Dalam disertasi berjudul "Komponen herba (tanaman perdu) Vernonia cinerea yang berkhasiat kanker", Noor Cholies menyimpulkan dengan ditemukannya komponen antikanker pada tanaman itu maka terbuka kemungkinan untuk mencari obat baru penyembuh kanker. Noor Cholies menghabiskan 3 tahun untuk menemukan komponen antikanker dalam tanaman yang bernama buyung itu. Setelah dia berhasil memisahkan komponen antikanker tersebut dari tanaman tadi, lantas dia cobakan pada binatang percobaan. Sebanyak lima ekor mencit terlebih dulu dibuatnya terserang kanker dengan menyuntikkan zat penyebab kanker. Tengkuk mencit itu bengkak karena sel-sel ganas. Baru kemudian komponen antikanker dari tanaman buyung itu disuntikkannya pula ke tengkuk tikus yang benjol itu. "Setelah diamati selama dua puluh hari ternyata kanker di tengkuk tikus itu hilang," katanya. Pertemuan Noor Cholies dengan buyung bukan kebetulan. Dia telah membaca tentang National Cancer Institute di AS yang telah mencari kemungkinan adanya khasiat antikanker pada 67.500 tumbuhan, termasuk jenis Vernonia. Dari 93 jenis Vernonia yang diteliti, 12 jenis menunjukkan adanya khasiat antikanker. Termasuk di antaranya Vernonia cinerea. Atas dasar itu sarjana farmasi berusia 39 dan bapak dari tiga anak itu tenggelam dalam penelitian. "Semula saya meneliti Ascepias currasavica (kembang mas) dan Abrus precatorius (saga), tapi Vernonia cinerea-lah menurut saya yang paling ampuh," ulasnya. Sarjana kelahiran Yogyakarta itu berhasil mempertahankan disertasinya itu dengan sebutan "memuaskan" dalam sidang promosi di Institut Teknologi Bandung, 22 Januari. Sempat juga muncul keberatan dari penyanggah Dr. Midian Sirait. Orang yang sehari-harinya menjabat Direktur Jenderal Pengawasan obat dan Makanan itu berkeberatan jika obat tradisional memakai merk antikanker. "Pemerintah melarang obat tradisional yang mempergunakan label antikanker," katanya tegas. Dia juga tidak ingin obat tradisional antikanker dipublikasikan secara luas. Menurut Midian larangan pemerintah itu bertujuan agar masyarakat mempergunakan jasa dokter. "Penyakit kanker dapat diobati kalau diketahui lebih dini," ujar Midian. TETAPI 'sanggahan' Midian kontan dijawab oleh promotor Prof. Dr. Soekeni Soedigdo. "Itu benar, dan kami pun tidak menganjurkannya untuk dipakai langsung. Hanya penelitian ini telah berhasil, dan sekarang kalangan kedokteran dan farmasi mendapat giliran mengolahnya agar bermanfaat." Noor Cholies merupakan sarjana pertama yang melakukan penelitian terhadap komponen tanaman yang berkhasiat antikanker. Sebelumnya (Februari 1982) Muhamad Zainuddin, apoteker dari Universitas Airlangga, juga meraih gelar doktor untuk penelitian yang berupaya melawan kanker. Zainuddin menampilkan asam tempe bongkrek. Cuma sampai sekarang tidak diketahui sampai sejauh mana usaha para sarjana lain untuk memanfaatkan penemuan itu. Misalnya dalam menentukan dosis dan cara pemakaiannya untuk manusia. Hasil penelitian Noor Cholics mendapat sambutan dari para dokter yang berkecimpung dalam pengobatan kanker. "Kemajuan besar kalau kita dapat menemukan obat yang langsung dapat menghilangkan kanker," kata Prof. dr. Soemartono, ahli kanker dari RS Hasan Sadikin, Bandung. Sebab menurut pengalaman Soemartono obat-obat sintetis (chemotherapy) belum ada yang benar-benar dapat menyembuhkan kanker dengan cepat tanpa mengakibatkan efek samping. Obat-obat yang ada, katanya, kalau tak hati-hati dalam penentuan dosisnya, bisa mengakibatkan rusaknya sel darah dan tulang sumsum. Diharapkan bahan dari tanaman akan bisa memecahkan masalah efek samping itu. Dalam keterangannya kepada wartawan TEMPO Dedy Iskandar, promotor Prof. Dr. Soekeni Soedigdo menyebutkan usaha Noor Cholies sebagai upaya untuk menemukan obat kanker dengan efek samping sekecil mungkin. "Ternyata senyawa yang berhasil dipisahkan Noor Cholies dari tanaman tadi lebih meyakinkan dari obat yang ada sekarang, dan lazim dipakai," ulasnya. Katanya zat tersebut tidak mempengaruhi butir-butir darah merah maupun darah putih. Dan tidak beracun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini